BUNGA UNTUK LILY


TW // ghost, murder, blood.
Kala matahari perlahan kembali ke peraduannya, Javier baru saja keluar dari gedung olahraga sembari menenteng jaket dan handuk kecil di tangan kirinya. Ia melangkah santai dengan sesekali membetulkan ransel yang ia sampirkan di bahu kanannya. Namun, langkah kakinya terhenti saat melewati gedung kesenian lama.
Javier melihat seorang gadis dengan pandangan kosong menatap ke arah gedung itu. Tangan gadis itu memegang bunga berwarna merah dengan rumbainya yang setengah layu. Javier mengernyit, ia yakin sekali belum pernah menjumpai bunga seperti itu sebelumnya. Terlalu lama memperhatikan si gadis, ia sampai tidak sadar jika langit sudah sepenuhnya gelap.
Lelaki itu tersadar saat seorang teman menepuk punggungnya.
“Kenapa masih di sini? Tadi bilang mau ke rumah Anne,” tegur Brian, salah satu temannya di UKM basket yang Javier ikuti sejak tahun lalu.
“Iya, tadi itu ada ….” Javier menggantung kalimatnya saat matanya kembali melihat ke arah gedung kesenian, gadis yang tadi sudah menghilang.
“Ada apa?” tanya Brian.
Javier menggeleng. Ia mengajak Brian untuk segera pergi dari tempat itu.
Gedung kesenian itu sudah lama tidak digunakan. Saat malam hari, di sekitar gedung itu menjadi gelap gulita karena aliran listriknya sudah diputus sejak tahun lalu dan rencananya tahun ini akan diadakan pembongkaran gedung. Brian dulu sempat mengatakan pada Javier tentang alasan gedung kesenian itu tidak lagi digunakan. Mayat seorang mahasiswi seni rupa ditemukan di sana tiga hari setelah kematiannya.
Javier mengusap wajahnya, sekarang ia sedang merebahkan diri di tempat tidur dengan perasaan tidak nyaman. Kejadian tadi tidak kunjung hilang dari ingatannya. Javier tidak memiliki kemampuan di luar batas, tidak mungkin jika yang ia lihat tadi adalah hantu.
Atensi Javier kembali pada ponselnya yang berdering untuk kesekian kalinya dengan nama yang sama terpampang di layar. Javier bangun dan menjawab panggilan itu.
“Apa?” tanya Javier, paham betul maksud dan tujuan si penelepon mengganggunya malam-malam begini.
“Jav, kenapa nggak jadi ke sini? T-tamattt… Tanjirokuuuu… Aku nggak ada teman nangis iniiiii ….” Anne, satu-satunya teman perempuan Javier, masih terisak di seberang sana. Ia selalu merepotkan Javier tiap kali berhasil menyelesaikan satu series anime.
“Jav,” panggil Anne.
Javier berdiri lalu mengambil jaketnya. “Iya, aku ke sana.”
Di rumah Anne, perempuan itu sedang termenung menatap tisu-tisu yang berserakan di samping meja ruang tengah. Ia mendengar suara pintu terbuka dari luar, pasti itu Javier. Lelaki itu sudah lama mengetahui kata sandi rumah Anne, bukan untuk yang macam-macam, Javier hanya datang ke rumah Anne jika diminta oleh si pemilik rumah.
Javier berdecak pelan melihat Anne duduk dengan wajah sembabnya. Ia meletakkan satu kotak martabak manis yang dibawanya di atas meja. “Coklat keju, kalau mau makan, hapus dulu ingusnya,” ujar Javier.
Anne bangkit dari duduknya menuju kamar mandi tanpa sepatah kata. Javier menggeleng pelan, lalu duduk di tempat Anne tadi. Mata lelaki itu melebar, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bunga yang dipegang gadis di depan gedung kesenian tadi sore, persis dengan apa yang ia lihat di dalam anime yang baru diselesaikan Anne.
Javier menoleh dengan malas. Perempuan itu mengambil tempat di sampingnya, lantas menyantap martabak manisnya.
“Anne, kamu tahu ini bunga apa?” tanya Javier sembari menunjuk bunga dalam gambar di depannya.
“Red Spider Lily, bunga higanbana alias bunga kematian.”
Jantung Javier berdetak dua kali lebih kencang karena ucapan Anne. Pikirannya berkecamuk. Mengapa gadis yang ia lihat di depan gedung kesenian tadi membawa bunga kematian? Apa yang ia lihat tadi benar-benar hantu?
Anne memperhatikan Javier yang terlihat gelisah menatap gambar bunga dalam anime itu. “Kenapa, Jav?” tanya perempuan itu.
“Kamu tahu kasus mahasiswi yang ditemukan meninggal di gedung kesenian lama? Aku rasa dia masih di sana.”
Anne mendekatkan tubuhnya ke Javier. “Maksudnya? Kamu bisa lihat hantunya, Jav?”
Javier menghela napas. “Nggak tau, tadi aku nggak sengaja lewat gedung kesenian lama. Aku lihat ada seorang gadis dengan wajah pucat memegang bunga seperti ini,” ucap Javier sambil menunjuk bunga red spider lily tadi.
Anne menelan ludah, buru-buru ia bersihkan tangannya dan bergerak membuka file di laptopnya. Perempuan itu sempat mengikuti kasus gedung kesenian, tapi terhenti karena pihak keluarga korban meminta kasus itu tidak diungkap kepada publik. Setelah beberapa saat ia menemukan apa yang dicarinya. Dalam file tersebut terdapat biodata korban dan pelaku, serta beberapa dokumen penting Anne hasil dari wawancaranya dengan teman-teman korban.
“Lily Azrina salah satu mahasiswa seni rupa angkatan 19, juga seorang anggota komunitas pemberdayaan perempuan. Kasus ini sedikit rumit karena Marco, pelaku sekaligus pacar Lily mengaku kalau seminggu sebelum penemuan mayat itu ia sudah lost contact. Dia ditangkap di rumahnya setelah polisi menemukan DNA dan jejak kaki Marco di lokasi kejadian. Sebenarnya soal hantu Lily di ruang kesenian lama emang sering menampakkan diri di sore hari. Aku kagetnya kamu jadi salah satu dari orang-orang yang bisa lihat dia.”
Javier mendengarkan penjelasan Anne dengan seksama. Kini kepalanya menjadi pening. Hantu Lily masih berkeliaran saat pelakunya sudah ditangkap itu saja aneh. Javier kembali memperhatikan dokumen yang diperlihatkan Anne.
“Tidak bisa dipastikan waktu korban meninggal ini maksudnya apa, Anne?”
“Entah, itu jawaban yang diberikan pihak kepolisian. Tapi katanya memang sudah lebih dari dua hari mayat Lily berada di sana,” jawab Anne.
Anne menunjukkan file yang berbeda. “Strangulasi. Ada bekas jeratan di leher korban. Kemudian sayatan di telapak tangan kanan dan lengan kirinya. Sepertinya si korban ini disiksa terlebih dulu sebelum akhirnya meninggal. Ini yang aneh.”
Javier memicingkan matanya ke arah Anne.
“Apa yang aneh?” tanya Javier.
“Alat yang digunakan untuk menjerat leher korban tidak ditemukan. Marco sendiri bersikukuh jika bukan dia pelakunya. Tapi kamu tau sendiri, Jav. Pihak kepolisian sudah menemui titik buntu. Hanya ada DNA dan jejak kaki si pelaku, dan itu semua mengarah ke Marco,” tutur Anne.
“Bisa saja itu jebakan pelaku asli.”
Anne mengangguk. “Mungkin kasusnya masih terhenti di kejaksaan. Entah bagaimana kelanjutannya. Aku sudah tidak begitu mengikuti.”
Javier mengerutkan alisnya, ia mengingat sesuatu. Brian pernah mengatakan dengan yakin jika mayat Lily ditemukan tiga hari setelah kematiannya. Sampai-sampai lelaki itu melarang Javier dan teman-temannya yang lain untuk mendekati gedung kesenian lama. Menurut cerita Brian, siapapun yang mendekati gedung itu akan terkena kutukan sial.
“Anne, apa ada kemungkinan Lily meninggal tiga hari sebelum ditemukan?”
Anne menggeleng. “Nggak ada yang tau, Jav. Mungkin bisa dua sampai empat hari tubuh Lily sudah berada di sana.”
“Besok kita ke rumah Lily.”
***
Keesokan harinya, Javier bersama Anne pergi ke rumah Lily melalui petunjuk dari biodata Lily yang disimpan Anne. Rumah Lily memiliki konsep minimalis didominasi dengan warna putih tulang dan abu-abu. Sayang sekali cat di bagian depannya sudah banyak yang mengelupas, mungkin karena sering terpapar panas dan hujan setiap harinya.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumahnya, akhirnya seseorang membuka pintu. Seorang ibu paruh baya mempersilahkan mereka masuk. Mereka masuk sembari mengamati foto-foto yang terpasang di dinding.
Ibu itu tersenyum dan menepuk bahu Anne pelan. “Itu Lily,” ucapnya dengan nada sendu, menunjuk foto seorang gadis yang tersenyum cerah dengan latar gedung rektorat di belakangnya.
Tubuh Javier menegang, gadis itu benar gadis yang sama, yang ia temui kemarin di depan gedung kesenian lama. Hanya berbeda di senyum dan tatapan matanya. Hantu Lily tampak murung dengan tatapan yang kosong. Javier bergidik, mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduknya kembali berdiri.
“Saya ingat nak Anne,” ucap Bu Tika, ibu dari Lily.
Anne dan Javier saling berpandangan.
“Nak Anne pernah membantu saya yang hampir terjatuh di depan gerbang kampus sehari setelah penangkapan Nak Marco,” jelas Bu Tika.
Anne hanya tersenyum tipis. Ia menggeleng pelan saat Javier bertanya dengan tatapan matanya, perempuan itu bahkan sudah lupa wajah si ibu jika tidak ke sini, dan dari mana pula ibu itu tahu namanya. Bu Tika mengajak mereka menuju kamar Lily. Kamar dengan nuansa soft blue itu terlihat sangat rapi. Javier turut memperhatikan beberapa buku-buku di rak yang berada di samping ranjang.
“Sejujurnya saya tidak percaya jika Marco melakukan hal sekeji itu. Tapi saya juga tidak bisa menyangkat bukti yang menunjukkan bahwa Marco benar-benar mengakhiri hidup anak saya dengan begitu kejamnya,” ungkap Bu Tika sambil mendudukkan dirinya di atas ranjang.
Beliau memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum. “Seharusnya pagi itu saya tidak membiarkan dia menemui Marco.”
Javier mengalihkan pandangannya dari buku di rak depannya ke Bu Tika.
“Lily menemui Marco, Bu?” tanya Anne.
Bu Tika mengangguk. “Tiga hari sebelum Lily ditemukan tak bernyawa di gedung kesenian itu, ia berpamitan kepada saya ingin menyelesaikan urusannya dengan lelaki itu. Katanya Marco sudah tiga hari tidak menghubungi dia. Saya tidak tahu persisnya, tapi menurut teman Lily yang pernah ke sini, masalahnya berkaitan dengan kasus terakhir yang Lily kerjakan saat masih bergabung dengan komunitasnya.”
Selesai bercerita sedikit banyak tentang Lily, Bu Tika membiarkan keduanya melihat-lihat isi kamar Lily. Namun, tak berselang lama kecerobohan Javier membuat Anne memekik, melihat temannya tersungkur karena tidak sengaja membuka pintu rahasia dari rak buku Lily.
Bu Tika yang sudah kembali ke ruangan terkejut karena ada yang bisa membuka ruangan rahasia itu. Beliau mengatakan jika Lily tidak pernah mengizinkan siapapun untuk membuka ruangan itu. Sehingga saat Lily sudah tiada pun, tidak ada yang berpikir untuk membukanya. Namun, Bu Tika tetap memperbolehkan Javier dan Anne untuk masuk ke dalam.
Ruangan rahasia Lily ini berukuran sedang, tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman untuk tempat belajar dengan tenang. Javier dan Anne melihat banyak piagam penghargaan terpanjang di sana. Sampai akhirnya Javier melihat meja Lily yang penuh lembaran kertas. Ia menelitinya satu per satu. Javier menelan ludah, tidak ingin mempercayai apa yang ia temukan.
“Anne, lihat ini.”
Anne dan Bu Tika mendekat. Keduanya membaca semua dokumen yang tadi berserakan di meja belajar Lily.
“He is your friend, Jav,” lirih Anne.
“Dia ini teman Lily yang saya ceritakan pernah ke sini,” ungkap Bu Tika.
Javier mengusap wajahnya dengan kasar.
“He is my friend, an abuser, and maybe … a murderer.”
Anne meminta izin Bu Tika untuk membawa semua bukti-bukti dari ruangan itu. Bu Tika pun mengizinkannya. Javier masih terdiam sejak tadi. Entah mengapa ia merasa masih harus memastikan hal ini. Anne juga mengatakan kepada Bu Tika untuk tidak membocorkan kepada siapapun tentang apa yang telah mereka temukan.
Setelah memasukkan dokumen-dokumen tersebut ke dalam tasnya, Anne berpamitan kepada Bu Tika. Namun, tanpa terduga, Bu Tika memberikan sesuatu pada Anne, membuat perempuan itu terkejut.
“Ini terjatuh saat kamu membantu saya waktu itu. Saya tahu ini pasti penting untuk kamu, maafkan saya baru bisa mengembalikannya sekarang,” ucap Bu Tika.
Anne memandangi kartu pers miliknya. Kemudian ia kembali menatap Bu Tika.
“Pembunuh Lily pasti akan mendapatkan balasannya,” ujar Anne meyakinkan.
***
Beberapa hari setelah pulang dari kediaman Lily, Anne dan Javier tidak lagi terlihat bersama. Keduanya sempat berdebat hebat soal kapan waktu yang tepat untuk melaporkan pembunuh Lily yang sebenarnya. Anne ingin melaporkan segera, tapi Javier menolak mentah-mentah. Lelaki itu tidak ingin gegabah.
Kini Javier sedang berdiri menatap lurus ke arah gedung kesenian lama. Tidak lama sampai ada seorang teman yang menegurnya. Javier berbalik, ternyata Brian di belakangnya.
“Kenapa Jav? Lihatin gedung itu terus bisa kena sial.”
Javier berdecak pelan lalu berjalan ke arah gedung olahraga tanpa mempedulikan Brian yang memanggil di belakang. Mereka menghabiskan waktu untuk latihan basket bersama teman-teman yang lain. Brian yang merasa temannya bersikap aneh itu mencoba mendekat lagi.
“Jav, kenapa? Sudah lima hari ini kayaknya kau nggak fokus, ada masalah?”
Javier mengangguk. “Aku lihat hantu penunggu gedung kesenian lama.”
Sontak ucapan Javier dihadiahi tawa oleh Brian. “Kau percaya hantu, Jav?”
“Kau juga percaya kalau gedung itu bawa sial, ‘kan?” sungut Javier.
“Iya memang betul ‘kan, sudah makan korban juga,” timpal Brian.
“Iya, si Lily.” Javier menatap datar Brian.
Tawa Brian reda, raut wajahnya berubah sekian detik sebelum akhirnya tersenyum kembali. Ia menepuk punggung Javier seraya berkata, “Yaudah, nanti kita ke sana. Buktikan kalau memang ada si Lily.”
Keduanya kembali fokus dengan kegiatannya bermain basket. Hanya saja Javier sudah sedikit malas dan mengambil banyak waktu untuk beristirahat dan memainkan ponselnya. Lelaki itu melirik Brian sekilas, lalu kembali fokus dengan ponsel di tangannya.
“Bri, ayo. Nanti keburu gelap,” teriak Javier.
Brian menghentikan kegiatannya, lalu tersenyum miring ke arah Javier.
Mereka berjalan menuju gedung kesenian lama. Javier merasakan hawa yang kurang nyaman saat memasuki gedung kosong itu. Sedangkan Brian terlihat biasa saja, raut wajahnya berbeda dengan Brian yang biasanya mengatakan gedung ini pembawa sial. Lelaki itu tampak acuh.
“Mana hantunya?” sinis Brian.
Javier masih diam, tatapannya menelisik gedung itu. “Lily hanya menunjukkan diri ke orang yang dia mau.”
“Sudah setahun berlalu, mana mungkin hantu Lily masih di sini?” Brian menatap remeh Javier.
“Masih, dia masih di sini karena pembunuh yang sebenarnya belum terungkap,” ujar Javier.
Brian menaikkan sebelah alisnya. “Kau tahu siapa pembunuhnya, Jav?”
Javier mengangguk lantas menoleh ke Brian. Ia menatap datar lelaki di sampingnya. Brian hanya terkekeh pelan. Javier rupanya begitu lihai menemukan kebusukan lelaki itu.
“Kenapa, Bri? Kenapa Lily?”
“Gadis itu begitu keras kepala. Seharusnya dia mendengarkan ucapan pacarnya untuk tidak ikut campur urusanku, tapi dia lebih memilih mendiamkan Marco demi menjadi pahlawan di komunitas konyol itu. Seandainya Marco bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan Lily bisa diajak bekerja sama, tidak akan aku mengotori tanganku sendiri.”
Rahang Javier mengeras saat mendengar ucapan Brian.
“Kau tahu Jav, aku bukan tipe orang yang akan diam saja jika ada yang menghalangi langkahku. Baik Lily, Marco, dan mungkin bisa saja kau sendiri akan habis di sini,” ancam Brian.
Javier melayangkan pukulannya pada Brian hingga lelaki itu tersungkur.
“Kau akan mendapatkan balasan dari semua perbuatanmu, Bri,” desis Javier.
Brian hanya tersenyum meremehkan, lalu mengeluarkan belati dari ranselnya.
Perkelahian tidak dapat dielakkan. Javier dengan tangan kosong berusaha dengan baik menghindari serangan yang dilancarkan oleh Brian. Ia sangat gesit hingga berhasil membuat belati yang ada di tangan Brian terlempar. Namun, Brian juga sangat cekatan, setelah belatinya terlempar, ia memukul Javier hingga lelaki itu tersungkur.
Tidak tinggal diam, Brian pun mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah tali yang kusam dengan sedikit bercak darah kering di bagian tengahnya. Javier meyakini bahwa tali itulah yang digunakan Brian untuk menghabisi nyawa Lily.
Kali ini sepertinya keberuntungan tidak berada di pihak Brian. Sebelum ia berhasil mendekati Javier, pintu gedung itu terdobrak. Segerombol polisi masuk ke gedung itu dengan senjatanya mengarah ke Brian. Brian tidak lagi bisa berkutik, ia berhasil diringkus polisi dengan barang bukti di tangannya.
Javier menyaksikannya dengan terengah. Ia tersenyum saat seseorang masuk melewati polisi yang membawa Brian keluar. Perempuan itu duduk di depannya, melihat wajah memar Javier dengan tangis.
“Anne, jangan nangis,” bujuk Javier.
“Kamu ini beneran nggak pernah mau ngerti ya, Jav. Kamu nggak tahu seberapa bahayanya orang yang kamu hadapi tadi. Gimana aku nggak nangis lihat kamu begini? Aku hampir kehilangan kamu. Kamu tuh bisa mikir nggak sih.”
Javier merengkuh tubuh Anne dalam dekapannya. “Maaf, aku minta maaf karena nggak mau dengar omongan kamu. Aku nggak akan ninggalin kamu, Anne. Aku nggak akan ninggalin sahabat baik aku.”
Anne mendongak untuk menatap wajah lebam Javier, lalu berkata, “Aku obatin ya!”
Javier mengangguk dengan senyuman. “Besok ke makam Lily, ya?”
“Iya boleh.”
***
Makam Lily terlihat ramai orang berziarah. Ada mantan Brian juga di sana, dia adalah orang yang terakhir Lily bantu hingga menyebabkan Lily pada akhirnya meninggal. Gadis itu masih setia di sana, tangisnya tak kunjung reda hingga Bu Tika mendekat.
“Nak, Lily tidak akan marah sama kamu. Justru dia akan senang melihat kamu terbebas dari laki-laki biadab itu. Kamu sudah cukup lama di sini. Pulang nak, nanti orang tuamu mencari,” lirih Bu Tika.
Gadis itu mengangguk lalu meminta maaf sekali lagi dan berpamitan.
Javier dan Anne melihat itu lantas tersenyum. Mereka menghampiri Bu Tika. Javier menyerahkan bunga lily putih kepadanya.
“Bunga untuk Lily, Bu,” ucap Javier.
“Sebagai tanda terima kasih dari kami atas pengorbanan Lily,” sambung Anne.
Bu Tika tidak lagi mampu menahan air matanya. “Lily pasti juga berterima kasih kepada kalian yang sudah berhasil mengungkap kebenarannya. Terima kasih banyak ya, Nak Javi dan Nak Anne.”
Javier dan Anne mengangguk.
Kini kasus Lily sudah terungkap. Brian menerima ganjaran dari perbuatan kejinya. Ibu Lily sudah bisa lebih ikhlas menerima takdirnya. Terakhir, soal Marco, dia juga mendapatkan keadilannya. Javier mengulas senyum saat melihat bayangan Lily memudar dari kejauhan.
Lily berhasil menuju tempatnya yang abadi.
Penulis: Sayekti Margi Rahayu
Editor: Mahesa Fadhalika Ninganti