RUPA MANUSIA TINDAK TANDUK BINATANG

0
Opini Rupa Manusia Tindak Tanduk Binatang

Ah, biarkan saya menghela napas sejenak sebelum melangkah lebih jauh dalam tulisan ini karena rasanya campur aduk saat melihat kejadian akhir-akhir ini hingga saya memutuskan untuk menulis opini ini. Baik, saya mulai.

Pembaca sekalian yang terhormat tahu bahwa manusia dan binatang sebagai sesama makhluk hidup sama-sama menjalankan hidup masing-masing secara berdampingan. Memang secara biologi, manusia dapat diklasifikasikan ke dalam kingdom animalia sehingga manusia merupakan binatang. Namun, saya tidak membahas biologi di sini. Saya memulai tulisan ini dengan membahas akal budi di mana manusia memiliki akal budi dan hawa nafsu sehingga hal itulah yang membedakan manusia dengan binatang yang hanya memiliki hawa nafsu. Sayangnya, ada beberapa manusia yang lumpuh akal budinya sehingga tidak tahu atau mungkin tidak pernah menggunakan akal budinya. Miris ketika melihat seseorang memiliki rupa manusia, tetapi kelakuannya sama persis dengan binatang, sepertinya sudah tidak pantas disebut manusia. Selanjutnya, bolehkah saya menyebut seseorang yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini dengan binatang? Tentu boleh, wong saya yang nulis kok, ya terserah saya.

Berawal dari diselenggarakannya kegiatan-kegiatan di berbagai fakultas dan tingkat universitas untuk membangun dan mengabdi kepada masyarakat serta desa. Kegiatan-kegiatan ini memiliki nama yang berbeda-beda, mulai dari Mahasiswa Membangun Desa (MMD), Kuliah Kerja Nyata (KKN), Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), dan lainnya. Tentunya, sebelum menginjakkan kaki di desa, berbagai peringatan atau wejangan sudah disampaikan dari berbagai pihak kepada mahasiswa-mahasiswa ini. Terlebih, mahasiswa tidak hanya membawa namanya sendiri, tetapi juga membawa nama teman-teman satu kelompok, nama dosen pembimbing, nama prodi, nama fakultas, hingga nama universitas. Lagi-lagi disayangkan, kita kecolongan! Di tengah insan-insan yang dianggap berpendidikan ini, terselip binatang yang menyerupai manusia menggunakan almamater biru. Aduh, gimana mau dianggap berpendidikan rek, akal budi saja sudah tidak punya, ini lagi disuruh berpikir. Jelas tidak bisa!

Bukan ranah saya untuk menjelaskan kronologi kasus yang disebabkan oleh binatang itu, tetapi saya mempertanyakan bahwasannya anda ini ke desa untuk memenuhi SKS mata kuliah Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) dan membangun desa atau jelalatan mencari perempuan untuk menyalurkan jiwa tukang cabul? Mahasiswa sudah sepantasnya tahu tujuan mengikuti kegiatan KKN ini dan sudah tahu bagaimana bersikap dan bertindak selama berada di ‘negeri orang’. Di sini anda tamu, pendatang, dan orang asing yang sudah seharusnya mengikuti norma yang berada di desa dan tidak berbuat ulah. Bahkan, setiap adanya kegiatan KKN, seringkali mahasiswa sudah diwanti-wanti oleh warga desa agar mahasiswa tidak berbuat tindakan asusila.

Sudah bingung harus dibilang berapa kali bahwa perempuan bukan mangsa, bukan objek pemuas hawa nafsu, dan bukan barang yang dapat dipakai sesuka hati saja. Jikalau memang tidak bisa menahan birahi, lebih baik berjalan menggunakan empat kaki saja bukan dua kaki. Bahkan, saya juga tidak sudi jika harus melihat binatang berupa binatang dicabuli oleh binatang berupa manusia karena binatang berupa binatang memang kodratnya hanya memiliki hawa nafsu. Patutnya, binatang berupa manusia ini dikebiri saja sekalian! Dipukul? Diusir warga dari desa? Skorsing? Drop Out? Namanya binatang ya tetap binatang. Akal budi tidak muncul begitu saja. Percuma mau dihina menjijikkan, najis, tukang cabul, mesum, dan segenap kata tidak pantas lainnya jika pada akhirnya ia dapat secara liar berkelana menjadi binatang di lingkungan lainnya. Diberikan sanksi sosial? Hah, saya ragu. Setiap adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi, masih banyak victim blaming yang terjadi dan masih banyak manusia yang berteman dengan para binatang berupa manusia itu kok. Lingkaran setan yang entah kapan putus rantainya ini benar-benar mengancam keselamatan perempuan. Kami, perempuan, hanya mau memenuhi SKS mata kuliah dan membangun desa saja, tetapi mengapa harus ada rasa waspada dan berakhir jadi objek seksualisasi para binatang ini?

Saya yakin banyak perempuan yang mengalami catcalling saat berada di desa tempat KKN, tetapi hanya membiarkannya begitu saja. Berharap di kelompok bisa mendapatkan rasa nyaman dan aman. Namun, tidak ada yang pernah tahu di balik canda tawa yang dilontarkan apakah ada binatang berupa manusia tersembunyi? Akhirnya, kami perempuan pun harus tetap berhati-hati karena sedihnya pilihan kami hanya dua: melindungi diri sendiri atau diobjektifikasi sebagai mangsa oleh binatang berupa manusia ini. Lalu, para binatang ini ngapain? Mengapa tidak mencoba untuk mengendalikan hawa nafsu dengan menggunakan akal budi yang sehat? Mengapa lagi-lagi harus perempuan yang mengendalikan dirinya untuk selalu berhati-hati? Lupa, binatang tidak punya akal budi.

Ini baru kasus kekerasan seksual yang saya dengar, tidak tahu jika amit-amitnya terjadi kasus kekerasan seksual lainnya di kegiatan KKN ini. Namun, semoga saja tidak ada lagi kejadian seperti ini walaupun tak dapat dipungkiri pasti ada binatang berupa manusia yang masih pandai bersembunyi. Pesan saya, bagi perempuan-perempuan yang membaca tulisan ini: it’s never our fault to be a woman, never ashamed for being a woman, protect each of us at all cost and support everyone around you whose become a victim because no one deserve to be a victim of sexual assault.

Menutup tulisan ini, saya hanya memberitahukan kepada pembaca sekalian bahwa saya sengaja menjadikan pelaku sebagai sorotan utama pada tulisan ini karena kerap kali ketika terjadi kasus kekerasan seksual, masyarakat menjadikan korban sebagai sorotan utama padahal yang harus dijadikan sorotan utama adalah pelaku untuk menyebarkan awareness sehingga menghindari terjadinya kejadian yang berulang kali. Sementara korban tidak perlu menjadi sorotan utama karena pada dasarnya yang dibutuhkan korban adalah pendampingan dan perlindungan dari kita semua. Saya juga sengaja tidak menggunakan tanda kutip pada kata binatang karena di sini saya menganggap binatang bukan sebagai istilah, tetapi sebutan yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual. 

Penulis: Maria Ruth Hanna Lefaan
Ilustrator: Gracia Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.