ROGOH DOMPET PRIBADI, MAHASISWA DESAIN GRAFIS KELUHKAN KAMPUNG CEMPLUK SEBAGAI UTS 

0
Sumber: Istimewa

MALANG-KAV.10 Sejumlah mahasiswa program studi Desain Grafis Universitas Brawijaya mengeluhkan penugasan dalam Kampung Cempluk Festival ke-15 sebagai pengganti ujian tengah semester (UTS) mata kuliah Kreativitas dan Humanita. Untuk memenuhi penugasan tersebut, mereka diminta untuk menyiapkan acara yang berlangsung pada 6-11 Oktober lalu. Pasalnya, kelas mata kuliah Kreativitas dan Humanita yang diampu oleh Redy Eko Prasetyo ini tidak mendapatkan bantuan dana sepeser pun.

Sasa(*) mengaku bahwa ia ditugaskan oleh Redy untuk menjadi tim Maskot dalam pelaksanaan Kampung Cempluk. Ia juga mengungkapkan bahwa tugas ini bersifat wajib sebagai pengganti ujian tengah semester mereka. Dalam tugas ini, mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan tugas yang akan mereka kerjakan seperti tim Maskot, tim Instalasi Area, Instalasi Panggung, Publikasi, hingga Stan Usaha.

Awalnya, Sasa mengira bahwa mahasiswa akan diberikan tugas kecil saja. Alih-alih begitu, ia terkejut ketika dosen pengampu ternyata menyerahkan tugas secara penuh kepada mereka. “Kukira ya ngikut aja, kayak partisipasi-partisipasi kecil gitu. Terus habis itu tiba-tiba kayak ‘nanti kalian ada yang bikin maskot, instalasi area, instalasi panggung’. Secara nggak langsung kan berarti kami menjadi panitianya. Apalagi ini masih awal [perkuliahan] banget,” keluh Sasa (12/10).

Hal lain yang menjadi keluhan Sasa adalah nihilnya penganggaran dana dalam kerja sama yang dilakukan oleh Kampung Cempluk dan pihak dosen. “Nah, karena Pak Redy ini minta maskotnya yang kayak badut gitu, jujur itu keberatan bagi kami. Karena bisa habis mungkin Rp.6.000.000 atau berapa. Kami pun mau ngerjain tuh gimana ya, jadi kayak malas karena enggak ada bantuan dana,” terang Sasa.

Melanjutkan keluhannya, Sasa menandaskan bahwa ia dan mahasiswa lainnya sempat menawarkan alternatif untuk menekan dana yang harus mereka keluarkan dari jutaan rupiah hingga menjadi sekitar Rp.400.000. “Ya udahlah kami milih standee. Mungkin setidaknya enggak mahal banget lah, tapi tetap kami ngeluarin duit sendiri,” ujarnya.

Keluhan serupa datang dari Gusti(*), mahasiswa yang mendapat tugas membuka stan usaha pada Kampung Cempluk Festival. Gusti menerangkan bahwa terdapat beberapa mahasiswa yang mengalami kerugian karena hasil penjualan mereka tidak memenuhi target awal. “Kalau yang nggak balik modal mesti ada sih. Ya mungkin target market-nya memang bukan di Kampung Cempluk itu sendiri.” terang Gusti. Padatnya persiapan Kampung Cempluk membuat , “Misal pas mau ngerjain nirmana terus terganggu sama Kampung Cempluk, harus jaga stan atau ngapain gitu. Kalau dari tahun sekarang aja enggak efektif apalagi tahun depan gitu.”

Budi(*), salah satu panitia warga Kampung Cempluk, menjelaskan bahwa festival yang telah digelar selama 15 tahun ini awalnya melibatkan sejumlah warga dan sukarelawan. Namun dalam pelaksanaan tahun ini, jelas Budi, elemen panitia sukarelawan ditukar menjadi 180 mahasiswa Program Studi Desain Grafis. Budi juga menandaskan bahwa kerja sama yang dilakukan bukan merupakan kesepakatan tertulis dan tidak ditandatangani. Dengan demikian, kerja sama di tahun ini hanya dilakukan atas inisiatif dari dosen pengampu atas dasar penugasan UTS.

