BAYANG-BAYANG OTORITARIANISME DI RUANG AKADEMIK

0
Sumber: PPMI Kota Malang

Kami mengutuk segala tindakan represi yang dilakukan kepada Jurnalis!

Dalam tatanan demokrasi, kebebasan pers bukan sekadar aksesori, melainkan salah satu fondasi penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan akuntabilitas. Maka, tindakan Universitas Hasanuddin (Unhas) yang mengambil langkah represif terhadap lima jurnalis pers mahasiswa Catatan Kaki (Caka) menunjukkan potret buram dari institusi pendidikan yang berkhianat pada misinya sendiri.

28 November lalu, lima orang jurnalis Caka ditangkap polisi. Mereka—Nisa, Erik, Fajar, Unding, dan Hanan—adalah orang-orang yang gencar meliput kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen, Firman Saleh. Setelah meliput demonstrasi yang menuntut pemecatan pelaku, mereka dibawa ke gedung rektorat Unhas sebelum kemudian dibawa ke Polrestabes Makassar. Kelimanya dilaporkan oleh Rektorat Unhas sendiri yang tak terima atas beberapa unggahan berita milik Caka.

Di kantor polisi, celah-celah Caka coba dicari. Ponsel-ponsel jurnalis Caka yang terdeteksi log-in akun Instagram Caka diperiksa. Beberapa unggahan berita milik Caka dipermasalahkan. Lagi-lagi, pasal karet UU ITE terkait penghinaan/pencemaran nama baik jadi senjata polisi.

Apa yang dilakukan oleh Rektorat Unhas sejatinya mempertontonkan kemunafikan institusi. Mereka telah mencoreng komitmen moral sebagai pemimpin dan pendidik sekaligus mengangkangi nilai-nilai akademik. Miniatur negara yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi dengan menjamin kebebasan pers dan hak memperoleh informasi itu malah membungkam mahasiswanya. 

Bukan hanya itu, pelaporan yang dilakukan Rektorat Unhas juga menunjukkan bahwa mereka telah mengabaikan Perjanjian Kerja Sama antara Dewan Pers dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang penguatan dan perlindungan aktivitas jurnalistik mahasiswa di perguruan tinggi. Demi melindungi nama baik institusi, Rektorat Unhas mencederai demokrasi di kampusnya sendiri.  

Rektorat Unhas seharusnya malu. Mereka bukan hanya telah melakukan pembungkaman terhadap kebebasan bersuara mahasiswanya, tetapi juga telah gagal menyelesaikan kasus pelecehan seksual secara transparan. Alih-alih menerima sanksi berat, pelaku pelecehan seksual hanya mendapat skorsing. Rektorat Unhas dengan sadar telah memasang badan untuk melindungi pelaku pelecehan seksual, melanggengkan praktik impunitas, dan mengabaikan keberpihakan pada korban. Kampus yang semestinya menjadi ruang aman, kini justru terancam oleh rektoratnya sendiri. 

Hal yang sama juga berlaku bagi institusi Polri. Mereka perlu melakukan introspeksi. Persekongkolan mereka dengan penguasa dan pembungkaman kepada jurnalis bukanlah kali pertama. Institusi ini harus segera sadar diri: mereka sejatinya pengayom rakyat bukan pembungkam rakyat.

Kampus semestinya menjadi gelanggang dialektika yang egaliter, bukan malah menjadi institusi yang  anti-kritik dan otoriter. Ruang-ruang kebebasan akademik dan kebebasan bersuara di dalam kampus adalah arena pertarungan ide dan gagasan, bukan kehendak pemilik kekuasaan. Oleh karenanya, upaya-upaya menggembosi pers mahasiswa hanya untuk citra semu harus segera disudahi.

Tindakan represif Rektorat Unhas patut dikecam. Setelah semua ini, hanya ada satu jalan bagi Rektorat Unhas bila memang mereka masih memiliki integritas: cabut laporan terhadap jurnalis Caka, tuntaskan kasus pelecehan seksual secara transparan, jatuhkan sanksi berat kepada pelaku pelecehan seksual, akui kesalahan mereka dan meminta maaf secara terbuka. Sebab, citra suatu institusi bukan rusak karena berita yang diunggah. Citra suatu institusi ditentukan oleh kinerja orang-orang di dalamnya.

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.