SEBUAH CATATAN UNTUK PAK DEKAN: MASALAH PERTANIAN BUKAN URUSAN MILITER

Sejak ramai isu Tolak RUU TNI yang saat ini sudah disahkan oleh presiden muncul pelbagai penolakan dari banyak lapisan masyarakat, tak terkecuali para akademisi. Beberapa waktu lalu saya membaca tulisan opini dari dekan fakultas pertanian Universitas Brawijaya di sebuah laman media online. Opini dari Prof. Mangku juga sempat dibagikan melalui instastory akun resmi fakultas. Tulisan yang bertajuk ‘Polemik Peran TNI dalam Kedaulatan Pangan’ ini saya rasa tak lebih dari teks pidato untuk sambutan, khas acara seremonial di dalam kampus. Sikap berusaha ‘netral’ sepertinya memang sudah menjadi jati diri dari birokrat kampus yang ingin menjaga citra kampusnya.
Dalam tulisannya pak dekan coba bermain secara pasif agresif namun sayangnya yang saya lihat justru lebih banyak pasifnya dibanding agresif. Terlihat dari kritiknya terhadap upaya setengah-setengah pemerintah dalam pertanian terutama dalam hal-hal teknis. Dari kritik yang disampaikan solusi yang diberikan adalah menyempilkan tugas yang bisa diisi tentara. Bagi saya ini hanya seperti menambal ban dengan kain loreng. Dari luar akan nampak tertutup tapi tidak akan berfungsi dengan baik.
Terjebak dalam Romantisme 98
Prof. Mangku menuliskan bahwa legitimasi paradigma masyarakat terhadap militer sudah berubah. Premis yang digunakan adalah generasi sekarang tidak mengalami pengalaman buruk dengan tentara sehingga tidak memiliki trauma dan dianggap lebih objektif karenanya.
Tentu saja anggapan ini salah dan Prof. Mangku seperti gagal memahami bahwa trauma kolektif itu akan selalu diturunkan pada generasi selanjutnya. Kalau dalam konteks pertanian sendiri, sebenarnya kita bisa membaca berapa banyak keterlibatan militer dalam perampasan lahan petani beberapa tahun terakhir. Mungkin pak dekan terjebak dalam aktivismenya di tahun 98 sehingga tidak melihat konflik yang dialami petani di tahun-tahun setelahnya.
Hal ini wajar karena membahas hal-hal bernuansa kenangan akan selalu menyenangkan. Terlebih lagi ketika kita sudah tidak memilikinya, (idealisme) tentu saja dalam konteks ini. Narasi pembanding antara aksi hari ini dan aksi era 98 selalu mendengungkan pengerdilan dan cenderung mereduksinya. Doksing dan perampasan ruang aman di ranah digital memang tidak menjadi ancaman langsung terhadap nyawa tapi ini lah ancaman bagi aktivisme di era ini.
Peretasan jadi manifestasi dari peluru tajam di ruang siber. Dia ditodongkan ke setiap orang yang dianggap terlalu berisik di sosial media maupun koordinator aksi. Beberapa tahun belakangan, setiap ada demonstrasi selalu diwarnai dengan berita peretasan yang dialami massa aksi. Belum lagi pasal karet UU ITE yang bisa menjerat siapa saja, seperti yang dialami petani Pakel 2023 silam. Jika hanya beradu seram dan ketangguhan ini tidak akan ada habisnya.
Militer Bukan Solusi Masalah Pertanian
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sendiri mencatat di tahun 2024 saja terdapat 295 konflik agraria yang 173 diantaranya dialami oleh petani. Beberapa konflik yang terjadi, melibatkan aparat dan militer. Ini baru lapisan luar dari keterlibatan militer dalam konflik di ladang petani. Belum lagi urusan food estate yang teknisnya dieksekusi oleh militer. Dengan konflik sebanyak ini saya meragukan saran Prof. Mangku untuk membiarkan militer mengisi ruang-ruang sipil dalam ranah pertanian.
