DINDING PROPAGANDA
oleh: Rahmawati Nur Azizah*
“Joni tak gila ketika didengarnya dinding berbisik, pelan berbisik: ‘Curilah roti, Jangan biarkan Susi mati’ ” – Dinding Propaganda (melancholic bitch)
Seorang dokter dengan jas putih dan celana panjang hitam tiba-tiba memasuki kamar Joni. Wajahnya terlihat aneh dengan kumis tebal dan kepala botak itu. Entah kenapa ia selalu tersenyum kepada Joni.
”Selamat pagi Joni, masih menyendiri lagi? Tak mau keluar untuk bermain dengan yang lain?” sambil membuka tirai jendela, ia mendekati Joni. Menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Joni, yang kala itu sedang duduk bersandar di ranjang tempat tidur dan menerawang ke atap ruangan, ia selalu bergumam.
”Kau tahu,” dengan pandangan kosong ia masih menatap dinding dinding di depannya. ”Orang tidak akan pernah lagi mempercayaimu karena kau berteman denganku. Menjauhlah dariku karena mereka pikir aku gila. Tidak! aku tidak gila! Mungkin mereka saja yang tuli yang tidak dapat mendengar teman temanku berbicara panjang lebar tentang kasus pencurian roti di supermarket beberapa meter dari kontrakanku yang dulu itu” belum sempat dokter tersebut membalasnya, Joni terus berbicara tak henti hentinya.
”Dan apa yang mereka pikirkan belum tentu benar, kan? Maksudku aku ini berusaha berteman dengan mereka, tapi aku tidak pernah bisa bertingkah baik, maksudku aku tidak pernah bisa memposisikan diriku layaknya seorang teman. Bahkan mereka takut padaku” ia berhenti, nafasnya terengah engah, ia pandangi seisi ruangan dengan pandangan gusar dan ragu, ditengah derasnya rus pahit realita, masih saja ia merasakan keraguan juga keterasingan.
Dokter yang duduk di samping tempat tidurnya tak berkedip saat ia bercerita, jendela dibelakangnya terbuka dan angin dan cahaya matahari yang belum terlalu tua masuk melalui sela sela ruang bebas di jendela. Dinding dinding kamarnya masih sama, masih seperti dahulu, seperti seminggu yang lalu, atau sebulan, atau beberapa bulan. Ia bahkan tidak ingat kapan ia datang disini untuk pertamakali.
***
Joni terbangun pagi itu, matahari masih belum tampak benar semburatnya, namun ia harus bagun untuk siap siap menuju tempat kerjanya, pekerjaan sebagai wartawan membuatnya harus bergerak cepat, bangun pagi benar, mengantri bus menuju kantor, siang berkeliaran dijalan, kembali ke kantor, menulis lalu pulang hingga larut malam. Baru baru dia sadar, sudah seminggu lalu ia dipecat karena alasan yang tidak jelas dari atasannya. Ia dulu adalah wartawan di salah satu surat kabar di sebuah kota yang orang menyebut kota itu dengan kota pelajar, namun meskipun ‘terpelajar’ banyak saja kasus kasus kurang ajar berserakan sana sini di kota tersebut. Ia biasa menulis di rubrik kriminal, tentang pencurian, pencopetan, bahkan pembunuhan. Biasanya, kontrakan ini adalah awal dan akhir cerita hari harinya, sisa sisa waktu itu ia habiskan bersama Susi, istri yang baru ia nikahi sebulan yang lalu.
Di sampingnya, mata Susi masih memejam, namun ia seperti menyimpan banyak sekali tekanan. Wajahnya tampak pucat, dan mulai menggumam tidak jelas. Joni mencoba mendekatkan diri ke Susi, ia tempelkan tanganya ke dahi istri nya yang terkulai lemas itu. Susi demam, Joni sangat panik! Badan Susi panas dan keringat dingin mengucur deras. Tidak seperti biasanya, seperti hari hari yang mereka lalui setahun lalu sejak mereka pertamakali bertemu, tidak pernah ia lihat Susi sekalipun sakit. Sekarang demam mulai meracaukan pikirannya. Ia mulai dari sejangkauan tangannya, dimeja tulis itu ia menaruh dompet, ia nampak tipis dan kusam, barangkali tak ada isinya. Lalu mulai mencari kemeja, berharap menemukan kantong berisikan sesuatu yang bisa menebus obat untuk badan Susi yang semakin basah, tak ada. Tak ada sepeserpun uang ia punya. Joni gusar, tangannya terkepal.
