Melawan Pembungkaman!, Titik Temu Persma dan Dikti
SEMARANG-KAV.10 “Kalau dulu ancamannya jelas. Bunuh, hajar, hilang, mati,” ungkapan dilematis terlontar dari mulut sekjend PPMI nasional Abdus Somad menanggapai kebebasan berpendapat. Menurutnya saat ini ancaman yang dialami oleh awak pers mahasiswa lebih condong menyerang sisi mental. Tekanan ini muncul terutama dari birokrasi kampus. Somad melanjutkan bahwa pukulan secara psikologis hingga dikucilkan oleh jajaran petinggi serta lingkungan universitas adalah pil pahit yang harus ditelan pegiat Persma saat ini. “Kami melihat adanya ketidaksukaan birokrasi kampus terhadap Persma karena berita,” ujar Somad.
Sontak hawa panas diskusi menyeruak di hari kedua Sabtu (30/1) Dies Natalis XXIII PPMI. Menghadirkan empat narasumber sebagai pembicara, wadah diskusi tersebut digelar dengan tema “Pembungkaman Gerakan Mahasiswa di era Reformasi”. Bertempat di Gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), diskusi tersebut menghadirkan pembicara yaitu Sekjen PPMI Nasional Abdus Somad, Perwakilan dari Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Asep S. Wakil Rektor III Unimus Djoko Setyo Hartono dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono. Bertindak selaku moderator diskusi, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Tengah Teguh Hadi Prayitno.
“Bagaimana Dikti melakukan pendekatan dengan organisasi mahasiswa?” pertanyaan yang diajukan oleh Permata Ariani, salah seorang peserta seminar dari Perwakilan PPMI Kota Malang dalam sesi tanya jawab. Dalam pertanyaannya ia menambahkan jika Dikti hanya melakukan pendekatan melalui pihak kampus atau rektorat, maka bagaimana mungkin Dikti dapat membuat kebijakan yang relevan dengan kehidupan mahasiswa sekarang ini.
Pada kenyataannya, Dikti memang tidak memiliki program kerja yang secara langsung ditujukan untuk melindungi Persma. Sikap Dikti dalam menghadapi represi yang dialami Persma menjadi pertanyaan yang ikut menggema dalam Seminar Nasional PPMI kali ini. Dalam pertanyaannya Permata menambahkan bahwa Pers mahasiswa memang tidak memberikan wujud nyata berupa mendali atau prestasi lainnya yang dibuktikan dengan piagam. Namun yang dilakukan persma adalah sebuah tindakan kontrol sosial. “Apakah kemudian dikti abai terhadap masalah mahasiswa diluar program kerja mereka?” tambah Permata.
Menjawab pertanyaan tersebut, Asep mengakui sejauh ini pendekatan yang dilakukan oleh Dikti hanya melalui Pembantu Rektor (PR) III dan Pembantu Dekan (PD) III. Asep selaku perwakilan Dikti menjelaskan bahwa pembuatan proposal kepada Dikti untuk pengabdian masyarakat sebagai salah satu langkah nyata persma menyumbang solusi di masyarakat. “Kami sifatnya stimulus,” jawab Asep. Menjawab pertanyaan lebih jauh, Asep mengatakan bahwa beban prestasi memang menjadi pertimbangan tersendiri bagi Dikti. Menanggapi nihilnya medali yang mungkin bisa disumbangkan awak Persma Asep mempunyai pendapatnya. “Kami tidak melihat emas,” ujar Asep menanggapi penilaian Dikti terhadap persma.
Sebagai penutup diskusi ini, Somad selaku ketua PPMI Nasional menyuarakan kepada seluruh pers mahasiswa bahwa menuntut kebebasan adalah sebuah keharusan. Kemudian secara lebih tegas lagi ia berharap agar pers mahasiswa tetap mengingat kode etik jurnalisme dalam menuntut hak kebebasannya. (gph/ain/miy)