Bawa Aku Pulang, Tuhan
Oleh : Rahmawati Nur Azizzah *
“Hey! Sedang apa kau disini? Apa kau anak baru?”
Seseorang yang baru pertamakali ku lihat itu menyapaku, bertanya dengan raut muka hangat. Tapi aku tidak tahu harus menjawab apa. Lidah ku kelu. Aku pergi berlalu. Melewatinya dengan ekspresi datar, paling datar yang pernah aku rasakan sepertinya.
Tempat ini aneh, seperti berjalan dalam mimpi, aku sangat takjub dibuatnya. Aku tidak yakin dimana sebenarnya aku berada, ini aneh. Sangat aneh.
Cahaya putih tersebar dimana mana. Tempat ini begitu luas, begitu putih, dan begitu padat. Lihat saja di depan sana, deretan orang orang berjajar mengantri untuk bisa masuk menuju suatu ruang. Entahlah ruang apa itu, sepertinya lebih terang dari tempat ini. Cahayanya terbias dan memantul keluar ruangan dan terlihat dari luar sini.
Dan coba lihatlah para penjaga penjaga pintu itu, mereka memakai jubah putih putih pun kepala mereka ditutupi. Hanya wajah mereka saja yang terlihat.
“Ah… sebenarnya tempat apa ini?” aku mencoba mengingat ingat dimana terakhir kali aku berada. Sayang, tidak ada hasil, hanya ada sakit kepala yang semakin menjadi jadi ketika aku mencoba mengingat kembali.
“Selanjutnya!” kata salah satu penjaga pintu dengan raut muka menyebalkan. Sekilas dia menatapkku dengan tatapan sinis, lalu tersenyum kecut. Sepertinya ia sedang menantiku.
“Ah! Apa apaan dia, kenapa dia terus menatapku dengan tatapan menyebalkan itu” gumamku ketika aku melewati deretan panjang para manusia yang akan masuk ke ruangan itu.
Aku mulai rindu dengan keluargaku, dengan teman temanku dan… dengan Anna, seseorang yang selalu ku puja, lantas dia memilih orang lain sebagai teman hidupnya. Tapi, aku akan tetap menantinya. Aku tidak peduli meskipun kamu tidak mau tau tentang perasaan ini, perasaan ku padamau, Anna.
Dari kejauhan, kuliahat seorang lelaki tua duduk di bangku taman di depan sana. Aku pun mulai berpindah menuju tempat itu. Bahkan sebelum aku sampai ke tempat itu, kakek itu menyapaku terlebih dahulu.
“Hai, Nak! Akhirnya datang juga, kau terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya” sambil tersenyum ia memujiku.
“Hah!” aku lalu mempercepat langkahku dan mendekatinya dan menatapnya dan duduk tepat disampingnya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Sepertinya aku tidak ingat dengan mu” aku bingung, dan kebingungan ini sangat tampak pada raut wajahku. Momen seperti ini, ganjil sekali.
“Tentu, aku melihatmu setiap saat. Setiap detik yang berdetak, setiap jam yang berputar, dan setiap hari yang berlalu. Aku selalu mengawasimu.” tatapan matanya mulai tajam, mengarah tepat ke mataku.
“Apa?! Tapi bagaimana mungkin kau bisa melakukan itu semua. Kau penuh dengan omong kosong, Tuan ! Hanya Tuhan yang bisa melakukan itu semua.”
Aku tak akan pernah percaya dengan semua omong kosong kakek tua itu. Barangkali ia sudah mulai pikun dan gila, makanya bicara seperti itu. Sok kenal seperti itu. Kau ini siapa, hah? Tuhan?
“Memang benar. Aku ini Tuhan. Aku yang membawamu kesini. Percayalah.” Dia hanya tersenyum, cukup santai. Tak ada amarah sedikitpun meski aku berkata kasar kepadanya.
“Hah? Hentikan semua omong kosong mu, Tuan! Kau sudah mulai gila. Kalau kau benar Tuhan, buktikan kepadaku. Siapa aku? Dimana rumahku? Siapa Ayah dan Ibuku? Dan bagaimana kehidupan ku?”
Orang ini benar benar menyebalkan. Ingin rasanya tangan ini meninju wajahnya yang keriput itu, biar tahu rasa dia.
“Haha… baiklah kalau begitu nak. Namamu Joni Azhari, kau tinggal di pinggiran kota Yogyakarta, perbatasan Klaten – Jogja. Kau adalah seorang Juru tulis… oh maksudku Jurnalis di berbagai Harian dan sebuah Majalah Independent di kotamu. Ayahmu bernama Sapardi dan Ibumu Laila Azhari. Kau menyukai seorang perempuan yang bernama Anna, tapi kau tercampakan karena dia lebih memilih Kara ketimbang dirimu. Lalu kau mulai frustrasi, sebab Kara adalah…”
“Cukup! Cukup, Tuan! Kau tak perlu lagi berbicara tentang hal itu” Nafasku mulai sesak, rasanya seperti tercekik.
“Hah.. bagaimana bisa? Tempat apa ini sebenarnya? Kalau Kau Tuhan, berarti ini adalah…”
“Ya! Dugaan mu benar. Ini adalah alam akhirat Joni, Aku Tuhan Mu. Aku yang membawamu kesini.”
Apa?! Aku sudah mulai Gila sekarang, bagaimana mungkin. Tiba tiba nafasku semakin sesak, lebih sesak dari sebelumnya. Seperti ada tali yang mengikat erat peru paru ku. Ini benar benar sakit. Sakit sekali.
“Aku harus pergi dari sini! Ini bukan tempatku!! Aku punya banyak urusan yang harus aku selesaikan di dunia. Tolong, jangan Paksa aku untuk tinggal disini” Sambil terus kebingungan, dan tersenggal senggal, aku mulai berlari meninggalkan Tuhan. Oh… yang benar saja. Aku masih tak percaya kalau dia adalah Tuhan.
Aku terus berlari dan berlari, sesekali aku melihat kebelakang, memastikan kakek tua bullshit itu tidak mengikuti ku. Tidak! Ia masih terduduk di bangku nya sambil terus melihatku berlari.
Oh.. tolong mengertilah. Aku harus pergi dan melanjutkan hidupku kembali. Terlalu cepat aku untuk mati, aku tidak mau!
“Joni.. ayo pulang, semua orang sedang menangisimu. Mereka merindukanmu”
Suara samar samar itu tiba tiba datang memanggilku, menyuruhku pulang. Aku tidak tahu darimana datangnya suara itu, tapi yang jelas aku mendengarnya.
“Hey, Nak! Aku Tuhan mu, aku yang mengatur hidupmu. Tak usah lari terburu buru. Toh kau akan kembali lagi secepatnya.” Orang tua itu mencoba mencegahku pergi. Tapi aku tetap berlari, meski bayang bayang wajahnya selalu terlihat dimana mana, menuju cahaya terang di depan sana. Aku yakin itu yang dinamakan gerbang keluar masuk kehidupan.
Terdengar banyak sekali gelak tawa di belakang ku, aku tak peduli entah apa yang mereka tertawakan. Mungkin diriku. Aku semakin resah, aku semakin gusar dan nafasku semakin sesak, sangat sangat sesak. Aku…. aku harus pulang sekarang
***
Segalanya terasa damai, sampai aku membuka mata perlahan, aku mulai bisa melihat sekitarku disampingku, Ayah sedang mengawasiku dengan senyuman lebar di bibirnya. Ibu ku berada di samping kiri ku, ia menangis, aku tidak tahu apa yang ia tangisi sekarang. Bu, kenapa kau cengeng sekali. Dan di depanku ada adik ku, adik kesayangan ku, Kara. Terlihat senyuman di wajahnya.
“Dimana ini” aku bertanya pelan, lalu kara menjawab
“Kau ada di rumahsakit, Jon. Kau sakit sekarang.” Ia menjawab dengan lembut, dan tetap tersenyum.
Aku baru sadar beberapa saat setelah mendengar jawaban Kara, ternyata aku sedang terbaring di rumahsakit.
“Oh, Tuhan! Jadi Tadi Itu apa?!”
Selesai
*Anggota Magang LPM Kavling 10 UB