DARI SPANDUK HINGGA E-SPANDUK
Oleh Akhtur Gumilang*
Spanduk? Benda ini memang sangat dikenal sebagai media penyalur informasi, promosi, atau kampanye politik sekalipun. Bahkan banyak politikus-politikus besar dunia pun menggunakan manfaat dari sebuah spanduk demi tujuan tertentu. Seperti kita kenal bagaimana seorang Adolf Hitler mengisyaratkan identitas politiknya, partai nazi melalui spanduk-spanduk disekeliling jalan. Hingga saat ini pun, penggunaan spanduk tetap merajarela. Penggunaan spanduk memang tetap cara yang efektif guna menarik perhatian masyarakat.
Di abad 21 yang serba canggih ini, dimana hampir semua orang memiliki HandPhone (HP), dimana HP layar sentuh nan canggih sudah marak dipasaran, dan dimana akses internet sering kita jumpai di kafe-kafe atau bisa dengan modem. Tak pelak, justru penggunaan spanduk semakin membuncah terutama di persimpangan jalan raya. Di zaman digital (Digital Era), semua informasi sudah mudah didapat dengan Internet. Media sosial (Social Media), merupakan wadah penting dalam arus menyampaikan informasi, promosi, dan juga berbagai kampanye kepentingan. Dalam media sosial terciptalah sebuah tatanan masyarakat baru yang disebut dengan “masyarakat digital” (digital society). Masyarakat ini menandakan sebuah era dinamika sosial baru dalam abad modern yang tak perlu repot untuk langsung berkomunikasi secara verbal (langsung/bertatap muka), kita hanya perlu bertemu serta berinteraksi melalui media sosial, bisa melalui Facebook, Twitter, atau sejenisnya. Ruang dalam masyarakat ini, merobohkan batas-batas geografis dan administratif sebuah negara. Digital era memang memberikan angin segar, banyak tersedia berbagai alternatif secara digital tanpa berbentuk wujud seperti spanduk yang ramai di pinggir jalan.
Keberadaan dunia digital yang menjanjikan tak sepenuhnya menggerus segala hal yang bersifat konvensional, mulai dari diskusi warung kopi, berinteraksi verbal (langsung), hingga budaya berspanduk pun tetap marak, bahkan lebih dari biasanya. Jika dahulu spanduk perlu dipasang di daerah pusat keramaian, sekarang pun cara seperti itu tetap paling efektif, walaupun memasang spanduk di media sosial dirasa mudah, praktis, dan tak perlu dicetak. Hadirnya ruang digital memang tidak sepenuhnya mengurangi hasrat manusia untuk bertatap muka, berdiskusi, dan berinteraksi sosial. Karena aktivitas-aktivitas sosial perlu dipenuhi oleh seluruh manusia yang tak luput dari kehidupan sosial. Hal yang mendasar mengapa manusia merupakan mahluk sosial ialah ketergantungannya untuk dikenal. Setiap manusia perlu pengakuan dari manusia lainnya(eksternal), tak sekedar hanya pengakuan yang datang dari diri sendiri (internal). Abraham Maslow, seorang ilmuwan psikolog yang ahli dalam permasalahan kepribadian mengungkapkan dalam teorinya yang terkenal yaitu ‘teori hierarki kebutuhan bahwa, dalam setiap diri manusia terdapat lima hierarki kebutuhan. Pertama, fisiologis(rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan lainnya), kedua, rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik), ketiga, sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), keempat, penghargaan (rasa ingin dikenal baik dalam diri maupun luar), dan kelima, Aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri). Kelima kebutuhan tersebut sudah jelas menjawab bahwa manusia perlu menciptakan sebuah proses simbiosis sosial dengan manusia lainnya guna merealisasikan kelima kebutuhan diatas.
Pengakuan
Pengakuan menjadi kebutuhan penting. Untuk diakui atau dikenal, setiap orang memiliki modusnya masing-masing. Terutama dalam hal berpenampilan guna menarik perhatian masyarakat luas. Setiap orang selalu memiliki keinginan untuk berpenampilan menarik di hadapan masyarakat sosial agar dapat dikenal. Berpenampilan menarik pun diyakini memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa berpenampilan menarik adalah wujud merepresentasikan sebuah ekspresi yang muncul dari kesadaran nurani. Ada lagi yang merasa bahwa berpenampilan menarik harus disesuaikan dengan tuntutan zaman atau yang sedang ngehits dan ngetren. Kemudian terakhir, bahwa ada juga yang meyakini, berpenampilan menarik sebenarnya harus atas perintah agama atau aliran yang menghendakinya. Seperti dalam agama Islam meyakini bahwa, wanita yang berkerudung atau berjilbab (semua tertutup kecuali muka dan telapak tangan) tampak lebih menarik, serta di kepercayaan Suku Dayak kuno yang meyakini bahwa wanita berpenampilan menarik adalah wanita yang memiliki telinga semakin panjang, menjulur ke bawah. Semua hal tersebut adalah pilihan untuk memenuhi kebutuhan kita untuk diakui dan dikenal.
Tidak hanya di kehidupan nyata kita dapat menampilkan sesuatu yang ada dalam diri. Ruang tanpa batas, ruang digital pun memberikan kita kehidupan lain, diluar kehidupan nyata. Seakan hidup di dua dunia merupakan kalimat yang pantas di abad modern saat ini. Tak cukup pengakuan dari masyarakat sosial (real society), kita pun mulai membutuhkan pengakuan juga dari masyarakat digital (digital society). Sebisa mungkin berupaya beda lewat eksistensi. Di facebook (salah satu social media) misalnya, banyak orang berlomba-lomba membuat status (posting) yang lucu, unik, dan indah. lalu ada juga yang menggencarkan kepentingan lewat promosi ataupun propaganda. Bentuk pengakuan bahwa status tersebut dilihat dan diakui, bisa berupa banyaknya pengguna yang memberikan like atau comment. Istilah-istilah tersebut mungkin sangat tidak asing lagi. Namun dalam dunia digital, kebebasan sangat tidak terbatas. Bahkan sebagai pelaku tunggal dalam dunia digital pun, kita bisa berperan secara ganda atau lebih. Bisa menciptakan diri kita yang asli dan yang palsu dalam era digital, social media. Maka dari itu, tak sedikit kita melihat seseorang yang memiliki account facebook lebih dari satu. Tak hanya di facebook, aplikasi social media lain pun demikian. Ini merupakan fenomena yang menyeruak di antara kita.
Sifat yang “mengada-ada” memang sudah menjadi lumrah dalam digital society. Diri kita yang nyata, benar berwujud menjadi seperti fatamorgana yang “mengada-ada”. Akses tanpa batas menciptakan diri kita yang tanpa batas pula. Upaya mengimitasi dalam kehidupan nyata, tak kalah sebanding dalam kehidupan digital. Sebebas mungkin kita bisa “mengada-ada” suatu perkara. Euforia “mengada-ada” seolah menjadi rutinitas. Jadilah kita mahluk yang merasa ada, tapi tidak merasa nyata.
*Mahasiswa Universitas Brawijaya dan Anggota UAPKM-UB