FAKULTAS ILMU BARAK (FIB) TIDAK BECUS MENGABDI

0
Ilustrator: Gracia Cahyadi

Matahari terbit di timur lapangan rektorat, burung-burung berkicau di samping perpus pusat, dan pelayanan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB) masih saja jalan di tempat—begitulah siklus kehidupan akademik yang sudah menjadi semacam hukum alam. Seperti pengantin yang datang telat ke pernikahannya sendiri, FIB UB hadir di kancah akademik dengan segala ketidaksiapan yang dibungkus rapi dalam banner bertuliskan beberapa prodi yang mendapat “Akreditasi Unggul” dan “Akreditasi Internasional”—sebuah label yang, kalau boleh meminjam istilah Chairil Anwar, “tak perlu sedu sedan itu.”

Sebagai mahasiswa antropologi yang terbiasa membedah tulang belulang kebudayaan, saya menemukan diri terjebak dalam ironi institusi yang mengklaim diri sebagai mercusuar ilmu budaya namun beroperasi layaknya garasi mobil tua: berisik, berdebu, dan penuh dengan onderdil-onderdil usang bernama “birokrasi.” Sementara fakultas lain berlari mengejar inovasi, FIB masih tergopoh-gopoh mengikat tali sepatu—yang ironisnya, malah terlilit di leher sendiri.

Gagal Melaksanakan Tri Dharma Kampus

Melihat beragam ketidakbecusan birokrat FIB UB akhir-akhir ini, saya teringat puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Tiada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni”, kemudian ingin memparafrasenya menjadi:

tak ada yang lebih tabah
dari mahasiswa FIB UB
dirahasiakannya masalah fakultas
kepada publik yang ramai itu

tak ada yang lebih bijak
dari mahasiswa FIB UB
dihapusnya rasa letih di kakinya
yang kelelahan naik lantai 4 Gedung Rektorat Lama

tak ada yang lebih arif
dari mahasiswa FIB UB
dibiarkannya fakultas penuh kebobrokan itu
diserap oleh rasa tabah dalam hatinya

Yang dimaksud judul bahwa FIB tidak becus mengabdi adalah bahwa selain tidak becus menyelenggarakan pengabdian, mereka juga tidak becus mengabdi dan melayani mahasiswa yang telah membayar mereka. Jika digambarkan dengan analogi kuliner, FIB seperti restoran yang menjual menu lengkap di daftar, tetapi ketika dipesan, pelayan akan berkata, “Maaf, bahan sedang kosong” atau “Tunggu info lebih lanjut ya.” Dan ketika pelanggan komplain, manager restoran akan keluar dengan muka masam, berkata, “Tolong komplainnya yang sopan ya, kita ini restoran bintang lima.” Ah, restoran bintang lima yang bahkan tidak bisa menyediakan air putih tepat waktu!

Universitas Brawijaya memiliki program pengabdian bernama Mahasiswa Membangun Desa (MMD), namun kuotanya terbatas. Mahasiswa yang tidak terseleksi dalam kuota itu bergantung pada skema KKN fakultas. Bayangkan MMD sebagai kereta api eksekutif yang nyaman, sementara PkM Dosen FIB adalah angkot yang tidak jelas jadwal keberangkatannya, tidak jelas rutenya, dan bahkan tidak jelas apakah sopirnya sedang tidur atau memang sengaja membuat penumpang menunggu.

Pendaftaran PkM Dosen ditutup pada 31 Mei 2025, dan hingga 6 Juni, tidak ada informasi selain deskripsi kegiatan—seperti paket yang dikirim lewat jasa ekspedisi termurah, dengan status “sedang diproses” selamanya. Jika Gus Mus berkuliah di FIB UB dan merasakan fenomena ini, sajak “Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana” mungkin akan berbunyi: 

Fakultasku, kau ini bagaimana?

Aku bertanya, kau diam seribu Bahasa

Aku menunggu, kau sibuk dengan omong kosongmu

Lalu aku harus bagaimana?

