MENGENANG TUJUH TAHUN WAHYU PRASETYA: PENYAIR YANG TIDAK TERKANONISASI SEJARAH

0
Fotografer: Muhammad Tajul Asrori

MALANG-KAV.10 Peringatan tujuh tahun wafatnya penyair Wahyu Prasetya menghadirkan banyak orang di Kafe Pustaka. Mereka duduk berdesakan namun dengan khidmat mendengarkan berbagai ulasan dari pembicara. Acara yang diselenggarakan oleh Pelangi Sastra pada Rabu, 19 Maret 2025 itu dipenuhi kekaguman terhadap penyair Wahyu.

Beberapa pembicara menceritakan Wahyu sebagai penyair yang tidak terkanonisasi dalam sejarah sastra Indonesia. Ajun Nimbara menganggap bahwa Wahyu memang salah satu penyair yang diperhitungkan di kotanya. Namun, ternyata Wahyu bernasib sama dengan kota itu. “Beliau secara proses kreatif, memang salah yang diperhitungkan di Malang. Tetapi beliau ternyata bernasib sama dengan nama kotanya, Malang,” jelas Ajun. 

Senada dengan pandangan tersebut, Yusri Fajar, orator kebudayaan pada acara itu, menjelaskan bahwa nama Wahyu memang terlepas dari kanonisasi sastrawan Indonesia. Ia berpendapat kanonisasi seperti itu memang seringkali menyisakan rumpang pada representasi dan penilaian akan kualitas karya seorang sastrawan. Yusri membela Wahyu dengan mengutip pendapat dari Umbu Landu Paranggi terkait pandangannya pada Wahyu. “Bagi Paranggi, Wahyu adalah penyair yang fenomenal,” ucap Yusri. 

Kanonisasi bukan tolak ukur untuk menilai puisi-puisi Wahyu buruk. Ajmal Fajar Sidiq beranggapan bahwa penilaian puisi bukan hanya tentang keindahan, namun juga sebagai laku hidup. Dan Ajmal menemukan hal itu pada tulisan-tulisan Wahyu. “Wahyu sering keliling terus menulis puisi. Bahkan dia memperhatikan masalahnya hari ini, misalkan masalah tambang, mas Wahyu juga menulis tentang dampak pernah kerja di tambang, gitu,” terang Ajmal. 

Tengsoe Tjahjono juga bercerita tentang hal serupa. Ia menganggap bahwa puisinya selalu lebih buruk dari Wahyu karena dirinya belajar berpuisi di kampus, sedangkan Wahyu belajar berpuisi dari jalanan. Tengsoe kagum dengan bagaimana Wahyu bisa belajar berpuisi dari jalanan. “Ternyata belajar puisi lewat panggung kuliah, jauh lebih lambat dibandingkan belajar dari jalanan. Itulah Wahyu Prasetyo,” kagum Tengsoe.

Penulis: Muhammad Tajul Asrori
Editor: Nadia Rahmadini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.