Redupnya Jati Diri Ekonomi Nawacita Pasca Reshuffle
Oleh: M. Iqbal Yunazwardi
Pemilu 2014 lalu, dimana segenap mereka para relawan berbaju kotak menggaungkan sebuah gagasan yang menggambarkan keinginan founding father kita, Soekarno. Trisakti kembali dikumandangkan oleh sosok yang mereka eluk-elukan. Nafas tersebut ditransofrmasikan dalam bentuk Nawacita. Sembilan harapan adalah arti dari bahasa Sansakerta yang dibawa oleh Presiden kita saat ini untuk menggaungkan semangat perubahan.
Bung Karno juga pernah menggaungkan semangat kemandirian Indonesia dalam perwujudan semangat kemandirian bangsa. Nation Building yang diinginkan presiden pertama RI tersebut yakni adanya nilai-nilai berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang budaya. Hentakan perubahan pun di eluk-elukan oleh segenap bangsa Indonesia ditahun itu.
Jokowi dan Jusuf Kalla hadir memanfaatkan celah tren-tren politik populis dengan menggaungkan kembali nilai-nilai tersebut pada visi mereka. Mereka mengklaim bahwa Nawacita adalah turunan dari nilai-nilai Trisakti. Prioritas tersebut dilantunkan dengan uraian sembilan program mereka. Program tersebut diantara lain: Melindungi segenap bangsa dalam memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, membuat pemerintahan yang bersih, membangun Indonesia dari pingiran, menolak negara lemah dengan penegakan hukum, meningkatkan kualitas hidup manusia, meningkatkan produktivitas rakyat, mewujudkan kemandirian ekonomi, melakukan revolusi karakter bangsa dan memperteguh kebinekaan. Tidak ada yang salah dengan visi yang mereka bawakan. Hingga akhirnya tampuk kekuasaan pun berhasil diraih.
Euforia harapan Indonesia yang lebih baik telah diamanatkan kepada Jokowi. Jokowi tentu tidak perlu pusing lagi menata pemerintahannya. Baginya, kekuatan nasionalis-populis cukup meyakinkan bahwa kabinet nanti akan memberikan hawa perubahan yang berbeda dibandingkan kepemimpinan Presiden RI sebelumnya. Pilihan-pilihan kementerian dan nama-nama yang masuk di dalam kabinet pada awalnya juga diharuskan mampu mencirikan semangat Nawacita.
Seiring berjalannya pemerintahan, implementasi atas nilai-nilai Nawacita tidaklah mudah. Hingga akhirnya Presiden harus mengambil keputusan untuk me-reshuffle para menterinya yang dirasa kurang kontributif terhadap kinerja pemerintah. Terhitung telah dua kali Jokowi melaksanakan reshuffle. Aspek utama yang menjadi pertimbangan yaitu kementerian di bidang ekonomi.
Dalam bidang ekonomi beberapa permasalahan tak kunjung selesai. Dimulai dari penerimaan pajak yang lambat, penerimaan dan belanja negara yang belum proposional, hingga proporsi utang luar negeri yang belum stabil. Hingga akhirnya, tema reshuffle Jokowi pada jilid kedua tersebut dapat disebut sebagai “Reshuffle Ekonomi Nawacita”
Reshuffle, Bentuk Perbaikan Visi Nawacita Ekonomi?
Reshuffle jilid kedua yang dilakukan Jokowi sekiranya telah menggambarkan realita yang jelas. Rencana besar kementerian ekonomi mengalami perubahan cukup besar. Kesan pertama yang patut dilihat adalah perubahan tersebut membuktikan bahwa arah ekonomi Indonesia makin membanting setir menuju neo-liberalisme. Masuknya nama Sri Mulyani dan ditendangnya Rizal Ramli menurut saya telah membuktikan bahwa nasionalisme ekonomi yang hendak dibangun perlahan hilang. Tips-tips ekonomi liberal mulai diberlakukan lagi.
Tak hayal, konsep alternatif Trisakti yang digaungkan oleh Jokowi tidak lagi menjadi sesuatu yang nyata. Ide-ide populis tersebut hanya digunakan sebagai tampilan luar saja. Tidak salah juga bahwa dari banyaknya perbincangan publik, kaitan antara Trisakti dan Nawacita yang dijalankan oleh Jokowi adalah manipulasi semata. Mungkin pada nyatanya, resep-resep ekonomi kerakyatan yang diimpikan oleh Indonesia akan digantikan oleh resep-resep ekonomi dari para borjuasi komprador khas World Bank.
Apabila hingga saat ini reshuffle adalah bentuk memperbaiki aplikasi dari Nawacita, saya akan menjawab tegas bahwa reshuffle saat ini adalah penghianatan atas nilai-nilai Trisakti yang menjadi pedoman penciptaan Nawacita. Cita rasa liberal dalam identitas ekonomi Indonesia adalah musuh utama bagi bangsa kita. Ketergantungan atas model ekonomi barat, hingga hilangnya keberpihakan pemerintah untuk mewadahi kepentingan pemodal-pemodal besar adalah resiko terbesar dari nafas neo-liberalisme dalam identitas ekonomi pemerintah pasca reshuffle saat ini.
Lalu sebenarnya, apakah fungsi dari reshuffle jilid dua yang dilakukan oleh Jokowi?
Merekam Jejak Menteri yang Tersingkir saat Memperjuangkan Nawacita
Jokowi telah merilis nama-nama yang terdepak dari jajaran kabinet kerja. Presiden tentunya mempunyai alasan yang kuat atas pelengseran partner kerjanya tersebut. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah apakah indikator kinerja para menteri tersebut diukur dari patuhnya mereka kepada cita-cita Nawacita? Atau, kinerja-kinerja menteri tersebut yang ingkar dari instruksi presiden?