Saat mahasiswa berani menyuarakan ketidakpuasan, pihak fakultas justru menggurui tentang “kesopanan”, bukannya introspeksi atas ketidakbecusan mereka sendiri. Bayangkan seorang pencopet yang tertangkap basah, bukannya minta maaf, malah berkata, “Tolong dong kalau nangkep saya yang sopan, jangan teriak-teriak gitu.” Absurd, bukan? Tapi itulah yang terjadi di FIB—absurditas yang dibungkus dalam formalitas akademik.

Fakultas yang seharusnya menjadi pelopor dialog terbuka justru menjadi benteng terakhir feodalisme di era digital. Ketika ditanya soal timeline PkM, mereka menjawab dengan ceramah panjang lebar tentang “integrasi program” dan “dinamika perubahan”, tanpa memberikan jawaban konkret—seperti politisi yang ditanya soal janji kampanye.

Ini memalukan, fakultas ilmu budaya kalah dalam hal pengabdian dengan fakultas STEM? Bahkan FMIPA yang fokusnya pada rumus dan molekul sudah melakukan survei desa, sementara FIB masih kebingungan dengan integrasi program. Iya namanya memang fakultas ilmu budaya, tapi budaya yang dilanggengkan adalah budaya ketidakbecusan, persis seperti pemerintah indonesia sekarang.

Omong Kosong Fetish “Akreditasi Unggul”

Omong kosong itu banyak variannya. Salah satunya adalah fakultas yang sibuk melabeli diri dengan “Akreditasi Unggul” tapi tidak becus menyelenggarakan tri dharma perguruan tinggi. FIB UB dengan bangga mengejar “Akreditasi Unggul” untuk berbagai program studinya, mereka berbondong-bondong memperbaiki citra bahkan mengintimidasi pers mahasiswa yang mengungkap kebobrokan tentangnya. Akreditasi yang seharusnya menjadi cermin kualitas akademik telah menjadi fetish toxic yang tidak sehat, dosen-dosen menjadi posesif dengan simulakrum kebaikan dan lupa memperbaiki berbagai kekacauan.

Fakultas Ilmu Budaya baru saja menyelenggarakan pemilihan dekan, mungkin saja para dosen dan birokratnya lebih sibuk rebutan kekuasaan ketimbang membimbing mahasiswanya. Drama pemilihan dekan ini, jika disimak, mirip sekali dengan sinetron Indonesia: panjang, berbelit-belit, dan endingnya sudah bisa ditebak. Para kandidat berjalan gagah di koridor fakultas dengan senyum diplomatis yang sama palsu dengan janji-janji kampanye mereka. Kekuasaan seringkali hanya pergantian nama di jabatan yang sama, tanpa perubahan substansial pada kualitas pelayanan.

Mengutip antropolog David Graeber tentang teori “kerja omong kosong” dalam Bullshit Jobs, yang dikerjakan oleh birokrat FIB adalah pekerjaan omong kosong, karena mereka telah mengalami disfungsi dalam menyelenggarakan pelayanan akademik yang baik. Pekerjaan mereka seperti lukisan abstrak yang mahal—sulit dipahami, kontroversial, dan hanya dihargai oleh segelintir orang yang mengklaim diri sebagai “pencinta seni.” Setiap hari, para birokrat dengan tekun mengisi formulir demi formulir, menandatangani berkas demi berkas, dan menyelenggarakan rapat demi rapat yang tak berujung pada solusi konkret. Mungkin bagi mereka, tumpukan kertas adalah monumen keberhasilan, meskipun secara kongkrit mahasiswa tidak merasakan manfaatnya.

