YANG LUPUT DARI PEMBERITAAN KEKERASAN SEKSUAL

0
#SaatnyaBersuara

Ilustrator: Nur Istiyanti (anggota magang)

“Sudah saatnya kita memberantas kekerasan seksual dengan liputan-liputan yang tidak membebani penyintas.”

Evi Mariani, pendiri Project Multatuli (PM), mengantar buku “Panduan Meliput Kekerasan Seksual bagi Persma dan Jurnalis” dengan kutipan di atas. Ia akhirnya berani untuk menulis pengantar itu setelah mendapatkan persetujuan salah satu penyintas yang menegur PM. Saat itu, PM luput untuk meminta izin kepada penyintas untuk mengutip keterangan salah satu narasumber yang menyinggung kasusnya. Dari sini jelas, meliput kasus kekerasan seksual (KS) bukanlah bisa disamakan dengan meliput kasus korupsi.

Dengan mencuatnya kabar kekerasan seksual yang datang bertubi-tubi di media sosial, posisi kami terang: berpihak kepada penyintas kekerasan seksual. 

Keberpihakan kepada penyintas berarti mendukung dan menghargai seluruh keputusan penyintas. Keberpihakan kepada penyintas berarti mengapresiasi keberanian penyintas untuk menyuarakan keadilan–di mana pun medianya–dengan segala konsekuensinya. Keberpihakan kepada penyintas berarti mengutamakan kebutuhan mental dan bantuan hukum penyintas daripada berita kontroversial. Keberpihakan kepada penyintas berarti menjunjung keputusan penyintas bahkan bila ia tak berkenan untuk diliput.

Demikian bukan berarti kami tidak berusaha untuk membantu penyintas atau tidak ikut mengutuk perbuatan pelaku. Kami hanya ingin mengurangi kemungkinan buruk–meminjam kalimat Evi–sebab membuat penyintas gelisah menghadapi konsekuensi atas pemberitaan saat reporter, editor, dan pemimpin redaksi kami bisa tidur pulas. Dengan melakukan peliputan berperspektif korban, sangat banyak hal yang harus dipertimbangkan–atas persetujuan korban. 

Penyintas: Memimpin Pemimpin Redaksi

Terlebih dahulu, peliputan kasus KS harus memastikan bahwa penyintas telah memiliki akses dalam layanan kesehatan, dukungan psikologis dan sosial, keamanan, dan layanan hukum. Selepas itu, barulah peliputan kasus KS berperspektif korban dapat direncanakan–lantaran perencanaan matang adalah wajib sebelum peliputan dimulai. 

Setidaknya–dalam buku “Panduan Meliput Kekerasan Seksual bagi Persma dan Jurnalis”–ada tiga hal lain yang harus mendasari liputan berperspektif korban selain menjaga privasi dan keamanan penyintas. Ketiga itu adalah memperlakukan korban/penyintas dengan hormat dan bermartabat, tidak diskriminatif, dan–yang paling penting–mendukung serta memfasilitasi korban/penyintas untuk membuat keputusan sendiri. 

Poin terakhir itulah yang membuat penyintas dapat memimpin pemimpin redaksi. Dalam hal keredaksian, penyintas berwenang untuk mengedit diksi, mengatur kutipan, bahkan memilih jadwal rilis berita. Tentu saja hal ini diupayakan untuk menjaga penyintas tetap merasa nyaman dan aman setelah berita diterbitkan. Kami tak ingin menjadi media lawaran yang membuat berita sensasional untuk membiakkan jumlah click demi rupiah semata.

Sebab, penyintas adalah garda terdepan sekaligus yang paling rentan dalam menghadapi konsekuensi saat memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual. Meminjam kalimat Evi lagi–kita semua bertanggung jawab untuk menanggung bebannya bersama. 

Belajar dari #SaatnyaBersuara UMN

Tahun 2021 lalu, Lembaga Pers Mahasiswa ULTIMAGZ yang bergiat di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) membuat kampanye #SaatnyaBersuara untuk menyuarakan keadilan atas terjadinya kasus KS. Melalui kampanye itu, mereka mengumpulkan 15 pelaporan dari 14 penyintas kekerasan seksual di UMN. Mereka akhirnya merilis berita dari peliputan dan kampanye #SaatnyaBersuara.

Tentu saja pejabat UMN–bahkan kampus mana pun termasuk UB–tak suka dengan pemberitaan yang dianggap “mencemarkan nama baik”. Saat pemberitaan menjadi viral, reporter ULTIMAGZ sempat dipanggil rektorat. Meskipun demikian, keadaan berbalik saat persoalan ini mendapatkan banyak dukungan dari para dosen program studi Jurnalistik, alumni, jurnalis, hingga warganet. Rektorat menjadi kooperatif. UMN kemudian membuat tim khusus untuk menangani kasus-kasus lampau, membuat SOP penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, memperbarui peraturan kampus, dan memulai pembentukan Satgas PPKS. Suatu hal yang luar biasa dan pantas ditiru. 

