SUNDARI & ANAKNYA
Oleh: Haroki A. Mardai
Sundari telah melahirkan anak. Anak itu bernama kasep. Kasep terlahir di sebuah pelosok desa yang terpencil. Saat kasep di lahirkan, ia sudah tidak memiliki ayah. Konon di dunia yang berputar semakin cepat ini, ayah Kasep di culik oleh siluman ular putih di sekitaran kampungnya.
Pekerjaan ayah Kasep memang beresiko, dalam keadaan ekonomi yang serba sulit, ayah Kasep memilih menjadi seorang penebang kayu di perbukitan yang menjadi bekas kuburan kompeni. Kuburan itu terkenal dengan pohon pohon besar yang lebat sekaligus di penuhi hewan hewan buas dan berbagai macam siluman. Namun ayah Kasep yang juga bernama Kasep itu memang tidak kenal takut. “ Apalah artinya rasa takut demi keperluan anak , toh rasa takut juga bisa di tantang dengan keberanian. “ Gumam ayah Kasep sebelum menemui ajalnya .
***
Demikianlah setelah Kasep mulai mengerti tentang kehidupan, sambil mengorek ngorek kotoran di dalam dua lubang hidungnya, ia bertanya pada ibunya yang sama sekali belum pernah bercerita tentang ayahnya itu .
“Mak, teman-temanku pada punya bapak, trus bapakku yang mana ya, kok aku gak pernah ketemu? ”
“ Kamu punya bapak nak, bapakmu gagah, ganteng, kuat, percis patih Batik Madrim “
“ Lha terus bapak kemana, kok gak pernah nongol “
Sundari menghela nafas dalam sedalam dalamnya, kemudian mulailah ia menjawab.
“ Iya nak bapakmu memang sudah pulang ke surga mendahului kita berdua ”
“ Ke surga kok sendirian mak, kok gak ngajak ngajak kita “
“ Soalnya kita masih hidup nak, yang ke surga itu khusus orang orang yang sudah mati “
Kasep masih mengorek ngorek kotoran di dalam dua lubang hidungnya, sambil mengangguk anggukkan kepalanya .
Sundari membisu untuk beberapa saat sambil melipat lipat kumpulan baju yang sebenarnya sudah kumal, rombeng dan tidak layak pakai ke dalam sebuah lemari yang bahkan jika lemari itu di tutup rapat rapat pun, tikus, kecoa dan berbagai macam hewan lainnya dapat masuk seenak udelnya, meskipun hewan dan serangga serangga itu tak punya udel.
Begitulah sepeninggal suaminya itu. Sundari beserta anaknya si Kasep hidup dengan kemiskinan. Dinding rumahnya hanya terbuat dari anyaman bambu, berlantai tanah dan kasur terbaiknya adalah sehelai tikar yang terbuat dari daun pandan. Dengan semua itu, Sundari tidak merasa menderita, barangkali ia sudah terbiasa, sampai sampai lupa bagaimana rasanya penderitaan itu. Sehari hari Sundari hanya ikut menggarap sawah dari beberapa makelar sawah, dari situlah ia bertahan hidup dengan anaknya yang bodoh dan tidak pernah sekolah.
“ Terus gimana caranya mak, kok bapak langsung bisa masuk surga. Bukankah kata orang, orang beragama itu harus masuk dulu ke neraka untuk di hisab dosa dosanya. “
Berceritalah Sundari seorang janda yang sudah hampir tujuh tahun tidak bersuami itu kepada anaknya yang kurus dan penyakitan itu .
