JANJI PALSU DAN DEMOKRASI TIPU-TIPU

Prabowo Imajiner
Mari berandai-andai bahwa Prabowo Subianto adalah insan yang amat demokratis. Setiap senti dari tubuhnya adalah cermin dari cintanya kepada rakyat. Matanya selalu berlinang air mata saat melihat penderitaan rakyat. Telinganya hanya untuk mendengar keluhan rakyat. Mulutnya adalah penyambung suara rakyat. Pada Prabowo yang seperti itu, di kepalanya hanya ada rakyat, rakyat, dan rakyat.
Maka setiap malam bagi Prabowo yang demokratis adalah renungan penuh kepedihan. Satu per satu kehendak rakyat ia pikirkan dengan seksama dan hati-hati. Keesokan harinya, ia kumpulkan para pembantunya dan ia sampaikan setiap kemauan rakyat secara mendetail. Ia pastikan tak ada yang terselip, terlupa, atau tertinggal. Beberapa hari setelahnya, ia putuskan untuk merampingkan kabinetnya. Menteri-menteri yang tak kompeten ia ganti. Para staf ahli, staf khusus, dan utusan khusus presiden yang nirguna, ia copoti dalam satu waktu.
Dengan penuh kerendahan hati, ia akui pula pada khalayak bahwa program makan bergizi gratis andalannya hanyalah janji kampanye keceplosan. Ia meminta maaf pada masyarakat, menghentikan program itu beserta program lain yang tak berpihak pada masyarakat marginal, dan mulai mendengarkan masukkan para ahli dalam merancang program-programnya. Pada Prabowo yang seperti itu, ia begitu malu pada rakyat dan tak terlintas di pikirannya untuk kembali mencalonkan diri.
Prabowo Sejati
Namun sayang, Prabowo yang seperti itu tak berada dalam universe kita. Prabowo dalam universe kita adalah Prabowo sejati. Prabowo yang keras kepala sedari lahir. Prabowo yang lari dari masalah dan kembali tanpa tahu malu untuk ingin berkuasa. Prabowo yang pantang menyerah dan tak tahu diri untuk memuaskan egonya. Prabowo yang culas untuk kemenangan. Prabowo yang akhirnya duduk di tampuk kekuasaan tertinggi di senja kala usianya. Prabowo dalam universe kita adalah Prabowo sejati: Prabowo otoriter yang keberpihakannya pada rakyat kecil hanyalah omong kosong belaka.
Dalam praktik kepemimpinan, Prabowo sejati seakan tak bosan dengan kebohongan. Pecatan tentara itu seolah terserang amnesia mendadak berkali-kali. Janji mengejar koruptor hingga ke Antartika ia ingkari dengan kedermawanan hatinya yang ingin memaafkan koruptor. Janji tak bagi-bagi jabatan ia dustai dengan membuat kabinet super besar. Macan Asia yang ia gembor-gemborkan itu ternyata tak lebih dari anak kucing mungil yang bahkan tak berani untuk mengeong. Dari sini kita tahu bahwa branding gemoy yang ia gunakan semasa kampanye adalah topeng menjijikkan untuk menutupi pribadi bengisnya.
Sayang seribu sayang, Prabowo sejati tak hanya cukup dengan kebohongan, tetapi juga mempertontonkan kebodohan. Setelah food estate yang ia kelola semasa menjabat Menteri Pertahanan gagal total, ia tak muhasabah diri. Sebaliknya, dengan penuh kesadaran ia mengatakan bahwa alih guna hutan menjadi perkebunan kelapa sawit bukanlah deforestasi. Katanya, pohon kelapa sawit tak ada bedanya dengan pepohonan di hutan alam. Prabowo yang sok tahu itu jelas membuat para ahli lingkungan geleng-geleng kepala. Sayangnya, bukannya meminta masukkan, Prabowo justru tuli pada pendapat ahli.
Dan baru-baru ini, Prabowo sejati yang kian usang dimakan usia itu tampil lagi. Dalam pidatonya di HUT Gerindra ke-17, ia bak toddler tantrum. Sebagai kepala negara, Prabowo tak menunjukkan dirinya memiliki keberanian moral untuk belajar dari kritik. Sebaliknya, ia malah menunjukkan sifat anti kritiknya. Alih-alih menerima kritik sebagai masukan, Prabowo justru membalas secara emosional melalui umpatan “Ndasmu” kepada orang-orang yang mengkritik kabinet super besarnya. Bukannya melakukan introspeksi, Prabowo malah marah-marah di hadapan para penjilatnya yang senantiasa ketawa karier.
Tak hanya itu, pembenaran yang ia berikan terhadap kabinet super besarnya dalam pidato yang sama juga sesat dan salah kaprah. Ia menyamakan luas Indonesia dengan luas benua Eropa. Sekali lagi, Prabowo mempertontonkan kebodohannya dalam membaca data. Sebab, luas benua Eropa lebih dari lima kali lipat luas Indonesia. Apa yang dilakukan Prabowo justru menunjukkan bahwa ia bahkan tak khatam membaca Atlas semasa sekolah dasar.
Maka begitu mengherankan kala Prabowo sejati yang belum genap empat bulan menjabat presiden dan segala carut-marut yang telah ia perbuat, justru dengan sadar ingin mencalonkan diri kembali di pemilihan presiden mendatang. Tak main-main, ia bahkan menginginkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menjadi koalisi permanen untuk lima tahun ke depan. Keinginan Prabowo untuk mematenkan gerbong koalisi super gemuknya selama masa pemerintahannya jelas menunjukkan bahwa ia tak paham bagaimana idealnya konsep trias politica berjalan. Menggandeng hampir seluruh partai penghuni DPR sama saja bermaksud menghilangkan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh lembaga legislatif sehingga yang tersisa adalah kekuasaan yang absolut dan kompromi dalam senyap. Lebih-lebih, setelah terbitnya Revisi Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang membuat DPR bisa mengevaluasi pejabat publik yang pemilihannya dilakukan melalui DPR. Dengan kewenangan sebesar itu, Prabowo jelas bisa dengan mudah mengendalikan pejabat publik melalui DPR. Maka patut dicurigai bahwa keinginan Prabowo sejati bukanlah demi membangun bangsa secara bersama-sama, melainkan membunuh demokrasi dan mewujudkan ambisi narsisnya belaka.
Praktik kepemimpinan Prabowo—meskipun baru seumur jagung—jelas melenceng jauh dari esensi demokrasi yang ideal. Ia gagal mengintegrasikan nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap kebijakannya. Yang ia lakukan tak lebih dari berlindung dengan retorika demokratis semu melalui berbagai pidatonya yang seolah “demi rakyat” dan menutupi kebijakan otoriternya di balik topeng populisme. Prabowo tak sadar atau setidaknya tak mau sadar bahwa setiap kritik tajam terhadap dirinya bukan semata-mata merupakan seruan retoris, melainkan sebuah tuntutan mendasar untuk pengembalian prinsip-prinsip demokrasi yang sebenarnya.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berandai-andai karena Prabowo sejati dalam universe kita bukanlah sosok pemimpin sejati. Sebab, pemimpin sejati ialah pemimpin yang mampu mengakui kelemahan dan memperbaiki jalannya pemerintahan berdasarkan dialog kritis serta partisipasi aktif masyarakat. Dan hanya dengan pemimpin yang demikian, demokrasi di negeri ini tak hanya menjadi slogan bualan belaka.
Penulis: Dimas Candra Pradana
Ilustratror: Gracia Cahyadi