EGO MAKAN GRATIS DAN KERAS KEPALA EFISIENSI ANGGARAN

Sedari awal, ia—Presiden Prabowo Subianto—menunjuk orang-orang yang tak kompeten untuk mengisi beberapa pos krusial di pemerintahan. Apa yang dilakukan Prabowo tak lebih dari sekadar politik balas budi karena membantunya memenangkan pemilu. Hasilnya jelas mudah ditebak: kebijakan yang semrawut dan menyengsarakan masyarakat.
Maka, dapat kita katakan bersama: belum genap empat bulan menjabat, Prabowo telah mempertontonkan ketidakcakapannya mengelola negara. Ucapan dan kebijakannya acap kali inkonsisten dan saling kontradiktif. Langkah yang diambil para menterinya juga sering kali memberi kesan bahwa tak ada koordinasi antara presiden dengan para pembantunya.
Keputusan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, soal pelarangan penjualan gas LPG tiga kilogram oleh para pengecer di awal Februari lalu, misalnya. Bukan hanya menyebabkan kelangkaan dan antrean panjang, keputusan serampangan ini bahkan memakan korban jiwa. Dan kemudian—bak pahlawan kesiangan—Prabowo menginstruksikan agar gas LPG tiga kilogram diperbolehkan kembali dijual oleh para pengecer.
Ketidakcakapan Prabowo juga bisa dilihat dalam kebijakannya yang lain. Salah satunya, soal kebijakan efisiensi anggaran. Naas, bukannya menghemat belanja negara, kebijakan ini justru mengacaukan banyak program kerja strategis. Sebab, sejumlah kementerian dan lembaga negara yang paling berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak justru yang anggarannya dipangkas besar-besaran.
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menjadi salah satu yang paling dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang. Tak main-main, anggaran mereka dipangkas sebesar Rp 60,46 triliun. Imbasnya tak hanya dirasakan oleh para petani akibat batalnya pembangunan belasan bendungan dan rehabilitasi ribuan jaringan irigasi, tetapi juga 18.000 pegawai honorer yang harus mencari pekerjaan baru karena kontraknya tak diperpanjang.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisainstek) juga tak luput dari efisiensi anggaran. Pemangkasan anggaran sebesar Rp 22,5 triliun tentu akan berdampak pada pemotongan alokasi bantuan terhadap perguruan tinggi negeri (PTN). Alhasil, potensi kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) jelas tak terhindarkan. Tak hanya itu, anggaran untuk beasiswa pendidikan juga dalam posisi terancam. Di titik ini, Prabowo nyata gagal memberikan pendidikan yang berkualitas dan merata. Pada titik ini pula, Prabowo membuktikan bahwa programnya hanyalah sampah yang menimbulkan kebusukan di udara.
Gunting-menggunting anggaran kementerian dan lembaga negara yang dilakukan Prabowo tak hanya bermasalah karena dampaknya akan memengaruhi nasib khalayak ramai, tetapi juga karena ia kontradiktif dengan tujuannya sendiri. Kabinet gendut yang Prabowo buat di awal pemerintahan adalah contohnya. Mengakomodasi 109 pejabat setingkat menteri dan wakil menteri beserta para staf ahli dan staf khusus di bawahnya jelas membuat anggaran negara kian boncos. Lagi-lagi, demi balas budi.
Tak hanya itu, Prabowo juga terkesan tak memiliki perencanaan yang matang dalam berbagai programnya. Program populis makan bergizi gratis, misalnya. Tak hanya membutuhkan anggaran super besar, program ini juga tak benar-benar menyentuh akar permasalahan sebagaimana tujuannya. Sebaliknya, demi merealisasikan janji kampanyenya, berbagai sektor fundamental justru menjadi tumbal. Dengan kata lain, kebijakan prioritas rezim ‘omon-omon’ ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah orgasme narsistik dari pensiunan tentara yang keras kepala.
Prabowo harusnya sadar bahwa ialah penyebab permasalahan anggaran saat ini. Prabowo sendirilah yang memprakarsai pemborosan anggaran. Setelah semua itu, semestinya Prabowo segera mengevaluasi pemerintahannya serta mencopot orang-orang yang tak kompeten di posisinya, bukan malah melanjutkan bagi-bagi kue dengan merekrut pejabat baru. Prabowo juga tak perlu malu untuk menyudahi program populisnya yang tak efektif itu dan mengalokasikan anggarannya kepada sektor lain yang jauh lebih krusial. Sebab, melanjutkan apa yang ada tak ubahnya membiarkan masyarakat kian terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan.
Redaksi Kavling10