Universitas Brawijaya telah memiliki kaki tangannya berupa Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) juga Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP) di tiap fakultas. Universitas Brawijaya juga telah meregulasi secara detail dalam basa-basi SOP Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Namun akhirnya, penyintas memilih berbicara melalui cuitan X. Namun yang terjadi adalah penyintas lebih nyaman untuk bersuara dengan story dan kampanye di Instagram. Maka lumrah untuk berasumsi: media sosial lebih terpercaya untuk mendapatkan keadilan ketimbang ribetnya birokrasi di kampus sendiri.

Barangkali, bagai pungguk merindukan bulan untuk berharap kampus benar-benar berkomitmen menciptakan ruang aman. Tengok saja liputan Kavling10 mengenai pelantikan WD III FKH beberapa waktu lalu. Dalam liputan itu, kampus dengan terang mengangkat terduga pelaku KS untuk duduk di kursi pejabat. Lambatnya penanganan kasus ini telah membuktikan praduga sebelumnya. Atau tengok saja respons UB belakangan ini ketika banyak penyintas yang berani bersuara mengenai KS yang mereka alami. Nihilnya keberpihakan UB semakin menjelaskan di mana mereka berdiri. Jelas kemudian ada yang salah dengan sistematika dan komitmen mereka dalam menangani kekerasan seksual.

Penghargaan Kampus Pelaksana Program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPKS) terbaik yang didapatkan UB 2023 lalu menjadi basi. Kampus ini telah gagal menyediakan ruang aman dengan memberi ruang bagi pelaku kekerasan seksual dan perundungan. Akhirnya, gelar yang didapatkan bukanlah prestasi, tetapi kotoran yang langsung mendarat di muka para pelindung pelaku. Wajar bila kita curiga bahwa kampus mendapatkan penghargaan basi tersebut “sebab” dan “untuk” menjaga branding semata. Penghargaan itu teramat mahal harganya, tak sepadan dengan jumlah penyintas yang harus dibungkam dan dikorbankan. Syahdan, seharum apa pun nama kampus ini, bau busuk kenyataan tak pernah bisa ditutupi.

Semua Bisa Melawan

Teman-teman penyintas kita telah menunjukkan keberaniannya. Alumni FKH telah menyatukan solidaritas. #SaatnyaBersuara UMN telah membuktikan. Kita bisa menghimpun kekuatan penghapusan kekerasan seksual dengan cara kita sendiri. Sudah saatnya, di sini, kita sepakat bahwa Universitas Brawijaya Darurat Ruang Aman. Melalui media sosial mana pun, melalui media kampanye bagaimana pun, melalui bentuk penyuaraan apa pun, kita bisa membuat #SaatnyaBersuara milik kita. Kita bisa membangun modal sosial sendiri–tanpa menunggu instansi birokratis-hierarkis yang merepotkan–dengan solidaritas. 

Saat ini kita tidak hanya cukup pada menghukum pelaku, kita perlu mengubah total sistem penanganan kekerasan seksual dan perundungan di Universitas Brawijaya. Maka, kami, Kavling10 menuntut Universitas Brawijaya mengambil langkah-langkah tegas: 

  • Perbaiki Sistem Perlindungan Penyintas: Pastikan PPKPT dan ULTKSP menjadi lembaga yang “aman” bagi penyintas. Perbaiki alur yang rumit dan memberatkan penyintas. Pastikan pendampingan psikologis dan perlindungan akademik bagi penyintas maupun pendamping yang dapat diakses dengan mudah.
  • Evaluasi Total dan Transparansi Penanganan Kasus: Lakukan audit secara holistik dan independen terhadap kinerja PPKPT UB dan ULTKSP di tiap fakultas. Pecat orang-orang inkompeten dan tidak berpihak kepada penyintas. Evaluasi dan transparansi merupakan langkah awal dalam membangun kembali kepercayaan.
  • Hukum Pelaku Tanpa Kompromi: Hukuman harus segera diberikan kepada pelaku. Tidak peduli pejabat mahasiswa, mahasiswa berprestasi, panitia acara penting, dosen, wakil dekan, atau rektor sekalipun. Menghukum pelaku merupakan bare minimum yang harus dilakukan. Mengawal kasus ini hingga proses hukum pidana harus didorong jika memenuhi unsur-unsur pidana. Jika perlu, hukum juga pihak-pihak yang melindungi penyintas untuk kepentingan golongannya. Tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual di lingkungan akademik.

Mari kita segerakan, menentukan waktu yang tepat untuk menghimpun dan menuntut penghapusan kekerasan seksual beserta perangkat universitas patriarkis lainnya. Keberanian menular, selayaknya keberanian penyintas memperjuangkan keadilannya.

Redaksi Kavling10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *