NARASI BARU, POLA LAMA: FORUM BRAWIJAYA DAN DINAMIKA POLITIK KAMPUS

0

Ilustrator: Gracia Cahyadi

Belakangan ini, media sosial mahasiswa Universitas Brawijaya kembali diramaikan oleh episode baru dalam sinetron panjang politik kampus: munculnya kontrak perjanjian Koalisi Raja Brawijaya. Dokumen ini—sebagaimana naskah klasik politik kampus pada umumnya—berisi susunan koalisi dan komposisi kekuasaan yang didominasi nama-nama lama dari organisasi mahasiswa ekstra kampus (OMEK). Namun yang menarik, kali ini ada satu nama baru di dalamnya: Forum Brawijaya.

Nama ini sontak menimbulkan tanda tanya. Forum Brawijaya? Siapa mereka? Apa posisinya? Dan mengapa tiba-tiba terlibat dalam permainan politik kontrak?

Setelah ditelusuri, Forum Brawijaya ternyata merupakan representasi dari kelompok yang sebelumnya dikenal sebagai Anti Omek (AO)—kelompok mahasiswa yang selama ini berdiri di luar arus utama, mengkritisi praktik elitis dan nepotistik dalam politik kampus. Mereka dikenal vokal dengan narasi anti-OMEK dan anti-nepotisme. Namun, kini mereka bukan lagi oposisi. Mereka bagian dari koalisi.

Lantas, muncul pertanyaan besar: bagaimana bisa kelompok yang mengaku “anti” justru kini duduk semeja dengan mereka yang dulu dicela? Apakah karena telah menandatangani kontrak politik bersama, mereka berganti nama menjadi Forum Brawijaya karena diksi “anti” sudah tak lagi relevan? Atau ini hanyalah permainan simbol dan semantik—menggunakan nama “Forum Brawijaya” seolah tetap memakai jubah netral agar terlihat bersih, meski langkahnya tak jauh dari yang dihinanya?

Antara Forum dan Forum-Foruman

Secara etimologis, “forum” berasal dari bahasa Latin forum—ruang terbuka tempat warga berkumpul untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat. Dalam konteks ini, Forum Brawijaya seharusnya menjadi wadah inklusif yang menampung suara 55 ribu mahasiswa Universitas Brawijaya. Namun jika kehadirannya hanya didasarkan pada manuver segelintir individu tanpa mekanisme partisipatif dan transparansi, layakkah ia disebut “Forum”?

Jika benar mengklaim mewakili mahasiswa UB, seharusnya Forum Brawijaya membangun proses yang demokratis—setidaknya melalui polling, diskusi terbuka, atau bentuk musyawarah lain yang inklusif. Tanpa itu, Forum Brawijaya hanyalah forum-foruman: ruang tertutup yang diklaim terbuka; panggung kecil yang mengaku mewakili seluruh penonton.

Retaknya Netralitas

Yang lebih mengkhawatirkan adalah penyalahgunaan istilah “mahasiswa netral”. Mahasiswa netral sejatinya adalah mereka yang tidak tergabung dalam latar belakang mana pun—menjunjung meritokrasi, bersikap independen dalam pemikiran maupun tindakan.

Namun kini, istilah itu tampaknya mengalami degradasi makna. Ia dijadikan tameng untuk mengaburkan peran: tak mengaku bagian dari OMEK, tapi ikut menandatangani kontrak dan menyusun arah politik kampus bersama mereka yang dulu dikritik. Mereka ikut memasak, menyajikan, dan menikmati hidangan politik di dapur yang sama. Masihkah itu disebut netral?

Kritik dan Refleksi

Tulisan ini bukan untuk menyerang, tetapi sebagai pengingat. Jika sekelompok individu hendak menggunakan nama “Forum Brawijaya,” maka forum itu seharusnya terbuka bagi seluruh mahasiswa Brawijaya—dengan transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme representatif yang nyata. Jika tidak, mereka hanyalah aktor lama dengan nama baru: slogan boleh berubah, tapi strateginya tetap sama.

Di tengah situasi ini, mahasiswa UB patut bertanya ulang: siapa yang benar-benar mewakili suara kita? Apakah nama-nama yang tampil di layar benar-benar membawa kepentingan bersama, atau hanya segelintir individu yang berganti baju? Sebab jika tidak hati-hati, netralitas yang selama ini diperjuangkan bisa berubah jadi ironi: digunakan sebagai selimut untuk menyembunyikan arah keberpihakan yang sebenarnya.

Penulis: Maria Ruth Hanna Lefaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.