Tak lama, Susi pun membuka mata. Mata yang sayu, tampak kesedihan di mata itu.
”Apa kemarin kau sudah sakit, kenapa tak bilang padaku semalam?” Joni gusar dan mencoba membantu Susi menata letak duduknya.
”Aku tidak apa apa, Jon” Susi masih sangat nampak lemas.
”Jangan berbohong, kau demam Susi. Maafkan aku” Joni hampir menangis, matanya memanas dan berkaca kaca. Sambil menunduk ia memeluk istrinya.
Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, didalam hati ia bersumpah serapah pada Tuhan, pencipta takdir, meskipun ia tak pernah percaya dengan takdir. Ia menyesal telah meninggalkan bangku kuliah dan lari dari rumah bersama Susi. Seharusnya ia lulus tahun ini dan mendapatkan pekerjaan yang tetap, dan Susi lulus tahun depan, namun keduanya terpaksa melarikan diri dari orangtua mereka yang tak pernah tahu betapa hebat cinta mereka itu,lalu menikah ditempat yang entah lalu tinggal di sini, di kota ini.
Joni memejamkan mata, setelahnya Susi merasakan baju dipundaknya terasa basah, dan semakin basah saja bercampur keringat dinginnya. Joni kecewa dengan garis nasib yang Tuhan berikan untuknya, untuk kesedihan yang datang bertubi-tubi, untuk kemiskinan yang selalu menghantui dirinya sejak ia kecil, dan sekarang mereka masih membuntuti.
”Ayo kita ke dokter, Susi!” ia menatap mata Susi, tubuhnya gemetar.
”Bukankah Kita tak punya cukup uang untuk pergi ke dokter? Lagipula aku sudah tak kuat untuk berjalan lebih jauh.” dengan lemah Susi menjawab, tatapannya kosong kearah wajah Joni.
”Maafkan aku, seharusnya aku bisa membuatmu bahagia, jika kau sakit seharusnya aku bisa mengantarmu ke dokter dan menyuapimu makan. Maaf Susi” Joni sangat sedih dengan keadaan ini.
”Tak apa, Jon.” kemudian keheningan sesaat datang. ”Oiya aku lapar. Apa kau masih punya cukup uang untuk membeli roti? Aku ingin roti yang dulu biasa kau beli setelah pulang kerja itu” matanya yang sayu menatap Joni, berharap ia bisa memberikan sepotong roti untuk sarapan nanti.
Joni terdiam beberapa saat, menatap wajah pucat istrinya. Tak tega ia melihatnya menderita seperti itu. ”Baik, iya Susi. Aku akan beli sekarang.” Joni berbohong, jelas bahwa ia sama sekali tak punya uang. Namun apapun akan dia lakukan, kalau perlu mengemispun ia tak akan malu, untuk mendapat roti itu.
”Terimakasih.” ucap susi lemah, bahkan tak keluar sepotong suara itu. mereka saling bertatapan, dan tersenyum.
***
Tak lama, Joni sudah sampai di pelataran supermarket 24jam, pukul 8 pagi dan lahan parkiran yang ia lewati sudah disesakki motor dan mobil pembeli. Supermarket yang aneh, hanya ini supermarket yang buka 24 jam, biasanya hanya minimarket di pinggir jalan yang seperti ini. Bagaimana pekerja disini bisa tahan? Dan hanya di supermarket ini yang begitu sesak dijejali kendaraan di waktu sepagi ini. Benar benar supermarket yang sangat aneh. Begitu pikir Joni, lantas ia sadar kalau itu bukan sama sekali urusannya.
Ia berjalan ke depan, menyusuri lahan parkir motor dan mulai melihat pintu masuk otomatis supermarket itu. Ia tampak ragu ragu dengan keputusannya untuk masuk kedalam, dalam kepalanya segala kemarahan bercampur sedih berkecamuk. Apa yang akan dia lakukan kalau ia tak punya uang sama sekali? Ia mulai masuk sambil menaikkan resleting jaket parasut yang ia kenakan, pintu itu terbuka lebar untuk siapa saja, cahaya lampu yang terang langsung menyeruak menyapanya, menggiringnya masuk lebih dalam.
Dilihatnya kerumunan orang orang didepannya. Mereka seperti kerumunan yang lupa, bahwa disetiap bungkus makanan yang mereka ambil, terkurung dalam tanggal tanggal kadaluarsa yang tak pernah mereka kira dan sadari. Mereka sering lupa, bahkan tidak tau dan peduli dengan semua itu. Lantas ketika tanggal kadaluarsa tersebut sudah lewat, maka dengan mudahnya mereka memindahkan makanan itu ke keranjang sampah.
Joni berjalan melewati kerumunan itu, disana ia melihat deretan rak yang didalamnya tersusun rapi makanan dan kebutuhan sehari hari. Hatinya semakin gusar, tak tau akan bagaimana ia agar bisa mendapatkan sebungkus roti untuk Susi. Dinding dinding yang menyelimuti ruangan pun seakan menatap gerak gerik Joni. Mereka memperhatikan setiap kaki yang ia langkahkan. Mata mata itu seakan nyata. Sekarang ia sudah sampai di deretan roti, bau bau kue dan roti yang harum dan menggoda. Ia masih gemetaran, miskin tidak akan membuatnya putus asa, ia akan mencoba segala cara untuk mendapatkan itu, tapi lapar membuat ia gila, merasa tak berdaya.
Sesaat setelah ia mendekati deretan itu, suara suara asing dari kejauhan itu muncul. Mereka seperti berbisik, membisikkan kata samar samar yang tidak Joni pahami. Semakin lama suara suara itu semakin menggema dan menyebar, ia terkesiap dan waspada mencari darimana datangnya suara suara tersebut. ia curiga ada seseorang yang mengawasinya sejak masuk tadi. Lantas suara itu semakin jelas berbisik, pelan namun terdengar jelas berbisik.
”Joni, curilah roti. Hei hei Joni, Curilah roti itu. Kau tak sedih melihat istrimu kelaparan Joni? Ha? Kau tak kasihan melihat ia sengsara?” dan ternyata ia sadar, dinding dinding itulah yang membisiki nya, menghasutnya untuk melakukan kejahatan. “Jangan biarkan susi mati” dengung itu masih terdengar. Joni semakin gusar, badannya gemetaran, melebihi getaran istrinya yang sedang demam tadi. Kepalanya berputar putar dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia tak sedang gila ketika mendengar dinding itu berbicara.
”Tidak! Tidak! Aku tidak boleh mencuri. Aku wartawan, aku selalu berusaha melakukan kebenaran, aku selalu menulis berita pencurian. Bagaimana mungkin aku… ” ia kehilangan keseimbangan berpikir, kebingungannya tengah memuncak.
”Ayolah Joni, curilah. Curilah roti itu” dinding dinding itu terus menggema, dan menghasut.
Demi Susi, dan aku tak akan melakukan ini lagi. Sekali ini saja. Sekali ini saja aku tak akan melakukannya lagi. Begitu pikir Joni.
Akhirnya ia mulai membuka jaketnya pelan, pelan sampai ia pastikan bahwa di lorong tersebut tidak ada yang melihat gerak geriknya, kecuali dinding dinding yang terus saja menghasut itu. Ia mengambil bungkusan roti ukuran sedang kesukaan Susi. Ia masukkan ke saku dalam di jaketnya. Lalu perlahan, ia naikkan lagi resleting dan berpura pura bahwa semuanya baik baik saja. Seakan tak ada yang terjadi kala itu. Sambil berjalan ia menaikkan resleting itu, saat sampai di dekat kasir, dan resletingnya belum sampai di ujung atas, tiba tiba ada seorang dibelakangnya yang tak sengaja menabrak Joni. Ia ketakutan dan roti itu jatuh di lantai. Dan keranjang apel bawaan lelaki yang menabraknya itu jatuh berserakkan. Semua mata tertuju pada Joni, seakan waktu berputar lambat dan Joni tidak bisa lepas dari hujan tatapan mata pisau yang diarahkan deras pada dirinya. Ia tak bisa apa apa dan hanya menelan ludah. Ia ketahuan mencuri, sebuah roti jatuh dari dalam jaketnya.
”Aku.. hanya diperintah.. dinding dinding itu, kau dengar? Mereka menghasutku! Benar aku tak berbohong” orang orang disekelilingnya tampak bingung dengan ini semua, mereka masih saja mengerumuninya, menatapnya tajam hingga Joni gemetaran dan keringat dingin bercucuran. Tak lama, petugas keamanan pun datang dengan wajah wajah yang menyebalkan yang tidak akan pernah Joni lupakan. Lalu ia terngiang kata susi, kata kata yang dikatakanyya saat pertamakali mereka bertemu; kau tak perlu takut akan sesuatu Joni, lihatlah ke mataku dan temukanlah matamu. Kutatap kematamu dan kutemukan mataku. Kita akan baik baik saja, selama mata ini selalu bertemu. Mata joni bergerilya, mencoba menemukan mata susi, namun sia sia, susi, istrinya yang terkulai lemah itu, tak pernah ada.
***
” Hei, untuk apa kau terus terus menjejaliku dengan pertanyaan tidak masuk akal itu. Sudah kubilang aku tidak gila!” Joni membentak bentak sendiri, pada dinding dinding kamar itu ia meluapkan segala kekesalannya. Matahari disampingnya mulai meninggi, jam di dindingya sudah mulai menunjukkan pukul 07.30 pagi.
Seorang wanita tiba tiba datang dengan jas putih dan celana kain gelap, awalnya Joni tidak terlalu memperhatikan wanita itu. Sampai ketika wanita itu masuk dalam ruangan. Joni terlihat gusar saat bercengkrama dengan dinding itu, raut mukanya terlihat marah. Lantas ia mulai berpaling ke dokter yang datang tadi. Wajah cantiknya seperti pernah ia kenal sebelumnya, sangat familiar.
”Selamat pagi Joni” dokter itu tersenyum, senyum itu sangat ia kenal. Seperti Senyum yang ia lihat setiap hari di suatu tempat yang ia lupa dimana itu.
”Selamat pagi…”Joni masih menerka nerka siapa sosok familiar itu. Ia tatap mata dokter perempuan itu, dan ia menemukan keteduhan disana.
”Masih berhalusinasi dan mengobrol dengan teman teman dinding? Mengapa kau tak keluar bersama teman teman sungguhan yang lain, ayolah mereka sudah berada di taman, mereka menunggumu sekarang” dengan wajah berseri seri dokter tersebut mulai merapikan kamar Joni, melipat selimut dan menata ulang bantal dan guling pada posisi posisinya.
” Perkenalknan, namaku Susi, dokter Susi, kau pasti sering melihatku dari jendela ini bukan? Aku sering melihatmu menatap kosong taman lewat jendela itu, aku sadar kalau kau terus terusan mengamatiku dari sini.”
Mereka bertatapan, dan Joni hanya bisa diam ”Ayo kita ke taman, tidak baik terus mengurung diri di kamar seperti ini Jon.” mereka berdua tersenyum dan Joni akhirnya mengikuti dokter Susi keluar. Ia melewati deretan kamar kamar lainnya, bersekat sekat seperti kamarnya lalu ia melihat sebuah ruangan luas dan banyak orang orang berkerumun. Sebelum sampai pada taman, Joni harus masuk kedalam ruangan tersebut untuk mendapatkan snack sebelum sarapan yang dimulai dimulai pukul 08.00 nanti. Dari kejauhan ruangan itu terlihat, terdapat beberapa kursi mengitari Televisi, yang diposisikan menempel pada dinding jendela kaca. Sebagian besar ruangan tersebut adalah jendela, tak ada tembok, semua terbuat dari kaca. Baru sampai di bibir pintu, seseorang yang tak ia kenal menyapanya.
”Hai Joni, selamat pagi.” namun tak ia gubris. Matanya tertuju pada sebuah papan yang tergantung di sebelah pintu masuk itu, ia menatapnya dalam dalam. Papan itu bertuliskan ”Ruang Istirahat Pasien Skizofrenia.”
Post scriptum:
- Skizofrenia merupakan suatu gangguan kejiwaan kompleks di mana seseorang mengalami kesulitan dalam proses berpikir sehingga menimbulkan halusinasi, delusi, gangguan berpikir dan bicara atau perilaku yang tidak biasa (dikenal sebagai gejala psikotik). Karena gejala ini, orang dengan skizofrenia dapat mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain dan mungkin menarik diri dari aktivitas sehari-hari dan dunia luar
*pembantu Kavling10 yang menyukai melbi