Gaun Kebohongan
Ainun Syahida A.*
Salahku atau salah diakah jika kebenaran agar bisa menemukan jalan masuk, harus sebegitu sering meminjam gaun kebohongan? – Multatuli, Max Havelaar
Multatuli yang bernama asli Douwes Deker, menyampaikan kenyataan pahit yang dialami masyarakat Indonesia berabad-abad silam lewat kisah Max Havelaar. Ia membungkus kesaksiannya dalam sebuah tulisan untuk melawan pemerintahan Belanda, negaranya sendiri. Semua demi terkuak kebenaran, termasuk tentang gaun kebohongan yang harus digunakannya. Seolah mengutuk kenyataan yang memang kejam, salahku atau salah diakah?
Kini justru begitu banyak gaun kebenaran dibuat, demi menemukan jalan masuk bagi kebohongan. Nalar yang pendek membuat orang mudah percaya. Disaat yang sama orang membentengi diri di dunia yang sudah kepalang maju ini, antipati. Ketika realitas nyata terlalu menyakitkan, dunia maya jadi pelarian. Maka kemajuan teknologi dan media sosial saat ini minus hati nurani, turut berjasa menjadi alat produksi gaun kebenaran yang fana. Lantas kalau memang itu yang terjadi, salahku atau salah…. siapakah?
Menjadi satu ujian lain untuk perjalanan revolusi mental yang menggaungkan integritas, kerja keras, dan gotong royong. Sejauh mana program tersebut sudah aplikatif dan menjadi milik masyarakat. Fenomenanya bisa diamati seputar tahun 2016. Sudah tidak dapat dibedakan antara kebenaran dengan kebohongan yang disamarkan. Orang gagal membaca mana orang dengan niat baik atau mana dengan niat buruk. Akhirnya praktik prasangka dan saling curiga muncul mewabah di dunia maya yang menjalar kian nyata.
Miris ketika beberapa waktu lalu menemukan seorang nenek yang hampir pingsan disamping jembatan sungai dekat sebuah perumahan. Pakaian si nenek memang tidak mengesankan sebagai orang berpunya, celana pendek dan kaus lengan pendek yang sebagian kotor terkena muntahannya. Dengan suara lirih bercerita bahwa sudah berjam-jam, dia duduk dipinggir jembatan sambil meminta tolong pada orang yang lalu-lalang. Tetapi tidak ada satu orang pun yang bersedia menolong mengantarkan ke rumahnya. Sebelum mengucapkan terima kasih telah dibantu, ia sempat bertanya nelangsa setengah heran pada satpam yang berjaga dan penulis pribadi, mengapa orang-orang tidak ada yang mau menolongnya. Malangnya nasib si nenek, karena itu juga menjadi pertanyaan tersendiri ditengah zaman yang katanya revolusi mental ini.
Memang terkesan sok bijak menghakimi dengan satu contoh kecil. Apalagi di televisi sudah lebih dulu tayang berita tentang pengemis-pengemis tua yang punya omset jutaan rupiah. Belum lagi modus-modus baru pengemis menjerat korban dengan memanfaatkan rasa iba sudah tersebar luas lewat media sosial. Tidak heran mulai tumbuh prasangka yang menyamar dengan gaun waspada. Tapi jangan main salah-salahan dulu, waspada adalah sikap yang paling penting terutama untuk menyelamatkan diri sendiri kan?
Prasangka dan curiga menempatkan si nenek yang meminta tolong karena sakit, seolah sama dengan pengemis yang masuk televisi atau terkenal lewat media sosial karena aksi tipu-tipunya. Entah karena jamak terjadi atau dibiarkan gagal membaca situasi sejenis, masyarakat menjadi paranoid untuk menolong sesama. Pada akhirnya mentok, pasrahkan saja biar kebenaran yang berbicara sejalan waktu.
Si nenek adalah korban dari munculnya kebohongan bergaun kebenaran yang fana. Hina rasanya, mengingat dulu lewat gaun kebohongan seseorang susah payah untuk menampakkan kebenaran. Mengusahakan berbagai cara agar kebenaran menemukan jalan masuk, mengacuhkan prasangka dan curiga yang tertuju ke arahnya. Sementara kecenderungan masyarakat justru berpegangan jika kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Menganggap prasangka bisa jadi sumber waspada yang akan membawa keselamatan. Resmi sudah gaun kebohongan menganggur, digantikan gaun kebenaran yang fana itu.
Tulisan ini bisa jadi hanya gaun kebohongan agar kebenaran lain dari ide revolusi mental masuk. Mungkin tentang keheranan, butuh berapa nenek lagi untuk duduk di pinggir jembatan sambil mengutuk diri karena tidak ada yang peduli, berharap sampai yang muda sadar. Pendeknya, kapan mau revolusi mental?
*awak kavling 10