Akreditasi Unggul adalah dua kata yang terdengar manis bagi pihak luar namun pahit jika tahu realitanya. Seperti menggunakan riasan tebal untuk menutupi jerawat, akreditasi unggul hanya menyembunyikan sementara kebobrokan sistem yang ada. Jika saja borang akreditasi mencantumkan poin “Tingkat Keresahan Mahasiswa” atau “Indeks Ketidakjelasan Informasi,” mungkin FIB akan mendapat nilai “Sangat Memuaskan” dalam kategori tersebut. Tapi tentu saja, itu tidak ada dalam standar penilaian—karena sistem akreditasi kita sendiri adalah bagian dari sandiwara besar pendidikan tinggi Indonesia.

Fakultas Ilmu Barak

Kesopanan yang dihasrati oleh pihak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya adalah kesopanan ala barak militer, bukan kesopanan penuntut ilmu—sebab kesopanan penuntut ilmu adalah kesopanan yang egaliter dan tidak membiarkan kebobrokan suatu sistem/institusi ditutupi sedemikian rupa. Di FIB, kesopanan berarti “jangan bertanya, jangan protes, jangan berpikir kritis”—seperti kadet militer yang harus menelan mentah-mentah perintah komandan tanpa bertanya “mengapa?”—yang tentu sebagai penuntut ilmu saya tidak akan menurut, sebab penuntut ilmu itu “penuntut” dan bukan “penurut”.

Pada hari rabu tanggal 4 juni 2025, saya mendapat pesan Whatsapp berisi surat panggilan dari Tim Etik FIB UB dengan keterangan rahasia karena melanggar kode etik mahasiswa. Anehnya dalam surat itu tidak dijelaskan kode etik apa yang saya langgar, ini jelas membuktikan bahwa pembuat surat adalah Tim Etik yang arogan dan sok asyik. Surat panggilan itu seperti undangan makan malam misterius: “Datanglah ke alamat ini jam 8 malam. Bawa dirimu. Jangan tanya-tanya.” Siapa yang tidak curiga dengan undangan semacam itu? Bahkan kesalahan ejaan—penulisan “ditempat” yang seharusnya “di tempat”—menunjukkan keculasan fakultas yang isinya program studi pendidikan bahasa dan sastra. Dasar Tim Etik yang tidak punya “ETIK”, meminjam statement Presiden Indonesia ke-8, Pak Prabowo Subianto: “Ndasmu Etik!”

Nama universitas kita adalah nama yang sesuai dengan identitas raja atau jenderal atau pahlawan perang, Brawijaya—seakan-akan kampus adalah medan pertempuran, bukan taman pemikiran. Kita memanggil dosen dengan gelar-gelar panjang yang melelahkan lidah, membungkuk-bungkuk seperti abdi dalem keraton, dan takut mengkritik karena dicap tidak sopan. Sungguh, jauh lebih mudah mengkritik presiden di media sosial daripada mengkritik birokrasi fakultas di grup WhatsApp resmi!

Di tengah kultur militeristik ini, sempat ada harapan. Salah satu dosen antropologi saya dengan tegas menolak dipanggil “Pak” dan bahkan menolak salaman mahasiswa yang menempelkan tangan di dahi, dia berkata: “Ini Kampus, bukan koramil”. Egalitarianisme yang ia praktikkan adalah contoh bahwa kultur akademik yang sehat itu mungkin—jika saja ada lebih banyak dosen seperti beliau, mungkin FIB tidak akan menjadi “Fakultas Ilmu Barak” seperti sekarang. Namun sayangnya dosen tersebut sudah pindah, kita bisa mencoba menduga alasannya.

Tentu saya, bahkan banyak mahasiswa berharap FIB UB bertobat dengan taubatan nasuha. Namun apakah kita bisa berharap pada prajurit barak tentara berkedok akademisi? Dan pada akhirnya kesopanan militeristik di FIB UB tidak membutuhkan demiliterisasi, ia akan terus ada dan berlipat ganda—beserta dengan kebohongan-kebohongan culas para birokrat di borang akreditasi—untuk menyongsong kematiannya sendiri.

Penulis: Mohammad Rafi Azzamy

Ilustrator: Gracia Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.