PANGGUNG, PENIS, DAN PUJA-PUJI

Ilustrator: Gracia Cahyadi
Mereka mengepalkan tangan ke atas, memoles citra di media sosial dengan apik, dan dipuja di atas langit. Namun diam-diam, ada tubuh yang mereka sentuh tanpa izin, dan singgasana yang mereka duduki tanpa malu. Sungguh fenomena janggal—pelaku kekerasan seksual tak hanya lolos, melainkan juga diberi panggung. Rupanya, yang dibutuhkan hanyalah tiga hal: panggung, penis, dan puja-puji.
Menjadi buah bibir seolah tak cukup, diviralkan pun juga tidak mencederai rasa malunya. Ironisnya, seruan “Hidup Perempuan yang Melawan!” dapat mereka lontarkan dengan enteng, mungkin kehausan akan eksistensi dan narsisme telah menggerogoti jiwa mereka. Toh, rasa malu tak pernah mampir pada kemaluannya—bagaimana mungkin ia bisa sampai ke hati dan akalnya?
Ambisi tajam yang dibungkus panggung megah disiapkan sedemikian rupa, seolah masa depan mereka telah dijamin. Apakah karena itu, Tuan-Tuan merasa percaya diri menjadi penjahat kelamin? Karena Tuan-Tuan tahu—senajis apa pun kalian, peluang dalam hidup tetap tersedia. Sementara korban? Mereka harus hidup dalam bayang-bayang trauma atas perbuatan kalian yang bejat.
Mungkin ego memang sulit dikendalikan—tapi tampaknya lebih sulit menahan nafsu. Entah penis kalian pendek sependek akal sehat, atau panjang setinggi ego yang menjulang, tetap saja logika kalian serendah itu. Ego macam apa lagi yang kalian kejar? Jabatan sudah di tangan, tapi kalian masih berpikir semua perempuan pasti mau dan mudah didapatkan? Dan ketika seorang perempuan memberi penolakan, itu terasa seperti mencoreng harga diri kalian. Maka mulailah kalian menyebar fitnah, melecehkan dia dalam obrolan tongkrongan, bahkan melakukan kekerasan seksual—semata karena dia tak bisa kalian miliki, tak bisa jadi pemuas nafsu dan ego kalian yang busuk itu.
Masih satu tarikan napas dengan ego maskulinitas yang beracun, pujian seolah sudah menjadi santapan harian. Tiap tepuk tangan, tiap sanjungan, tiap lirikan kekaguman—semuanya kalian kunyah rakus, lalu memuntahkannya dalam bentuk ilusi bahwa setiap perempuan akan tunduk dan memuja kalian.
Oh, jangan selalu kelaparan, Tuan. Perempuan bukan prasmanan bagi ego dan hasrat liar kalian. Tidak semua tatapan adalah undangan. Tidak semua senyum adalah persetujuan. Perempuan bukan mangsa yang hadir untuk memuaskan lapar validasi dan birahi kalian. Kami manusia—bukan trofi, bukan umpan, bukan alat ukur kejantanan kalian.
Cancel culture seolah hanya setipis bisik-bisik: “dinding fakultas juga bisa berbicara.” Tapi lebih dari itu? Pelaku tetap divalidasi dan dilindungi oleh pertemanan yang solid, berlindung di balik kata “solidaritas” sambil menutup telinga terhadap jeritan korban. Mereka masih aktif berorganisasi dan mengikuti komunitas, menjabat posisi penting dengan senyum bangga, seraya berpikir, “kemarin adalah cobaan luar biasa, sekarang saatnya bangkit. I’ve made it.” Oh, sungguh?
Ironisnya, kisah seperti ini terlalu sering terjadi di sekitar kita. Pelaku mendapatkan perlindungan—entah dari uang, koneksi, atau relasi kuasa. Untuk apa? Imunitas hukum? Reputasi bersih di CV? Sungguh puncak komedi—melihat lelaki-lelaki hebat ini tak punya cukup nyali untuk bertanggung jawab.
Bahkan setelah label “pelaku kekerasan seksual” melekat di punggung mereka, mereka tetap melangkah ringan—mendekati perempuan lain dengan wajah manis dan percaya diri yang menjengkelkan. Seolah cap itu bukan aib, melainkan lencana pencapaian. Seolah perempuan-perempuan berikutnya tak akan tahu, atau tak akan peduli. Dan bahkan kalau tahu pun, toh mereka yakin bisa memanipulasi, merayu, dan menaklukkan lagi.
Ini bukan sekadar masalah moral, ini soal sistem yang gagal membuat mereka merasa malu. Karena di dunia mereka, kekerasan seksual hanya sekilas gangguan reputasi—bukan dosa, bukan kejahatan, apalagi penghalang untuk terus meraih panggung dan puja-puji. Dan sayangnya, selama kita diam, dunia ini akan terus jadi panggung mereka.
Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyindir perseorangan atau golongan tertentu, but if the shoe fits, wear it, Cinderella.
Penulis: Maria Ruth Hanna Lefaan