Dampak Sosial dan Ekonomi Hadirnya ‘Kombi’, Mesin Pemotong Padi


Teknologi merupakan sesuatu yang ditemukan oleh manusia untuk mempermudah atau meringankan kerja manusia. Dengan ditemukannya teknologi di tiap zaman – yang selalu beda – perlahan kerja manusia akan semakin berkurang, digantikan teknologi. Kehadiran teknologi tidak bisa ditampik oleh manusia pada tiap zamannya. Kehadiran teknologi berjalan seiringan dengan perubahan dan kebutuhan tiap zaman.
Di kampung penulis, ada teknologi yang belakangan ini lumayan menggemparkan. Kegemparan terjurus karena kampung penulis adalah kampung yang mayoritas petani. Teknologi tersebut adalah mesin pemotong padi sekaligus pemisah gabah dari jerami. Mesin itu disebut masyarakat di kampung penulis dengan kombi – beginilah orang-orang menyebutnya, setidaknya di kampung penulis. Pemilik mesin kombi hanya secuil dari sekian banyak orang, dari satu kecamatan saja jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Pemilik sawah biasanya menggunakan jasa pemanenan menggunakan kombi dari desa lain, bahkan juga dari kecamatan lain karena jumlahnya masih sedikit. Pemilik kombi yang menyewakan jasanya membutukan sekitar lima orang beserta sopir kombi dengan ongkos lima puluh ribu per kuintal gabah yang dihasilkan.
Kombi ini masif digunakan sekitar 3 tahun belakangan ini, atau setidaknya lima kali panen terakhir ini. Tidak semua petani, yang memiliki sawah, menggunakan kombi untuk mengunduh hasil panennya. Perbedaan pilihan inilah yang membuat kehadiran kombi memberi setidaknya tiga dampak dalam lingkup sosial dan ekonomi
Pertama, Perasaan Dirugikan Bagi yang Tidak Memakai
Pemilik sawah yang menggunakan kombi untuk memotong padi hasil panennya mempunyai alasan, pun demikian yang masih dengan cara manual. Bagi pemilik sawah yang menggunakan kombi mengatakan bahwa menggunakan kombi untuk memotong padi hasil panen lebih hemat biaya, pun demikian sebaliknya yang menggunakan cara manual emngatakan abhwa memanen padi menggunakan cara manual lebih hemat biaya ketimbang menggunakan kombi.
Menggunakan kombi ongkosnya adalah 50 ribu per kuintal gabah, semakin banyak hasil panen semakin besar ongkosnya. Untuk memanen cara manual ongkosnya dihitung harian – tidak berpengaruh besar kecil hasil panen – dengan ongkos satu buruh tani 100 ribu per hari. Ditambah lagi biaya gerantek (mesin untuk melepaskan gabah dari jerami) dengan biaya lima ribu per karung hasil panen dan biaya untuk membuat makanan, minuman, camilan.
Untuk hitung-hitungan tepatnya mana yang lebih hemat memang sulit dipastikan. Ketika menggunakan alat manual, pemilih sawah harus mengeluarkan baiaya untuk memasak makanan, membuatkan minuman, atau bahkan camilan pada kelompok pemotong padi yang ada di sawah. Hal ini tidak bisa dipastikan jumlah tepatnya, karena perihal makanan, minuman, atau bahkan camilan tidaklah pasti jenis dan harganya, tergantung pilihan pemilik sawah makanan, minuman atau camilan yang disuguhkan. Tentu memasak tempe penyet dengan minum berupa air putih akan beda biayanya jika memasak rendang sapi dengan minum berupa sop buah.
Beda hal ketika menggunakan kombi, pemilik sawah tidak perlu memikirkan makanan, minuman atau camilan. Pemilik sawah hanya bisa hanya dengan santai ongkang-ongkang di rumah menunggu berkarung-karung gabah hasil panennya diantar ke rumah kemudian akan membayar dengan biaya ditentukan banyaknya hasil yang didapat. Pada dasarnya, alasan menggunakan atau tidak menggunakan kombi adalah mau atau tidak ribet mengurusi makanan, minuman, atau bahkan camilan, sampai aktivitas ngsusungi berkarung-karung gabah hasil panen ke rumah. Jika sanggup dan bersedia untuk mengurusui segala tetek-bengek kebiasaan orang dulu ketika panen, dia akan tetap manual alias tidak mengguankan kombi. Jika da tidak mau ribet dan hanya ingin pngkang-ongkang di rumah menunggu hasil panen, dia akan mengguanakn kombi.
