ADA “PETERNAKAN” DI INDONESIA
Animal Farm karya George Orwell adalah buku yang akan terlintas di kepala kita setelah melihat kasus politik bengis yang terjadi belakangan ini. Berfokus di Peternakan Manor milik Tuan Jones, diceritakan seekor babi bernama Mayor Tua, sang pencetus daripada pemberontakan yang menjadi akar masalah dalam buku ini, mengumpulkan seluruh hewan ternak yang ada di peternakan untuk menceritakan tentang mimpi dan ideologinya mengenai “kemerdekaan”. Dalam rapat itu pula ia menunjuk dua babi, Snowball dan Napoleon, sebagai penerusnya setelah ia tiada untuk meneruskan cita-citanya tentang “kemerdekaan” seluruh hewan ternak di peternakan tersebut.
Saat hari pemberontakan tiba, seluruh hewan bergotong royong melawan Tuan Jones. Tuan Jones kalang kabut, mengibarkan bendera putih lantas melarikan diri. Pemerintahan di peternakan kemudian diambil alih Snowball dan Napoleon yang berasaskan 7 perintah yang di antaranya menyatakan bahwa semua binatang setara. Nahasnya, Napoleon membenci Snowball. Usaha menyingkirkan Snowball dijalankan dan era kekuasaan diktator Napoleon dimulai.
Pada masa ini, Napoleon memaksa seluruh hewan untuk bekerja siang dan malam untuk membangun menara dari batu dan mengizinkan para babi lain untuk tidak bekerja, porsi makanan para hewan dikurangi sedemikian rupa sementara para babi berpesta pora di rumah Tuan Jones bersama Napoleon. Hanya keturunan Napoleon sajalah yang diperbolehkan untuk menimba ilmu sedangkan hewan lain berakhir buta huruf. Puncaknya adalah di saat peternak lain tahu bahwa Napoleon bekerja sama dengan seorang pengusaha selai yang memanfaatkan peternakan Tuan Jones untuk mendapatkan telur sebanyak-banyaknya. Sekali lagi perang antar manusia dan hewan pun tak bisa terelakkan yang berakhir dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan dan Napoleon yang sudah tak bisa lagi dikenali wujudnya.
Dari sinopsis singkat di atas, secara parsial, terdapat kesamaan dengan situasi politik di Indonesia belakangan ini dengan munculnya tabiat-tabiat Jokowi untuk mewariskan kekuasaanya kepada sanak familinya. Singkatnya, putusan MK mengenai syarat-syarat pilkada tahun ini yang membatasi umur pencalonan pejabat daerah 30 tahun saat pencalonan dan juga persentase kursi yang harus dimiliki oleh partai politik, coba dianulir oleh DPR.. Fakta, bahwa usaha DPR untuk menganulir aturan tersebut menguntungkan Kaesang Pangarep, putra bungsu dari Jokowi yang tengah menjabat sebagai ketua umum PSI untuk naik ke kursi pemerintahan semakin memperkeruh polemik yang terjadi. Berita mengenai betapa busuknya sistem pemerintahan Indonesia yang menggelar karpet merah pada nepotisme menjadi berita hangat nasional bahkan sampai ke telinga internasional.
Dan polemik ini sudah tergambar jelas di dalam buku Animal Farm. Bagaimana Napoleon yang tidak suka dengan gaya pemerintahan Snowball yang dirasa terlalu mengatur kemudian menggulingkannya dengan cara mengkambinghitamkan bahwa Snowball adalah antek-antek Tuan Jones dan mengusirnya dari peternakan untuk selama-lamanya. Napoleon kemudian perlahan mencuci otak binatang lain untuk menunjukkan supremasi kekuasaan yang berada di tangannya saat ini. Babi-babi pemalas dan arogan memimpin dengan perlindungan dari anak-anak anjing yang mereka lepas dari induknya lalu dilatih secara menyeluruh untuk menyerang siapapun yang babi-babi ini kehendaki atau dirasa melawan pemerintahan Napoleon. Familier sekali, bukan?
Peristiwa pemberontakan 12 Oktober antara para binatang dan Tuan Jones cukup menggambarkan peristiwa Reformasi Mei 1998 di Indonesia. Di mana rakyat berusaha untuk keluar, memberontak, dan berusaha untuk melakukan perubahan dari pemerintahan yang korup dan kejam menjadi pemerintahan yang ideal. Namun sayangnya, hasil manis dari revolusi di Peternakan Binatang dan reformasi di Indonesia tidak berlangsung lama. Di Peternakan Binatang, lambat laun gaya pemerintahan Napoleon setelah berhasil menyingkirkan Snowball menjadi sangat represif dan tidak peduli dengan jam kerja, masa pensiun, bahkan jatah makan para binatang. Di Indonesia, bahkan sampai sekarang kita masih bisa bilang bahwa cita-cita reformasi 26 tahun tersebut masih belum terwujud. Ditambah dengan bukti praktik-praktik gaya Orde Baru mulai terjadi lagi, seperti revisi UU TNI yang menjadikan prajurit aktif bisa menjabat di instansi sipil, korupsi besar, nepotisme yang terlihat jelas, dan masih banyak lagi.
Melihat peristiwa tersebut muncul dan tak ada reaksi besar yang terjadi, bukan berarti tak ada masyarakat yang peduli. Namun, masyarakat “cerdas” yang peduli tersebut lebih memilih untuk diam dan tidak membuat masalah dibanding melawan keputusan pemerintah yang akan berakibat pada karirnya di masa yang akan datang, persis seperti Benjamin si keledai.
Penulis: M. Hafizh Alfikri dan Mutia Arina Novelita