Sumber: goodreads

Penulis: Nawal El Saadawi
Penerjemah: Amir Sutaarga
Jumlah halaman: 202 halaman
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Di zaman yang telah modern ini, di mana isu tentang ketidakadilan gender yang disangka sudah tidak terdengar lagi, nyatanya masih merajalela, terlebih di negeri ini. Meski dibilang telah berpikir terbuka terhadap kesetaraan, berbagai kasus dan isu tentang diskriminasi hingga kekerasan seksual dengan korban seorang perempuan, masih terus terjadi hingga sekarang. Kekerasan, ketidakadilan, hingga terebutnya hak-hak perempuan masih dialami oleh perempuan-perempuan di Indonesia. Hal itu juga dialami oleh sang tokoh utama dalam novel ini, Firdaus. Seorang perempuan yang berani melawan ketidakadilan yang ia derita.

Firdaus dikenal dengan pekerjaannya sebagai pelacur di ibu kota. Meski dihadapkan pada pilihan yang lain, Firdaus merasa bahwa menjadi pelacur adalah jalan keluar yang lebih baik setelah mengalami berbagai penderitaan. Baginya, pilihan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem yang telah mengambil alih kebebasannya

“Tetapi ketika saya menjadi pelacur saya mempertahankan diri saya, melawan kembali setiap saat, tidak pernah lengah. Untuk melindungi diri pribadi saya yang paling dalam dari serangan lelaki.”

Pilihan tersebut tak ia putuskan dengan terburu-buru. Menjadi pelacur merupakan pilihan terakhirnya dalam menjalani kehidupan. Berbagai pengalaman pelik telah ia alami, hingga ia memutuskan pilihan tersebut. Ayah yang egois, kemiskinan parah yang melanda, paman yang manipulatif, menikah dengan pria kasar, dan lingkungan yang patriarki. Tak ayalmenjadi sebuah lingkaran setan yang terus dialami oleh Firdaus.

Tumbuh dalam keluarga yang jauh dari kata baik dan berakhir dengan diasuh oleh paman yang manipulatif, membuatnya memiliki pandangan bahwa perempuan sepenuhnya dalam kendali laki-laki, terlebih jika telah terikat dalam pernikahan. Ia pun telah mengalaminya sendiri, ditindas dan dihina oleh suami sendiri.  Suami yang dipilihkan untuknya, yang ia sendiri tidak mengenalnya. Hal ini membuatnya semakin yakin bahwa, perempuan  tidak diberi kebebasan bahkan untuk memilih pendamping hidupnya sendiri. Hingga puncaknya, dijebloskan ke dalam penjara. Di cap bersalah atas tindakan yang dilakukannya tanpa bukti.

Masuknya ia ke penjara hanya berdasar pada pengakuannya yang telah membunuh, tanpa bukti bahwa ia telah membunuh. Baru saja diborgol, ia telah mendapat gugatan untuk dihukum mati. Hukuman  yang bisa saja diringankan, namun ia menolak. Baginya, memohon untuk bebas dari hukuman itu sama saja dengan menyerah pada perlawanan ini. Menyerah pada sistem yang tidak adil ini. Penjara membuatnya sadar akan terbatasnya kebebasan para perempuan. Di mana masih terjadi hingga masa kini. Pembatasan berekspresi karena standar sosial, ketidakadilan dalam dunia kerja, hingga kekerasan seksual yang tak jarang berujung dengan kematian sang korban.

Menjadi pelacur adalah bukti perlawanannya. Berbuat dan bertingkah laku sesuai keinginannya, memakan makanan yang ia inginkan, membelanjakan uangnya sesuka hati, dan kegiatan lain yang tidak bisa ia lakukan selama menjadi istri dahulu. Tanpa takut akan dimarahi oleh suami. Tanpa takut untuk dipukul jika berbuat salah. Dan memiliki kendali penuh atas hidupnya sendiri.

Ditambah dengan lingkungan sekitar yang tampak abai dengan ketidakadilan ini, meyakinkan Firdaus betapa menyedihkannya kehidupan perempuan di luar sana. Harus bergelut dengan ketimpangan yang berdasar pada gender. Dan ironisnya dilakukan dengan sadar oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan ajaran agama, seperti yang suaminya lakukan padanya. Lingkungan yang masih menganggap perempuan hanya sebagai pendamping hidup laki-laki. Menganggap perempuan hanya sebagai objek. Hak-hak yang dibatasi. Kisah Firdaus adalah cerminan dari ribuan perempuan lainnya yang terjebak dalam sistem patriarki yang menindas, sebuah sistem yang harus segera diubah.

Melalui narasi monolognya, ia menjelaskan bahwa perempuan, masih jauh dari kata kebebasan. Dalam dunia profesi, pendidikan, bahkan kehidupannya sendiri. Dan itu semua telah dibuktikan Firdaus semasa hidupnya. Ketidakadilan bagi perempuan dan wanita masih terpampang jelas di sana.

Dalam bukunya, Nawal menceritakan kisah Firdaus dengan sangat baik. Sudut pandang Firdaus ditulis dengan detail dan emosional. Membawa pembaca ikut merasakan perasaan-perasaan Firdaus dari berbagai tragedi yang menimpanya. Namun memang dalam beberapa bagian, penggunaan diksi yang rumit masih sering ditemukan di dalam buku ini. Meski begitu, Nawal telah sukses membawa para pembaca ke dalam emosi yang dirasakan oleh sang tokoh utama, Firdaus.

Bahkan novel yang ditulis beberapa dekade sebelumnya ini, sepertinya masih relevan jika dibahas di masa sekarang. Bahwa sebuah praktik ketidakadilan gender masih, dan terus terjadi bahkan di masa yang dibilang modern. Perempuan yang kesulitan dalam meniti karier, masih dipandang hanya sebagai objek dan pemuas nafsu semata, terbatasnya pendidikan akibat norma budaya, bahkan pelimpahan tanggung jawab bila telah berumah tangga.

Perlawanan Firdaus merupakan salah satu dari sekian banyak aksi dalam proses untuk mendapat kesetaraan bagi perempuan. Kisahnya tak hanya menjadi catatan hidup, namun juga pengingat bahwa hak-hak perempuan, hingga masa kini, masih harus diperjuangkan. Menyadarkan adanya harapan, kesempatan untuk melawan ketidakadilan yang diterima. Menekankan bahwa tiap individu di dunia, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat haknya tanpa dibatasi oleh gender.

Penulis: Sofidhatul Khasana (anggota magang)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.