“ Baiklah Nak, akan aku ceritakan padamu sebuah kisah tentang Bapakmu. Biar kamu tahu, bahwa bapakmu itu pantas langsung masuk surga dan tidak perlu mampir dulu ke neraka.“
Di sebelah selatan desa ini terdapat sebuah perbukitan yang di yakini dulunya adalah kuburan Naga milik Angkling Dharma. Naga itu di kuburkan tanpa di buatkan lubang, karena lubangnya akan terlalu besar dan merepotkan penggalian. Naga itu di timbun dengan tanah menjulang ke atas, hingga terbentuklah seperti perbukitan. Beberapa bulan saja tanah di atasnya menjadi sangat subur, bahkan rumput dan segala macam tetumbuhan seperti pohon dan bunga bunga muncul dengan sendirinya. Di situlah kemudian berbagai macam hewan bermigrasi, dari yang buas hingga biasa biasa saja. Seperti singa, harimau, orang utan, dan berbagai jenis burung. Bukan hanya itu nak, di sana juga terdapat ribuan siluman yang mengerikan, sangat mengerikan. Hingga pada suatu masa, negeri kita pernah di jajah oleh para kompeni, mereka adalah orang orang Belanda yang berkulit putih seperti bayi, yang selalu kalah melawan suku Samin. “
“Siapakah suku Samin itu, Mak“
“ Mereka adalah kaum yang selalu melawan, kaum yang merdeka sebelum kemerdekaan itu di sebutkan di negeri kita ini, kita bertetangga dengan mereka nak .“
Sebetulnya Kasep ingin bertanya tentang Suku tetangganya itu, tetapi ibunya lebih dulu melanjutkan cerita .
“ Nah , orang orang kompeni itulah yang mulai merusak, tidak sedikit yang ingin menebangi pohon-pohon perbukitan itu untuk di jadikan benteng, akan tetapi, tidak ada yang berhasil mendirikan sebuah bangunan apapun di sana. Siapapun yang memiliki rencana untuk mendirikan bangunan di atasnya, konon akan di datangi oleh berbagai macam siluman, dan jika tetap nekat ingin membangun bangunan di atasnya, maka dapat di pastikan si empunya rencana dan seluruh keluarganya akan mati dengan mengenaskan, kecuali .. “
“ Kecuali apa Mak? ” Kasep masih mengorek ngorek lubang hidungnya, ia seperti mencari sebuah harta karun di dalamnya .
“ Kecuali perbukitan itu di bangun sebuah kuburan. Maka di bangunlah kuburan para kompeni yang mati di bunuh oleh siluman di perbukitan tersebut. Konon arwah mereka di jadikan budak oleh para siluman. “
“ Kasep, berhentilah mengupil dengan ibu jari, jika kamu menggunakan ibu jari untuk itu, kotoran di hidungmu tidak akan pernah keluar, gunakanlah jari telunjuk. “ Gertak ibunya.
Kasep mengembang kempiskan hidungnya, kemudian barulah memasukkan jari telunjukknya ke lubang sebelah kanan. Sundari kembali melanjutkan cerita.
“ Jauh setelah kemerdekaan itu di umumkan. Para kompeni dan bangsa bangsa penjajah itu pergi, desa ini juga tidak pernah merasakan kemakmuran, uang tetap susah di cari, tidak ada pembangunan, kemlaratan seperti yang kita rasakan seperti ini apakah bentuk suatu kemerdekaan? Tapi anakku, apalah arti sebuah bentuk keluhan jika terus di ratapi, tidak banyak telinga yang tulus mau mendengar. Dari pada itu, di tempat yang di penuhi oleh orang orang yang tidak berpendidikan seperti kita ini, kita merasa menjadi raja untuk diri kita sendiri, menjadi raja di tanah kita sendiri. Untuk itulah bapakmu menjadi penebang pohon di tanah lahirnya sendiri, tanah nenek moyangnya sendiri. Selain itu,apalagi yang bisa di lakukan, tidak ada pembangunan di desa kita, siapa pula yang akan bekerja menjadi kuli, toh di desa kita pembangunan juga di lakukan dengan gotong royong, tanpa ada yang membayar dan di bayar selain rasa kekeluargaan sebagai tetangga sesama kampung. Dan itulah sebabnya nak, bapakmu nekat gelandong kayu. Kayu kayu besar yang menancap di atas perbukitan itu di tebang nak, kemudian di seret bersama sama ke arah sungai, di cemplungkan, dan seseorang akan menaikinya sambil terapung mengikuti arus hingga ke kelurahan. Di sanalah kayu kayu itu di perjual belikan. Tetapi nak, tidak mudah untuk mengarungi anak sungai perbukitan itu, sepanjang sungai tidak jarang seseorang akan bertemu buaya. Maka, orang hebat seperti ayahmulah yang dapat menumpas buaya buaya dengan goloknya seperti ksatria, tetapi tidak jarang yang akhirnya kalah dan menyerah di dalam perut buaya. Akan tetapi ayahmu tidak mati karena di makan buaya nak.”
“ Suatu ketika ayahmu melihat sebatang kayu besar yang mengapung di pinggir sungai, semua orang mengira itu memanglah sebatang kayu, tanpa terkecuali. Kemudian ayahmu menaiki sebatang kayu tersebut. Tiba tiba sebatang kayu besar itu berputar butar ke tengah sungai hingga membuat sebuah gelombang, kayu tersebut berubah wujud menjadi seekor ular putih raksasa yang melilit ayahmu dan memabawanya ke dasar sungai. Bukankah siluman memang bisa berubah ubah wujud menjadi apa saja ? Tidak seorangpun yang berani menolong, semua orang yang ada di tempat itu berhamburan menyelamatkan diri.
Setibanya para penebang kayu itu di perkampungan, berita itu tersebar dan terdengar di telinga ibumu ini yang sedang mengandungmu, dan sebentar lagi akan melahirkanmu. Bahwa ayahmu telah di ambil oleh siluman ular putih. “
Kasep masih mengorek ngorek lubang hidungnya, tapi bukan kotoran yang keluar dari kedua lubang itu, melainkan bulu hidung pendeknya yang malah rontok satu persatu. Setiap hari tidak ada yang bisa ia kerjakan dan pelajari selain mengorek ngorek lubang hidung yang sebenarnya sudah tidak kotor itu. Mungkin, jika suatu saat ia di tanya oleh seorang terpelajar
“ Wahai Kasep apa pelajaran yang dapat kamu petik hari ini ? “
“ Empat buah bulu hidung, itulah pelajaran yang dapat saya petik hari ini “
Kembalilah Kasep bertanya pada ibunya tentang siluman ular.
“ Bukankah kata Mak yang di bunuh oleh siluman di perbukitan itu konon di jadikan budak para siluman ? Lalu sebenarnya, ayah itu pulang ke surga atau menjadi budak para siluman ?”
Sundari oh Sundari, wanita malang yang meratap janda setiap malam, yang di tinggal suami tersayang, terdiam seribu bahasa .
*****
Pada suatu masa , ketika Kasep telah berotot dan bisa sedikit berfikir . Ia sedang santai di sebuah warung kopi di malam hari sambil main kartu remi bersama seorang teman lama yang baru berjumpa .
“ Sekarang kamu kerja opo sep “
“ Gelandong kayu, brew “
“Heleh , Sep sep zaman sudah berubah, pembangunan di mana mana, kok ya masih nebang kayu. Kamu tau tidak, sebentar lagi kampung kita ini akan kaya raya. Di bawah tanah kampung kita ini Sep, terdapat sumber minyak terbesar Se nusantara. Dan kamu tau tidak, Sekertaris Negara sekarang ini ? tetangga kita sendiri Sep, hebat tho. Sayangnya aja belum ada yang jadi menteri atau sekalian Presiden. Wes ikut aku aja nyopir truk di perkotaan, ntar ta ajari. Lagi pula apa untungnya nebang kayu, malah malah kamu bisa di tangkap intel lho. “
Dewasa ini, Kubil sudah tidak lagi mengorek ngorek dua lubang hidungnya. Kini kebiasaannya berubah menjadi mengorek ngorek lubang congeknya semenjak di ciptakannya cotton bud. Maka dengan mengorek ngorek lubang congeknya itu ia menjawab
“ Aku mau nyari siluman ular putih, Brew “
Kopi kental yang baru saja masuk ke dalam mulut teman Kasep itu muncrat , membasahi kartu kartu remi di depannya .
“ Lha buat apa to Sep “
“ Biar aku tahu Brew, ayahku masuk surga atau jadi budak siluman ular “