Dirty Vote Pemilihan Organisasi Mahasiswa Menunjukkan Betapa Munafiknya Gerakan Mereka
Pagi itu salah seorang teman datang dengan wajah pucat pasi, pikirku dia masih tidak menerima fakta bahwa neoliberalisasi pendidikan berbentuk PTN-BH adalah hal yang sulit dibatalkan, rupanya tidak, dia ternyata resah dengan banner yang terpampang di Gerbang Veteran dan di depan gedung Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB), juga kampanye pemilihan terselubung di akun twitter (X) base kampus. Memang, waktu itu sedang musimnya pemilihan presiden mahasiswa di Universitas Brawijaya, dan aku tidak kaget jika dia resah nan mual ketika melihat banner besar yang menampakkan wajah paslon-paslon yang konon bakal menentukan masa depan Brawijaya bahkan dunia, sebab temanku memang alergi omong kosong.
Pacarnya menasehati, “Adalah wajar kontestasi pemilihan ketua Eksekutif Mahasiswa (EM), ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas maupun Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) seperti itu, sebab itu melatih mental mahasiswa untuk tangguh dan terbiasa dengan politik praktis, gausa pakai mual segala”. Oh tentu, sebagai orang yang tekun membaca karya Soe Hoe Gie dan diskusi sampai pagi, temanku tidak menerima alasan itu, “Iya, itu memang melatih mental mahasiswa, mental yang terbiasa menjilat dan berperilaku curang, mental yang narsis dan ekslusif,” imbuhnya. Wah bisa panjang dan sampai satru bahkan putus kalau perbincangan mereka itu dilanjutkan.
Agaknya ucapan Umar Bin Khattab yang sering dikutip di pengajian benar, “Bencana terbesar adalah ketidaksadaran akan terjadinya bencana”, perkataan ini sungguh relevan untuk membaca bagaimana masalah itu pada hakikatnya sudah selalu ada, hanya kita yang tidak menyadarinya. Fakta bahwa dalam kontestasi pemilihan ‘pejabat kampus’ Universitas Brawijaya, baik di tingkat Universitas maupun tingkat Fakultas terjadi dinamika yang tidak sehat, adalah suatu fakta ‘banal’ yang biasa. Tapi sadarkah mereka tentang fakta bahwa organ-organ mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa maupun Dewan Perwakilan Mahasiswa sudah bermasalah sedari bentuk bahkan kehadirannya. Permasalahan ini menjadi suatu paradoks, yang kemudian menjadi kontradiksi internal yang meniscayakan adanya permasalahan kompleks dalam setiap kontestasi pemilihan bahkan lebih jauh, menjadi masalah dalam kinerja keseharian organ tersebut.
Kontradiksi Internal Replikasi Negara dalam Organ Mahasiswa dan Pelampauannya
Secara sederhana, paradoks internal dalam bentuk organ mahasiswa itu dapat dipahami, mula-mula dengan pertanyaan “Mengapa mahasiswa-mahasiswa yang setiap saat melantunkan kritik kepada negara dengan residu idealis yang menggebu-gebu, justru melakukan dan mengulangi kesalahan yang sama dengan para pejabat di atas sana?”. Model organisasi intra kampus yang mengurusi mobilisasi keseharian mahasiswa atau yang biasa disebut Lembaga Kedaulatan Mahasiswa (LKM), seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), mencoba menjadi replika dari struktur negara, yang pimpinan-pimpinannya disebut sebagai “presiden” dan “dewan”, atau istilah akar rumputnya adalah “pejabat kampus”.
Model ini bermasalah, bukan sekadar karena LKM memunculkan modal sosial yang mirip dengan pejabat-pejabat pusat yang suka korupsi dan semacamnya, tetapi karena struktur kenegaraan itu memunculkan kontradiksi internal jika diterapkan pada struktur organisasi mahasiswa. Struktur kenegaraan seperti itu mengasumsikan bahwa mahasiswa adalah subjek politik, yang aktivitas kesehariannya adalah aktivitas politis. Penyebutan “kementrian” dalam ragam divisi di Eksekutif mahasiswa mengasumsikan bahwa kerja-kerja organisasi mahasiswa adalah kerja yang birokratis nan politis. Reduksi identitas “mahasiswa” lah konsekuensinya, model organ mahasiswa ala negara menjadi pisau bermata dua yang sungguh tajam, di satu sisi model ini membuat mahasiswa berlatih bagaimana menjadi ‘pejabat’ dan ‘birokrat’, di sisi lain model ini menjadi kuda troya yang merusak dari dalam, menghasilkan ekslusifitas semu, surplus narsisme, sampai reduksi identitas mahasiswa sebagai “subjek akademik” menjadi sekedar “subjek politik”.
