Menjadi Manusia Secukupnya
Oleh Fadrin Fadhlan Bya
Penulis bukanlah manusia sempurna yang bisa mempertahankan idealisnya karena menulis tulisan ini, penulis sadar masih perlu banyak belajar. daya tahan manusia berbeda dalam mempertahankan idealisnya. Menjadi manusia yang saya maksud dalam tulisan ini bukan berarti kita bukan manusia, secara fisik kita memang manusia tapi apakah pikiran dan kebutuhan hidup kita sudah seperti manusia atau malah seperti binatang? Menjadi manusia berarti membuat standar kebutuhan hidup minimal. antara manusia dan binatang memiliki persamaan dan perbedaan, manusia dan binatang sama-sama terobsesi akan kekuasaan. Perbedaannya, manusia dapat menegakkan keadilan socsal dengan akalnya tidak seperti binatang yang hanya mengandalkan insting.
Permasalahannya kadar kecukupan tingkat kebutuhan dasar tiap manusia tidaklah sama, dan juga untuk menekan hingga ke tingkat minimal kebutuhan tidak semua manusia bisa. Teori klasik Abraham maslow, tentang piramida kebutuhan manusia menjelaskan masalah ini. Menurutnya kebutuhan manusia itu terdiri dari berbagai tingkatan. Tingakatan paling dasar adalah kebutuhan dasar manusia, seperti sandang, papan, dan pangan, lalu tingkatan yang paling tinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Sebelum berangkat ke kebutuhan yang lebih tinggi, manusia harus memenuhi kebutuhan tingkat dasarnya dahulu.
Seorang Akademisi Jepang yang pernah lama menetap di Indonesia, Hisanori Kato, dalam bukunya “KANGEN INDONESIA: INDONESIA DI MATA ORANG JEPANG” sangat terkesima dengan konsep hidup orang Indonesia khususnya Jawa. Orang Jawa sangat mengedepankan pola hidup yang sederhana, yang jika dikatakan “SAK CUKUPE”. Sebuah pola hidup yang bersahaja dan tidak terlalu mengejar materialism dunia. Bagi orang Jawa, sandang, papan, pangan yang sederhana asalkan sudah . sebuah kearifan lokal yang sudah mulai dilupakan di negeri ini.
Nampaknya sifat “SAK CUKUPE” ini sudah mulai dilupakan oleh para pemimpin kita. keteguhan hati seorang pemimpin untuk berani menolak suap kebutuhan dasar (uang atau kekuasaan) dan lebih memilih memenuhi kebutuhan orang banyak yang dipimpinnya. Banyak pejabat-pejabat wakil rakyat yang awalnya mengobral janji-janji dan idealismenya, namun ditengah perjalanan ia malah dirubah oleh keadaan. Ia mencari penghidupan melalui jabatannya. Ini akibat ia belum atau belum siap menjadi manusia “SAK CUKUPE”.
Keteladanan seorang Agus Salim mungkin dapat dicontoh, sehingga Majalah Mingguan Tempo sampai mengangkat edisi khusus tentang kesederhanaan Agus Salim yang terbit pada medio Agustus 2013 kemarin. Dalam laporannya Agus Salim selama berjuang dan menjabat sebagai pejabat negara, tak pernah sekalipun memanfaatkan fasilitas negara agar hanya supaya bisa hidup layak. Rumah kontrakan yang sempit dan harus berbagi dengan kedelapan anaknya di rumah kontrakan yang sempit. Padahal sebagai salah satu arsitek kemerdekaan bangsa ini, sudah seharusnya beliau mendapatkan fasilitas yang layak dari negara. Tak banyak pemimpin yang bisa seperti ini!
Apakah masih ada elit politik ataupun mahasiswa sekarang yang mengambil jalan kesahajaan seperti yang diambil oleh Agus Salim yang lebih mengutamakan isi daripada tampilan luar. Kini jalan menjadi manusia yang “SAK CUKUPE” seperti yang dilalui Agus Salim itu sepi dilalui. Para pemimpin, ulama, ataupun figure publik lebih suka memilih jalan yang berlebih-lebihan.
Menjadi manusia “SAK CUKUPE” bukan merupakan sebuah tujuan akhir. Menjadi manusia adalah sebuah proses. Sebuah proses mengenali dan memahami diri sendiri. Ketika manusia telah mengenal dirinya dengan baik, seorang manusia dapat memimpin dirinya sendiri. Jika sudah sukses dengan itu, maka tak akan sulit untuk memipin orang lain, jikalau pun masih tak bisa seperti itu setidaknya manusia dapat memberikan makna pada hidupnya yang hanya sekali ini.
Cocoklah apa yang disebut Iwan Fals dalam sebuah lirik lagunya “…KEINGINAN ADALAH SUMBER PENDERITAAN.” Jika manusia terlalu mengejar keinginan yang tak sesuai kebutuhannya maka tak akan habisnya, ujung-ujungnya manusia menjadi budak keinginannya. Manusia yang manakah lebih membuat anda bahagia, kenyang sendiri atau lapar bersama-sama namun berjuang bersama dengan masyarakat lain untuk menanggulangi rasa lapar tersebut. Disinilah nalar kemanusiaan kita dipertanyakan?
Menutup tulisan ini ijinkan saya mengutip testimoni Soe Hok Gie, aktifis mahasiswa tahun 60an, yang mengomentari tingkah-tingkah mahasiswa yang masih belum bisa menjadi manusia “SAK CUKUPE” ketika berlangsung ritual ospek di kampusnya,
“MASIH TERLALU BANYAK MAHASISWA YANG BERMENTAL SOK KUASA. MERINTIH KALAU DITEKAN, TETAPI MENINDAS KALAU BERKUASA. MEMENTINGKAN GOLONGAN, ORMAS, TEMAN SEIDEOLOGI, DAN LAIN-LAIN. SETIAP TAHUN DATANG ADIK-ADIK SAYA DARI SEKOLAH MENENGAH. MEREKA AKAN JADI KORBAN-KORBAN BARU UNTUK DITIPU OLEH TOKOH-TOKOH MAHASISWA SEMACAM TADI.”