INDONESIA 2045: BUBAR DAN MENYISAKAN OMONG KOSONGNYA

Sama persisnya dengan jawaban salah seorang kawan yang kutanya soal masa depan Indonesia. “Menurut kalian negara ini di tahun 2045 bakal seperti apa?”, tanya Dosen mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia pagi itu. “Emang di tahun segitu Indonesia masih ada Mbak?”, pungkasku. Beliau sumringah, satu tahun yang lalu, belum ada efisiensi dan belum ada makan siang gratis.
Haqqul yaqin, wajah dosenku pada pagi itu akan sama sekali berbeda saat ini. Sang pecatan tentara telah menjadi pemimpin tertinggi, bersama wakilnya yang bermuka masam dan memuakkan. Semuanya rasa putus asa itu kini benar-benar nyata. Jangankan slogan “Indonesia Cemas 2045”, membayangkan negara ini masih ada pada tahun segitu saja tidak terbayang susahnya.
Kali ini, di bawah komando penculik itu, aku dan dosenku harus menelan pil pahit. Sebuah pil padat yang merupakan akumulasi omong kosong selama 4 bulan kepemimpinannya.
Sabda Kosong Pecatan Tentara
Seratus hari pertama—harusnya masa bulan madu rezim. Tapi yang kita saksikan bukan ciuman mesra pada demokrasi, melainkan tamparan telak pada akal sehat. Si pecatan tentara dengan seringai khasnya mengucapkan mantra sakti: “makan siang gratis untuk semua!” Dan kita, bangsa yang terbiasa menelan bualan politisi, kembali tersedak—kali ini dengan nasi penjara bernilai triliunan rupiah.
Lucu memang. Negara dengan utang menggunung tiba-tiba punya dana tak terbatas untuk membiayai perut anak sekolah. Program yang di zamannya si mertua autokrat disebut SD Inpres—diangkat-angkat oleh Esther Duflo hingga mendapat Nobel—kini disulap jadi proyek megalomaniak sang menantu. Bedanya? Yang satu membangun fondasi, yang satunya membangun panggung sandiwara.
Kurs rupiah limbung, harga kebutuhan pokok merangkak naik, tapi kantong-kantong kroni dipastikan tetap menggembung. Anggaran negara berhamburan ke rekening-rekening siluman. “Efisiensi” katanya, tapi yang efisien hanya metode pengalihan uang negara ke rekening pribadi. Terlalu naif untuk berpikir bahwa program ini murni kebaikan hati. Terlalu bodoh untuk menganggap itu sebuah inovasi. Terlalu tolol untuk menyebutnya ke-“bijak”-an.
Sementara itu, Danantara—nama yang begitu megah untuk sebuah perjudian dengan dana rakyat. Sovereign Wealth Fund? Lebih tepat disebut Suspicious Wealth Factory. Dikelola oleh barisan orang-orang yang kebetulan saja dekat dengan lingkaran kekuasaan. Kebetulan saja pernah menjadi tim sukses. Kebetulan saja punya hubungan darah dengan para oligark.
Terlalu banyak kebetulan untuk sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi marwah burung garuda. Dan lihat, seorang Tony Blair, mantan perdana mentri Inggris, seorang penjahat yang bertanggung jawab atas genosida Irak, dijadikan dewan pengawas Danantara. Iya, sudah seharusnya sesama penjahat HAM saling berjabat tangan.
Lihat saja bagaimana sang jenderal pecatan itu menyusun kabinet. Bukan berdasarkan kompetensi, tapi berdasarkan loyalitas. Bukan berdasarkan visi, tapi berdasarkan seberapa dalam mereka bisa membungkuk padanya. Ini bukan kepemimpinan, ini dinastisme berkedok demokrasi. Meneladani sang paman, Soeharto, tapi tanpa kecerdasan teknokratiknya. Mengambil semua sisi buruk Orde Baru, tanpa menyentuh sedikitpun kejeniusannya dalam membangun legitimasi.
Seratus hari pertama, dan sudah terlihat jelas: kita tidak sedang menuju Indonesia Emas, kita sedang meluncur ke jurang berbalut pita emas. Jenderal pesangon ini bermimpi menjadi pahlawan dalam buku sejarah, tapi lupa bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang bertahan, bukan oleh rezim yang lenyap karena keserakahannya sendiri.
Dan di lorong-lorong istana, bergema nyanyian paradoks. “Prabowo merakyat!” teriak para pendukungnya, sementara sang jenderal tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di pasar tradisional tanpa pengawalan ketat. “Prabowo peduli!” teriak para buzzer, sementara kebijakan-kebijakannya merampas masa depan generasi mendatang demi kepuasan momentil para kroni.
Puing-puing Omong Kosong Indonesia Emas
Apa itu Indonesia Emas? Fantasi basah para pejabat tua yang tak mampu lagi mendapatkan ereksi politik tanpa mengucapkan janji-janji kosong. Mimpi basah para teknokrat yang terlalu lama duduk di ruang ber-AC, jauh dari asap knalpot metromini dan bau got mampet di pemukiman kumuh Jakarta. Indonesia Emas adalah dongeng pengantar tidur yang kini berubah menjadi mimpi buruk berkelanjutan.
Empat bulan, dan kita sudah melihat bagaimana fondasi mimpi itu diletakkan: di atas pasir hisap korupsi dan nepotisme. IKN—Ibu Kota Neokolonialisme—yang dibangun dengan biaya mencekik leher rakyat, sementara sekolah-sekolah di daerah terpencil masih beratap bocor, dan kini bangunan dengan burung garuda rawan mangkrak. Makan siang gratis disodorkan, tapi infrastruktur dasar seperti toilet sekolah yang layak masih menjadi kemewahan.
Prioritas yang begitu jelas: tampak megah di kepala sendiri, sementara kenyataannya, negara ini membusuk perlahan-lahan. Belum lagi kasus korupsi pertamina baru-baru ini, jelas sudah penanda bahwa pemerintah yang konon mendapat mandate rakyat itu, telah menjelma batang tikus bau.
Katanya ingin meneladani Soeharto. Tapi yang ditiru hanya gaya otoritariannya, bukan kebijakannya yang berhasil. SD Inpres Soeharto membangun ribuan sekolah dengan infrastruktur yang mutakhir, bukan sekadar menyuapkan nasi ke mulut anak-anak tanpa memikirkan keberlanjutannya. Esther Duflo dan Abhijit Banerjee memuji program tersebut karena fondasi pendidikannya, bukan karena populismenya. Tapi bagi sang jenderal gemoy, substansi tak pernah sepenting simbol.
Ironisnya, sambil terus membangun citra sebagai pemimpin yang “tegas,” rezim ini menunjukkan kelemahannya dengan brutal. Setiap kritik dihajar lewat buzzer, setiap pertanyaan dianggap makar, kesenian—dari lukisan sampai music—dibungkam. Badan pemberantasan korupsi diretas, data pribadi jutaan warga bocor, tapi yang disalahkan adalah mereka yang mengkritik. Kebebasan berekspresi dikebiri demi “stabilitas,” seolah negara ini adalah balita yang akan tantrum jika mendengar kata “tidak.”
Indonesia Emas 2045? Yang kita lihat justru Indonesia Berkarat 2025. Prabowo dan Gibran—duo yang disatukan bukan oleh kesamaan visi, melainkan oleh kesamaan kepentingan menjijikkan—terus menjual mimpi sembari mengebiri masa depan. Mereka berbicara tentang kemandirian, tapi menjual diri pada oligarki. Mereka berbicara tentang kedaulatan, tapi membiarkan perusahaan multinasional mengeksploitasi sumber daya alam tanpa kendali. Mereka berbicara tentang kejayaan, tapi yang kita alami adalah kemunduran sistematis.
Lihat saja bagaimana IKN dibagun: dengan utang, dengan kontrak-kontrak mencurigakan, dengan perusakan lingkungan. Inilah monumen sesungguhnya dari rezim ini—sebuah kota hantu yang dibangun di atas penderitaan, yang kelak akan menjadi saksi bisu kehancuran bangsa.
Dan saat mereka memaksa kita untuk menelan lagi mantra “Indonesia Emas 2045,” ingatlah bahwa ini adalah distopia yang dikemas dalam bungkus patriotisme palsu. Sebuah masa depan di mana segelintir orang semakin kaya, sementara jutaan lainnya tenggelam dalam kemiskinan. Sebuah masa depan di mana kritik adalah kejahatan dan kepatuhan adalah keutamaan. Sebuah masa depan di mana Indonesia, sebagai ide dan cita-cita, telah lama mati, digantikan oleh korps zombi birokrasi yang hanya tahu mengucapkan “siap, laksanakan” pada perintah-perintah absurd dari atas.
Indonesia 2045? Mungkin hanya akan tersisa namanya saja—sebuah footnote dalam buku sejarah dunia, contoh klasik bagaimana sebuah bangsa dengan potensi besar bisa hancur karena arogansi para pemimpinnya. Dan ketika puing-puing itu tersisa, ketika omong kosong itu telah terurai menjadi debu, kita hanya bisa menatap dan bergumam: “Kiamat telah tiba”.
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Ilustrator: Az-zahra Aqilah Yasinisya Maulana