Saling Gugat Globalisasi : Wacana Kelas Menengah Ngehek dan Hatersnya
Muhammad Iqbal Yunazwardi*
The Thread of Globalization is not wasted American Dollars but Washington Readiness to mix us commercial interest with itself appointed role as global protector – William Greider
Akhir-akhir ini saya sering mendengar wacana-wacana aktivis mahasiswa yang mempropagandakan istilah melawan kelas menengah “ngehek”. Saya pun kebingungan terkait apa arti dari ngehek tersebut. Setelah tidak menemukan arti dari kata “ngehek” tersebut, saya mendapatkan arti kata tersebut dari kamus slang. Ngehek dapat diartikan sebagai sebutan, makian, kepada teman / orang lain yg melakukan idenya (buah pikir) tanpa kesepakatan yg berakibat merugikan kelompok atau orang banyak. Setidaknya, gagasan kelas menengah ngehek awalnya menurut saya adalah mereka yang menghabiskan uang berpuluh-puluh ribu dan mengobrol selama berjam-jam di Mc Donalds dengan keadaan perut tidak kenyang, dan obrolan yang tidak mempunyai makna sama sekali, bukankah begitu?
Mungkin apa bila kita bertanya kepada Marx, ”Beh, kelas menengah iku buatan sampeyan tah? Jare namanya kelas yo borjuis atau proletar tok?” Mungkin dalam wawancara imajiner ini Marx akan menjawab “Ora!, opo maneh iku kelas menegah ?” Apabila masih susah mencerna percakapan tersebut mungkin kita bisa menebaknya dalam pikiran terkait pertanyaan yang akan kita langsung tanyakan kepada Nabi Muhammad dalam doa suatu individu. “Rasul, saya bingung. Saya ikut open recruitmentnya Muhammadiyah atau NU ya, padahal mereka sama-sama Islam lho?” Tentu saya berpikir Nabi Muhammad semasa hidupnya tidak mengetahui adanya ormas islam tersebut, dan tentu Ia tidak mengetahuinya.
Kelas menengah sendiri adalah hal yang baru terjadi sekitar kurun waktu 1980-1990 an dimana hal tersebut didukung oleh reformasi ekonomi negara-negara dunia ketiga. Globalisasi menjadi sponsor utama terbentuknya kelas menengah setelah komunisme mati dan proses modernisasi dunia pun dimulai. Kesadaran kritis kelas menengah pun mulai bertebaran melalui wacana diskursus dan dialektikanya untuk menggugat globalisasi.
Saat anda berani menggugat globalisasi, tentu wacana yang hadir adalah bagaimana merefleksikan makna dari suatu benda. Globalisasi menuntut produksi besar-besar demi tujuan yang utama. Tujuan itu adalah laba, laba dan laba. Tak peduli bagaimanapun sampah atau tidaknya suatu nilai. Apabila pasar membutuhkan, semua itu akan berjalan semestinya. Wacana melepaskan predikat kelas menengah “ngehek” pun mulai terurai, dengan membatasi gerak konsumsi terhadap kebutuhan lifestyle dan lebih kepada produk investasi.
Saat saya melihat wacana tersebut, maka hal yang pertama saya pikirkan adalah gagasan utama globalisasi ekonomi pun terpenuhi, tak peduli bagaimana “kelas menengah anti-ngehek” ini telah memulai wacana-wacana antithesis terkait budaya konsumerisme yang saat ini terjadi. Globalisasi telah merasuk kepada kaum tersebut dan mulai memantapkan cara bagaimana identitas, simbol maupun hal-hal terkait tidak perlu dipertimbangkan dan lebih beralih kepada budaya investasi yang jauh lebih menuai profit dibandung diskursus identitas yang terkesan “mbulet”.
Belajar dari intisari tulisan Jurgen Harbermas terkait gejala modernism dari kapitalisme liberal menuju kapitalisme monopolis yang mengakibatkan gejala-gejala sosial yang lebih sederhana sekaligus kompleks. Disini argumen saya berawal dari makin bergesernya arah pemahaman kaum kritis yang nyaman terhadap globalisasi untuk menjadi semacam golongan “hippies” pada umumnya yang gerah atas proses homogenisasi tetapi tetap ingin berdiri di tempat ia merasakan kenyamanan tersebut. Tergiringnya wacana-wacana tersebut tidak mengubah mereka menjadi kaum kritis yang mencoba untuk masuk pada ranah kritik atas globalisasi, tetapi kaum-kaum tersebut hanya berusaha untuk mengkritik kaum-kaum “kelas menengah ngehek” dan seterusnya akan tetap seperti itu.
Pasar dan Globalisasi tidak akan turut campur atas perbedaan kaum-kaum kelas menengah yang sama-sama lahir dari rahim globalisasi. Globalisasi akan tetap terus menikmati konflik tersebut, bahkan akan memberikan dukungan dan sponsor apabila pertikaian sesama kelas menegah tersebut menciptakan laba yang lebih. Pribadi saya tidak terlalu melihat bagaimana sifat konsumtif itu harus berpihak kepada simbol dan pemaknaan identitas atau kegunaannya. Tapi bagaimana kita yang telah dikotak-kotakkan dapat tetap bertahan dalam globalisasi ini.
*M Iqbal, sedang berproses di Kavling 10