Dalam pembangunan pertanian, budaya dan kearifan lokal menjadi salah kunci utama pertanian berkelanjutan. Filosofi pertanian di Bali misal, tentang tri hita karana menyoal harmonisasi antara alam, tuhan manusia atau keselarasan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam menjaga alam dengan bertani secara organik. Nilai-nilai ini jelas tidak akan bisa diterapkan jika menggunakan paradigma antroposentris. Pembangunan pertanian secara antroposentris hanya akan berakhir pada eksploitasi alam dan hanya berfokus pada hasil. Pelibatan militer jelas hanya akan melanggengkan bertani secara antroposentris dan berpotensi menghilangkan hal-hal filosofis dan budaya dalam pertanian. Seyogianya bertani memang tidak melulu soal statistik apalagi jadi penunjang karir militer. Saya yakin Prof. Mangku memahami betul bagaimana ragam sosial budaya yang terbentuk dalam pertanian di Indonesia.
Selain itu wacana bahwa militer bisa membantu pembukaan kawasan pangan baru berskala luas lebih terkesan mirip paradigma pebisnis eropa yang datang ke hindia sambil membawa tentaranya. Pengerahan militer akan berdampak terhadap metode pembebasan lahan serta berpotensi adanya penggunaan kekuatan berlebih oleh aparat.
Lalu pengerahan BABINSA untuk penyuluhan? saya rasa jangan lagi. Karena petani kita sudah pernah merasakannya lewat program BIMAS era orde baru yang sebagian diisi oleh militer. Jangan ada lagi rantai komando di ladang petani. Sudah cukup para petani era orde baru mengalami kriminalisasi hanya karena proses dan hasil tak sesuai perintah. Gatot Surono misalnya, seorang petani asal purbalingga yang mengalami kriminalisasi. Kala itu beliau lebih memilih bertani secara organik dan lebih memilih varietas lokal dibanding teknik dan varietas dari pemerintah. Alih-alih mendapatkan kebebasan dalam bertani beliau malah dibui karena dianggap melawan perintah negara.
Kembali ke masa itu sama saja melanggengkan pertanian gaya kolonial. Dibanding mengerahkan tentara nganggur, saya lebih setuju dengan pengerahan teknokrat dan optimalisasi serapan lulusan pertanian itu sendiri. Bahkan lebih baik jika kita dapat menggandeng dan belajar dari masyarakat adat soal kedaulatan pangan.
Akademisi dan Birokrat Kampus
Isu soal ancaman terhadap supremasi sipil ini mendapat perhatian dari banyak pihak tak terkecuali para birokrat dan akademisi kampus; UGM dan UII misalnya. Mereka memiliki sikap yang jelas dalam mendukung supremasi sipil dengan membuat pernyataan sikap dan turut melebur bersama mahasiswanya dalam menolak Revisi UU TNI.
Sayangnya hal serupa tidak terjadi di semua kampus. Beberapa birokrat kampus justru diketahui secara sadar memberikan ruang untuk militer di dalam kampusnya. Berkaca dari sikap dari birokrat kampus ini, saya rasa beberapa dari mereka gagal memahami situasi dan kondisi masyarakat yang tengah menolak wacana perluasan tugas militer di ranah sipil.
Absennya birokrat kampus dalam bersikap terutama dari prodi-prodi saintek sebenarnya perlu dipertanyakan. Sejauh ini saya hanya melihat dosen dan birokrat kampus dengan latar belakang soshum yang berani mengambil sikap. Padahal dampak dari supremasi militer ini akan dirasakan juga oleh orang-orang saintek.
Saya memahami bahwa sebetulnya Prof. Mangku tampaknya juga resah terhadap isu ini. Terlihat dari caranya memberikan argumen penutup tentang pentingnya menjaga ruang sipil. Sayangnya itu sangat bertolak belakang dengan isi tulisannya. Memang berada ditengah akan terlihat lebih aman bagi seorang birokrat kampus, tapi dalam isu ini Bapak tidak sedang membela citra kampus.
Mungkin perlu dipahami lagi bahwa isu Sipil-Militer ini bukan sekadar istilah soshum saja, melainkan soal paradigma dan pemahaman seseorang dalam penyelesaian suatu masalah. Berusaha mencuci tangan dengan mengatakan tidak mau masuk pada debat ketatanegaraan dan dialektika sipil-militer tentu bukan hal yang bijak. Narasi tersebut kontradiksi dengan usaha melihat masalah pertanian secara holistik. Perlu diingat bahwa usaha menjadi netral hanya akan semakin menjauhkan masalah pertanian dari ruang-ruang diskusi publik.
Penulis: Byllal Fajar Aristiadi (Kontribusi Pembaca)
Ilustrator: Gracia Cahyadi