Penandasan identitas “subjek politik” mengabaikan unsur spesifik yang paling melekat dalam status sosial mahasiswa, yaitu ‘kuliah’ dan aktivitas akademik serupa. Dengan kata lain, struktur organisasi mahasiswa yang mereplikasi struktur negara telah mengabaikan atau bahkan membuang identitas ‘subjek akademik’ yang melekat pada mahasiswa. Pengabaian ini berimplikasi pada munculnya kontradiksi demi kontradiksi dalam gerakan atau aktivitas organisasi sehari-hari. Salah satu kontradiksi tersebut adalah agenda pemilihan “pejabat kampus” mahasiswa, di mana kecurangan demi kecurangan ditemukan, saling fitnah dan saling caci maki, konflik kepentingan organisasi penyongsong perpolitikan, bahkan sampai ada buzzer politik.
Hamasiswa, Masalah Pemilihan, dan Pengkhianatan Gerakan?
Adalah Dirty Vote, suatu istilah yang pas dan merepresentasikan pemilihan EM, DPM, dan BEM Fakultas di Universtas Brawijaya beberapa waktu lalu. Istilah ini mewakilkan editorial LPM Kavling10 yang berjudul Distopia: Ombak Kecacatan Politik Pemilihan Presiden Mahasiswa dan terbit pada 27 November 2023 lalu. Keberadaan buzzer politik toxic seperti akun @let.poli.think dan @brawijaya_cerdas, ribuan suara di FIA yang diabaikan, paslon tunggal yang dikalahkan kotak kosong di FISIP, cacat administrasi calon BEM dan DPM di berbagai Fakultas, rebutan posisi ketua pelaksana pemilihan yang tidak sehat, culik-menculik calon wakil presiden di pemilihan EM Universitas, dan berbagai hal memilukan nan menjijikkan lainnya, sungguh merepresentasikan apa yang dikatakan Bivitri Susanti dalam film Dirty Vote, yakni “Untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor takperlu kepintaran, yang diperlukan cuma dua: mental culas dan tahan malu”.
Aktivis mahasiswa yang berteriak menolak kecurangan Pemilu 2024 tetapi justru mengulangi kecurangan serupa di dalam kampusnya, adalah sekelompok anak muda yang mengkhianati gerakan dan ideologinya. Kita perlu untuk memberi garis demarkasi yang tegas kepada mereka, tidakkah kita merasa hina jika disamakan dengan orang-orang seperti itu, mereka tidak pantas disebut “mahasiswa” dan lebih pas dijuluki “hamasiswa”.
Struktur Organ Mahasiswa Harus Diubah!
Aktivasi agensi mahasiswa sebagai subjek riset adalah solusi atas dilema ini. Sederhana saja, buanglah bentuk organ mahasiswa yang seperti negara itu, lalu bentuk ulang dengan berkaca pada sistem manajerial akademik, yang rutinitas hariannya adalah belajar, riset, dan melakukan inovasi. Oh tentu ide ini tidak mudah diterima, karena ada anggapan bahwa mahasiswa akan kembali ke menara gading, sebab bukankah tugas kita adalah merubah dunia ketimbang menafsirkannya? Barangkali apa yang dikatakan Zizek cukup relevan di sini, “Sebelum merubah dunia, kita harus terlebih dahulu selesai menafsirkannya”.Daripada aktivis mahasiswa itu tergesa-gesa ingin mengubah dunia tapi tidak paham bagaimana dunia bekerja, alangkah ‘revolusioner’-nya jika mereka belajar, lalu melakukan penelitian, memproduksi pengetahuan, dan menawarkan inovasi konkret tentang masa depan dunia yang lebih baik. Daripada aktivis mahasiswa mengulangi keburukan negara dalam organ-organnya—dari kecurangan pemilihan sampai konflik kepentingan—bukankah jauh lebih realistis jika mereka membentuk study club yang isinya adalah pembelajaran konsep-konsep mutakhir, kemudian memikirkan strategi mutakhir untuk membuat konsep itu dapat memiliki keberpihakan pada rakyat tertindas. Cukup sudah aktivis ‘hamasiswa’, cukup sudah kecurangan pemilihan, sudah saatnya mahasiswa memikirkan ulang posisinya dan berkontribusi pada kemenangan pergerakan rakyat tertindas!
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Ilustrator: Gracia Cahyadi