Hidup yang Mekanis, Berujung Minim Analisis
“Setiap orang lahir tidak tahu mengapa, menjalankan hidup dalam berbagai kelemahannya, lalu mati secara tiba-tiba”
-Jean Paul Sartre-
Berpola pikir mekanis ialah suatu hambatan akan kemajuan baik bagi personal atau pun bagi masyarakat. Tidak sedikit orang yang saat ini cenderung hidup tanpa menganalisis apa yang mereka terima dan apa yang mereka lakukan. Hidup yang mekanis pula mengartikan bahwa kita kurang dalam memaknai hidup kita pribadi dan, secara tidak langsung, kita menyia-nyiakan hidup yang dianugerahkan kepada kita dengan cuma-cuma. Lantas, apa yang disebut dengan hidup mekanis? Mengapa demikian? Apa dampaknya? Dan bagaimana semestinya?
Hidup yang mekanis atau mekanisasi hidup merupakan hidup yang flat dan monoton. Ibarat seperti robot, ia akan melakukan apa pun yang telah diprogramkan oleh sang pembuat tanpa bisa mempertimbangkan atau bahkan menolak program yang telah diberikan kepadanya. Kalau sudah diprogram A, ya harus A, tidak bisa menawar B, C, atau bahkan Z. Sifat robot inilah yang sedang terjadi pada budaya kehidupan modern ini. Mereka menelan segala informasi dan melakukan berbagai hal tanpa menganalisis lebih lanjut apa yang mereka terima dan apa yang mereka lakukan. Asalkan anggapan umum benar dan patut dilakukan, maka benarlah hal tersebut. Asalkan pemberi informasi mempunyai gelar Doktor, maka benarlah informasi yang ia berikan. Asalkan orang yang lebih tua yang berkata, maka benarlah yang ia katakan.
Mengapa budaya sekarang demikian? Pada era digital informasi kini, kebanyakan orang cenderung menghargai nilai praktis dan pragmatis akan pengetahuan. Jadi, pola berpikir analisis, konsisten, dan mendalam akan dianggap hanya kegiatan buang-buang waktu saja: sia-sia, dan kurang kerjaan. Orang-orang saat ini menganggap bahwasannya apabila terdapat sesuatu yang dikatakan oleh guru, pemuka agama, orang yang lebih tua, orang yang mempunyai gelar panjang lebar, dsb. pasti akan diakui langsung kebenarannya. Padahal belum tentu. Ada juga ceramah dari seorang guru atau pemuka agama yang malah justru membawakan paham-paham sesat dan memerintahkan hal-hal yang salah, lalu berujung pada kerusakan. Orang-orang semacam itu seakan-akan mempunyai otoritas yang tinggi sehingga harus diakui kebenarannya.
Dampak dari mekanisasi hidup menjadikan kita terkungkung atau terpenjara di dalam anggapan umum yang belum jelas akan kebenaran dan ketepatannya. Budaya ini dapat mengikis kemampuan otak kita untuk berpikir kritis secara pribadi dan mengurangnya kegiatan berdialektika, seakan-akan menutup mata dari kebenaran. Budaya ini juga berdampak sangat fatal pada susunan dan keadaan suatu masyarakat. Mari kita intip ke belakang dari sisi sejarah umat manusia. Peristiwa sejarah yang kita jadikan pembelajaran yaitu peristiwa yang disebut Dark Ages atau Zaman Kegelapan, yang berlangsung kira-kira dari abad ke-8 hingga abad ke-15, di mana gereja mempunyai kuasa tertinggi atas segala hal yang menyentuh segala aspek kehidupan para masyarakat. Para masyarakat—yang disebut sebagai kelas proletar—menuruti saja apa kata gereja walaupun masyarakat tersebut dirugikan. Mereka tidak menimbang ulang perintah ataupun perkataan dari gereja. tdak mengkritisi, dan tidak merasionalisasikan. Kenapa bisa? Karena pada zaman itu para bangsawan disebut sebagai pilihan Tuhan atau titisan Tuhan, sehingga apapun perkataan dan perintah dari bangsawan sama saja dengan firman Tuhan yang harus ditaati. Padahal, sudah jelas perintah dan perkataan para bangsawan itu sama sekali tidak rasional dan merugikan. Salah satu contohnya apabila ada suatu pria proletar mempunyai istri yang cantik dan bangsawan menginginkan wanita tersebut, maka wajib untuk istri pria proletar itu diberikan pada bangsawan. Jika menolak, maka dikatakan bahwa pria tersebut akan masuk neraka karena menentang yang perlakuan dari pilihan Tuhan. Contoh lainnya pada Mahkamah Intuisisi di zaman itu. Di mana pada saat itu mereka membakar para perempuan dan menggantung laki-laki karena gereja menganggap bahwa perempuan ialah perangkap setan. Dan masih banyak ketidaknormalan yang terjadi pada Zaman Kegelapan berlangsung. Zaman Kegelapan merupakan suatu gambaran apabila berpola hidup secara mekanis. Mereka menurut pada apa yang dikatakan gereja. Walaupun ada juga tokoh-tokoh pada Zaman Kegelapan itu yang mencoba mengkritisi pihak gereja, namun berakhir tragis. Itulah mengapa dampak dari mekanisasi hidup pada masyarakat sangatlah buruk karena bisa mengantarkan struktur masyarakat yang rusak dan tidak terpelajar.
Dulu kala, Sang Mahaguru Filsafat bernama Socrates pernah berkata, “an unexamined life is not worth living.” Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak berharga. Menjalani rutinitas kehidupan tanpa mempedulikan prinsip-pronsip kehidupan merupakan hidup yang tidak berharga. Kita perlu menguji hidup kita sendiri, mulai dari pertanyaan siapa aku? Kenapa kok aku bisa dunia? Apa tujuan hidupku? Kenapa kok orang-orang melakukan kegiatan A? Dan masih banyak pertanyaan fundamental lain yang dianggap biasa. Budayakan dalam hidup kita untuk bertanya. Walaupun sudah ada jawaban dari anggapan umum, hal itu perlu ditanyakan kebenarannya ulang. Jika memang anggapan itu benar, maka kita akan lebih merasa mantap dalam menjalankan anggapan itu. Jika salah, maka carilah kebenaran itu. Kita harus mempunyai rasa ingin tahu (curiosity), rasa selalu heran yang tinggi. Orang yang tidak ada rasa ingin tahu ialah karena mereka menganggap segalanya biasa saja dan normal-normal saja. Einstein pernah mengatakan suatu sindiran, “Dia yang tidak bisa lagi heran dan terpesona, sebenarnya seperti orang mati. Matanya tertutup.”Hidup itu penuh dengan berlimpah-limpah pertanyaan. Dulu, Einstein dianggap sebagai anak yang autis pada masa kecilnya karena dia selalu banyak bertanya. Dia suka merenungi, menganalisis hal dengan fokus sesuatu yang ia ingin tahu. Tentunya, tanpa banyak pertanyaan yang ada pada dalam diri Einstein, maka tidak akan ada sosok Einstein yang terkenal pada zaman sekarang ini. Sifat mekanis sangat bertolak belakang dengan sifat yang penuh pertanyaan. Sifat mekanis menganggap semuanya normal-normal saja, sifat yang tanpa kita sadari merupakan sifat yang mengantarkan kita kepada kebodohan.
Maka, bagaimana semestinya?
“Hidup untuk bertanya, bertanya untuk hidup.” Itulah yang dikatakan oleh Prof. Fahruddin Faiz. Janganlah kita membuang hidup kita tanpa mengujinya, atau istilahnya melu alure wae (mekanis). Semua hal, apa pun itu, patut dipertanyakan, dianalisis, dan diuji. Sebuah pertanyaan merupakan awal dari gerbang pengetahuan. Terakhir, ada satu kalimat mutiara filsafat yang dikatakan oleh Mahaguru Socrates, “Hanya ada satu kebaikan: pengetahuan, dan satu kejahatan: ketidakpedulian.”
Penulis: Muhammad Febbyzio Damoesya
Ilustrator: M. Fitra Fahrur