Kecemburuan sosial ini tentu ada dan tidak bisa dielak. Kombi, mesin dengan roda besi mampu merusak. Tentu sawah yang dilewati kombi, namun tidak menggunakan kombi untuk memanen pematangnya bisa rusak dan jebol karena terlindas roda kombi yang terbuat dari besi tersebut.Ini sesuatu sederhana, namun jika berkelanjutan, kecemburuan ini memuncak dengan terputusnya kerukungan di antara parapemilik sawah. Pasalnya, pematang yang rusak membuat air yang ada di petak sewah mengalir ke sawah yang posisi tanahnya lebih rendah. Jika tanah sedang membutuhkan air, seperti akan tanam padi, pemilik sawah yang airnya mengalir ke sawah dengan posisi tanah lebih rendah akan merasa dirugikan.
Konflik horizontal, terutama antar petani di Indonesia adalah hal yang biasa ditemui. Konflik semacam ini dipicu karena sumber daya sosial, seperti kekuasaan politik, kultural, dan ekonomi. Konflik ini akan muncul ketika kelompok tertentu menguasai sumber-sumber daya tersebut. Apalagi dengan terklasifikasikannya identitas kelompok pemilik kombi dan bukan pemilik kombi akan menjadi faktor yang memudahkan untuk memobilisasi massa dari masing-masing kelompok.
Kedua, Orang Ngasak Berkurang
Ngasak –beginilah orang di kampung penulis menyebutnya– merupakan pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan gabah yang tersangkut pada tumpukan jerami dari sisa panen. Tumpukan jerami ini sudah dibuang dan dibiarkan tertumpuk begitu oleh pemilik sawah. Dulu di tiap petak sawah yang sedang dipanen hampir selalu ada orang ngasak sekitar lima orang. Mereka (orang ngasak) mengambil tumpukan jerami kemudian diayak – digesek-gesekkan agar gabah yang masih melekat di jerami terlepas– dengan karung plastik sebagai alas di bawahnya.
Dengan adanya kombi, orang-orang yang biasanya ngasak ketika panen, kini tak bisa lagi melakukan aktivitas yang hanya bisa dilakukan tiap pangsa panen tiba. Hal tersebut tak bisa dilakukan karena tidak adanya lagi tumpukan jerami setelah panen. Padi yang dipotong dengan kombi, makajeraminya akan langsung jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hal itu membuat jerami akan berceceran di seluruh sudut petak sawah, dan tidak ada jerami yang tertumpuk. Tanpa adanya orang ngasak, gabah-gabah yang masih tersangkut di jerami akan terbuang begitu saja dan berceceran di tiap sudut sawah.
Orang-orang ngasak yang kebanyakan adalah ibu rumah akan kehilangan mengais rezeki dari sisa-sisa panen –yang jumlahnya tak pernah pasti. Meskipun mencari gabah dari sisa panen, namun yang didapat bukanlah hal kecil dan remeh. Ada beberapa orang ngasak yang rajin, berangkat pagi dan pulang sore selama pangsa panen, bisa mencukupi kebutuhan berasnya sampai pangsa berikutnya dari hasil ngasak. Dalam strata sosial, memang orang ngasak dipandang rendah, namun hasil jerih payahnya selama pangsa panan tak bisa dianggap remeh ataupun kerdil.
Ketiga, Buruh Tani Mengganggur
Seperti sudah disebutkan di atas bahwa teknologi hadir untuk meringankan atau memudahkan kerja manusia, kombi juga demikian. Tenaga dan keringat buruh tani yang biasanya laku keras di pangsa panen, kini agak berkurangpenggunaannya. Jumlah orang kelompok buruh yang dipakai dengan pemotongan menggunakan kombi kurang lebih sama dengan pemotongan manual. Bedanya, kelompok dengan jumlah sekitar lima orang dari buruh yang digunakan ketika menggunkan kombi ini bisa memotong padi lebih dari lima petak sawah sehari, sedangkan dari cara manual tidak bisa demikian, mentok hanya tiga petak sawah.
Ini tentu memeberi dampak dengan tidak adanya pendapatan yang masuk ke katong para buruh tani yang biasanya terpakai saat pangsa panen. Jumlah buruh tani yang dipakai semakin berkurang. Umur buruh tani yang berada di kisaran 30-50 tahun ini terpaksa, beberapa di antaranya, menganggur atau mencari kerja serabutan lain. Memang sudah biasa buruh tani menjadi serabutan ketika tidak ada pekerjaan di sawah, atau keringat dan tenaganya tidak diberdayakan
Kehadiran teknologi memang ada dasarnya memudahkan dan meringnakan kerja manusia. Namun, hal yang tidak bisa ditampik adakah dampak dan segala masalah yang timbul akan keberadaan sebuah teknologi baru. Kesiapan dan kemauan beradaptasi akan menentukan daya hidup sebuah masyarakat akan adanya teknologi.
Penulis: Agung Mahardika
Editor: Abdi Rafi Akmal