Dalam pelaksanaan Kampung Cempluk, Budi juga sempat mengeluhkan kesenjangan performa dan ketidakefektifan dari tiap divisi mahasiswa. Ia menduga kendala ini berasal dari pengadaan mahasiswa yang melebihi kapasitas panitia dan kurangnya bantuan dana untuk beberapa divisi. “Volunteering itu cuma sebagian kecil, mungkin 10 sampai 15 orang. Tahun ini kita disuplai 180 orang, sehingga mereka nggak semuanya aktif. Ada divisi yang kerjanya berat banget, ada divisi yang kerjanya nyantai-nyantai,” tutur Budi.

Menanggapi permasalahan ini, Redy, dosen pengampu mata kuliah Kreativitas dan Humanita, melihat bahwa penugasan ini adalah salah satu cara untuk mereka berlatih menghadapi persaingan di masa depan. “Memang ada anak-anak yang merasa terbebani,” kata Redy. “Tapi kalau saya melihatnya begini, kalau tidak dipaksakan untuk mereka punya effort struggle yang lebih, persaingannya [di masa depan] akan lebih [sulit] lagi. Apalagi vokasi ya,” lanjutnya.

Redy juga mengungkapkan bahwa penugasan untuk membuat badut maskot adalah permintaan dari warga. Akan tetapi, pernyataan itu berbanding terbalik dengan apa yang diungkapkan oleh Budi sebagai panitia warga. Budi menegaskan bahwa penugasan untuk membuat maskot dengan konsep badut justru berasal dari Redy, Sasa pun mengungkapkan hal yang serupa. 

Melanjutkan pendapatnya, Redy menceritakan bahwa mahasiswanya memang sempat keberatan dengan pembuatan maskot yang berkisar jutaan rupiah. Ia juga menyadari bahwa mental tim maskot memang sangat terbebani. “Tidak having fun kayak teman-teman yang lain gitu. Makany saya turunkan itu [rencananya]. Apa plan B?, plan C-nya apa? Kreativitasmu apa? Sampai saya tawarkan, bila perlu enggak usah ngeluarin modal,” ujar Redy.

Masih menyoal pembuatan maskot, menurut Redy, alternatif untuk membuat standee adalah keputusan yang diambil mahasiswa sendiri saat di kelas. Ia juga mengaku bahwa mahasiswanya tidak mengomunikasikan kendala ini di grup chat. “Dengan Jumlah produksi yang sekian tadi, Rp400.000 gitu misalkan. Enggak apa-apa, nanti saya ganti [uang] gitu maksudnya. Kalau memang itu memberatkan sampai di batin,” terangnya. 

Terkait penugasan yang mengharuskan mahasiswa untuk membuat stan usaha, Redy menganggap produk yang mereka buat sebagai usaha milik mereka sendiri. “Jadi misalkan kamu ingin usaha. Berarti kan harus dari modal kamu sendiri. Toh kembalinya bukan ke saya, bukan ke panitia,” ujarnya.

Redy yang juga menjadi pencetus Kampung Cempluk Festival ini tegas menekankan bahwa tidak ada eksploitasi dalam penugasan kepada mahasiswanya. “Maksudnya tidak ada tekanan karena saya ngasih beberapa alternatif. Dia bisa aja nggak usah ngelakuin tugas, juga nggak apa-apa. Cuma konsekuensinya kan ada, salary-nya kan di situ sebenarnya,” tegas Redy. Ia juga menyatakan bahwa akan dilakukan evaluasi dalam penugasan yang ia berikan, evaluasi ini akan ia terapkan pada penugasan tahun depan. Meskipun demikian, Redy belum mengganti modal yang dikeluarkan tim maskot hingga berita ini diterbitkan.

(*) Bukan nama sebenarnya. Redaksi Kavling10 menggunakan nama samaran atas pertimbangan keamanan dan permintaan narasumber.

Penulis: Aulia Hasti Zalika Ramadani (anggota magang)
Kontributor: Ahmad Reza Uzfalusi (anggota magang) & Shafa Qolbu Dwi Putri
Editor: Badra D. Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *