BLUNDER KOMINFO TENTANG PSE: MENAMBAH MASALAH DENGAN MASALAH

0
Ilustrasi: Mahesa Fadhalika N.

Belum selesai dengan RKUHP yang pedas habis—(baca: (pasal) karetnya banyak), Kominfo ikut-ikutan melalui kebijakan Permen Kominfo No. 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permen Kominfo No. 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) Lingkup privat yang sama karetnya. Bagaimana tidak, beberapa peraturan yang dibuat bukannya Memberi dukungan perkembangan dunia digital, justru peraturan tersebut mematikan beberapa arus dunia digital di Indonesia.

Mungkin Menteri Kominfo, mentang-mentang punya relasi kuasa yang lebih, senang menetapkan peraturan yang aneh-aneh, tanpa mementingkan hajat masyarakat luas. Dengan alibi pengawasan, keamanan, dan komunikasi, mereka bisa leluasa melakukan intervensi terhadap ruang digital yang diakses warganya.

Mari kita lihat dalam Pasal 7 ayat (2): bagi platform yang tidak melakukan pendaftaran, maka akan terancam terkena pemutusan akses (pemblokiran). Adanya pendaftaran PSE Lingkup Privat tersebut (kata Menkominfo, dalam booklet pendaftaran PSE) bermanfaat untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang andal, aman, terpercaya dan bertanggung jawab. Alhasil, beberapa platform besar yang belum mendaftar seperti PayPal, Dota, hingga Steam sempat mendapatkan sanksi tersebut.

Pemblokiran yang dilakukan ini dirasa kurang relevan. Sebaliknya merugikan beberapa kalangan, seperti para pekerja lepas yang transaksinya terkendala karena menggunakan PayPal, juga atlet e-sport yang kehilangan pundi-pundi rezeki melalui kancah game online berupa Steam dan Dota. Pada pemblokiran ini Kominfo tak menawarkan penyelesaian masalah sama sekali. Peraturan tersebut justru menambah masalah lain, yakni menutup akses platform yang memudahkan transaksi dari dalam negeri ke mancanegara.

Sementara itu, beberapa situs yang terdaftar namun menyediakan akses non legal dan merugikan malah masih bebas berlarian kesana kemari dan tertawa. Sebut saja lapak slot, judi online—yang ironisnya disebut permainan kartu biasa, pinjaman online, juga situs pornografi. Belum lagi, melalui laporan Teguh Aprianto dalam akun Twitter-nya @secgron, 10 orang mendapatkan serangan digital dan teror melalui WhatsApp karena ikut mengkritisi Peraturan Kominfo ini. Di titik ini kita mempertanyakan letak ‘aman’ dan ‘terpercaya’  yang digadang-gadang tersebut.

Tak sampai di situ, dalam Pasal 9, pemblokiran juga dilakukan pada platform yang “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”. Diksi tersebut selain bersifat subjektif, juga multitafsir dan mengancam pergerakan pihak-pihak yang hendak mengkritisi pemerintah. Dengan peraturan ini, pemerintah punya kontrol untuk mengatur konten apa saja yang boleh dan tidak boleh diunggah, yang berujung pada campur tangan konten-konten di internet agar sesuai dengan keinginan mereka.

Selanjutnya dalam Pasal 14, diksi “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” juga bisa dijadikan alasan untuk melaporkan konten-konten yang kontra dengan pemerintah atau pihak-pihak berwenang. Sehingga pemerintah bisa leluasa men-takedown suatu konten dengan dalih diksi-diksi karet tersebut. Dari kasus ini kita bisa sedikit belajar dari elastisnya karet yang melingkar pada UU ITE.

Adanya Pasal 9 tadi semakin diperkuat dengan adanya Pasal 36. Selain konten yang ‘diatur’, platform yang terdaftar PSE wajib memberikan akses sistem dan/atau data elektronik kepada pemerintah dan penegak hukum terkait. Hal ini bertentangan dengan prinsip HAM, di mana jelas dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 diatur mengenai hak perlindungan privasi. Adanya kontrol dan akses pemerintah terhadap konten dan data-data pribadi juga tidak menjamin data-data tersebut tidak disalahgunakan untuk kejahatan siber yang mengancam kebocoran privasi dan (lagi-lagi) pembungkaman atas kebebasan berekspresi di dunia digital.

Terakhir, baru-baru ini akses terhadap PayPal, Steam, dan Dota telah dibuka kembali setelah mendapat kritik habis-habisan dari warganet. Meski begitu, agaknya kita tak langsung berpuas diri. Menteri Kominfo hanya membuka pemblokiran terhadap platform-platform digital tapi masih belum mencabut peraturan terkait yang menjerat. Pasal-pasal tersebut kelak masih bisa menyandung hajat orang banyak kapan saja, bukan hanya untuk mematikan internet, tapi juga mematikan hak kita dalam berekspresi.

Di sini dapat dilihat bahwa pasal-pasal dalam Permen Kominfo mengenai PSE tersebut problematik. Pihak Kominfo terlalu fokus mengurusi peraturan terkait pendaftaran PSE, sibuk melakukan blokir sana sini, ingin mengintervensi data-data yang tak seharusnya diketahui umum dengan dalih ‘menegakkan hukum’. Tapi mereka luput mengecek platform-platform mana saja yang sudah mendaftar namun kinerjanya bersifat ilegal, seolah siapapun yang sudah mendaftar telah lolos dari pemblokiran. Kebijakan takedown yang “meresahkan ketertiban” juga tak jelas standarnya apa dan siapa yang berhak menentukan. Kominfo dengan segala keblunderannya, pantas kita anugerahi jargon tersendiri: Mengatasi Masalah dengan Masalah. Demikianlah.

Penulis: Adila Amanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.