Terdapat sekitar tujuh menteri yang terkena dampak reshuffle. Mereka harus angkat kaki lebih dulu dari ruang dinasnya atas hak prerogratif presiden tersebut. Nama- Nama tersebut diantara lain Sudirman Said (Menteri ESDM), Ferry Mursydan Baldan (Menteri Reforma Agraria), Yudi Chrisnandi (Menteri Reformasi Birokrasi), Rizal Ramli (Menko Maritim), Marwan Djafar (Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal), Ignasius Jonan (Menteri Perhubungan), dan Saleh Husin (Menteri Perindustrian).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengomentari menteri yang di reshuffle karena kinerjanya yang buruk atau kebijakannya tidak sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Hal unik yang harus kita bedah adalah mereka-mereka yang telah berjuang untuk aplikasi Nawacita, tetapi tetap tersingkir dalam kabinet. Tiga nama yang menurut saya yang telah sejalan dengan arah Nawacita diantara lain Ignasius Jonan, Rizal Ramli dan Sudirman Said. Tetapi nama tersebut bukanlah “pria patuh”. Nama tersebut adalah sosok yang mampu mengeluarkan kritik atas kebijakan kementerian lainnya yang dianggap tidak mencerminkan Nawacita.
Ignasius Jonan secara berani untuk tidak memberikan izin pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Jonan secara tegas tidak akan memberikan izin kepada PT Kereta Cepat Indonesia-China sebagai pemegang proyek memiliki izin usaha penyelengggara prasarana perkereta apian umum. Dalam hal ini Kementerian Perhubungan bentrok dengan Kementerian BUMN pimipinan Rini Soemarno sebagai penggagas proyek tersebut. Penolakan proyek ini, bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh Jokowi. Jokowi berkilah bahwa proyek kereta cepat difungsikan untuk meningkatkan mobilitas masyarakat.
Mungkin rakyat akan berpikir, saat Jokowi menyetejui pembangunan kerata cepat, apakah beliau sadar bahwa beliau sudah melanggar Nawacita? Pemaksaan kehendak Jokowi atas pembangunan kereta cepat tersebut menujukkan tata kelola pemerintahan yang buruk. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya peraturan membahas prosedur perizinan perencaan pembangunan.
Contoh lain dapat kita lihat dalam sepak terjang Rizal Ramli sebagai Menteri Kemaritiman. Dari banyaknya perbincangan publik, Rizal Ramli dianggap sebagai tokoh yang paling sejalan dengan Nawacita Presiden Jokowi. Saya rasa, Rizal Ramli tidak henti-hentinya menggaungkan semangat Nawacita dalam setiap kinerjanya di kementerian. Beliau sukses menghadirkan negara dalam memperkuat budaya maritim. Rizal melaksanakan kebijakan pembelian 5000 kapal laut yang digunakan sebagai konektivitas antar pulau.
Selain itu, Rizal berusaha membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Hal tersebut dibuktikan dengan upaya blak-blakannya dalam membatalkan rencana pembelian Airbus A350 Garuda Indonesia. Alasannya pada pembelian tersebut Garuda Indonesia akan merugi, dikarenakan tipe pesawat tersebut hanya cocok pada penerbangan jarak jauh dan tidak berdampak pada pasar domestik. Namun akhirnya apa yang terjadi? Mantan Menko Kemaritiman terlibat perselisihan dengan pemegang kekuasaan saham Garuda, yaitu BUMN.
Nama terakhir yaitu Sudirman Said. Sudirman secara tegas menuduh Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya mengejar keuntungan semata melalui kendali dari Rini Soemarno. Sudirman menyatakan bahwa Rini terlalu mengarahkan PLN sebagai perusahaan pencari profit. Sudirman berpendapat bahwa harusnya PLN mengacu pada kesejahteraan rakyat. Kritik tersebut adalah akumulasi dari kebijakan PLN yang dianggap Sudirman tidak menyejahterakan rakyat. Kebijakan tersebut diantara lain membuat aturan sendiri terkait soal tarif listrik dari pembangkit listrik mikro hidro, keterlambatan PLN dalam menyerahkan revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik, menghilangkan proyek high voltage direct current, hingga tidak taatnya perusahaan BUMN tersebut dalam mematuhi aturan aturan pengelolaan energi dan sumberdaya di Indonesia.
Pembaca mungkin bisa menilai bahwa bukan hanya sekedar miskomunikasi yang terjadi diantara para menteri yang ada di kabinet kerja. Lebih dari itu, ketidaksamaan misi diantara para menteri adalah poin utama. Tetapi pada akhirnya, mereka yang disingkirkan adalah mereka yang tidak “patuh” terhadap apa kata Presiden Jokowi. Lebih-lebih pola dari miskomunikasi tersebut juga mampu terbaca jelas.
Pada akhirnya, Nawacita akan semakin ditinggalkan. Entah apa arah yang akan diambil oleh Presiden, tetapi salah satu poin vital dalam jalannya pemerintahan telah mengalami kemunduran. Nawacita mungkin hanya berfungsi sebagai slogan politik semata. Tidak lebih, tidak kurang.
Tapi dalam melihat keadaan ini, saya berusaha mencari urgensi perbaikan Indonesia. Saya tetap berharap Bapak Presiden yang terhormat agar mau mencicil cita-cita Nawacita, jika masih bersedia. Situasi saat ini bukanlah lagi persoalan membangun Nawacita. Persoalan saat ini adalah bagaiamana pemerintahan kabinet kerja mampu untuk membangun infrastruktur. Mungkin, pembangunan tersebut secara pasti akan menghapus kekeliruan tulisan ini dengan memastikan bahwa Jokowi masih di jalur Nawacita.