Ketika Sejarah Mencoba Mengulang Kisahnya

0

Dikisahkan, ia adalah raja yang zalim. Sri Maharaja Kertajaya atau yang dalam Pararaton Kertajaya dikenal sebagai Prabu Dandhang Gelis. Ia tergila-gila akan kehormatan dan kekuasaan. Karena kegilaannya, dengan sadar ia menyalahi adat istiadat yang berlaku.

Kertajaya ingin disembah oleh para pendeta dan brahmana. Ia tak segan-segan memerintahkan para prajuritnya untuk menghabisi para pendeta dan brahmana yang enggan menyembahnya. Para pendeta dan brahmana kocar-kacir, mereka mencari suaka di Tumapel, tepatnya pada Ken Arok.

Kertajaya begitu angkuh. Ketika mendengar Ken Arok akan menyerangnya, ia tidak mengacuhkannya. Baginya, hanya Syiwa yang dapat mengalahkannya. “Barangkali Kerajaan Daha baru akan kalah, kalau Bathara Guru sendiri yang turun dari angkasa dan menyerang Daha. Ya, Daha mungkin baru akan kalah,” ujarnya sesumbar.

Sayang, keangkuhannya tak cukup untuk menyelamatkannya. Ia dikalahkan Ken Arok. Sri Maharaja Kertajaya gugur sebagai raja terakhir Kerajaan Kadiri.

Sejarah turut mencatat kisah Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Raja Singhasari terakhir dan terbesar dari Wangsa Rajasa. Ia raja yang ambisius dan keras kepala. Mimpinya adalah untuk menguasai seluruh Nusantara. Para pejabat istana yang tak sejalan dengan mimpinya, ia singkirkan. Bahkan nasihat dari seorang mahamenteri, Mpu Raganata, tak juga ia indahkan.

Kertanegara berakhir tragis. Saat sebagian besar pasukan Singhasari berada di luar Jawa, Jayakatwang datang menyerang. Kertanegara beserta para pembesar istananya dibunuh ketika sedang berpesta pora.

Dan hari ini, sejarah sedang menulis sebuah kisah dengan seksama dan hati-hati. Tentang akhir masa kepemimpinan seorang raja yang tak kalah haus akan kekuasaan. Dengan kesadaran penuh, ia menyalahgunakan kekuasaannya untuk mencapai ambisinya. Raja tersebut tak lain dan tak bukan adalah Presiden Joko Widodo.

Jokowi memang tak lagi bisa untuk menjabat sebagai presiden. Namun, bukan berarti tak ada cara untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Sebagai gantinya, Gibran, putra sulung Jokowi, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo dalam pemilu 2024. Dan Jokowi menunjukkan keberpihakannya.

Senin, 22 Januari lalu, dalam agenda kunjungan kerja ke Salatiga, muncul tangan berkemeja putih berpose dua jari dari mobil yang ditumpangi oleh Jokowi dan istrinya. Dua hari setelahnya, Jokowi menunjukkan kertas bertuliskan ‘Pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Umum’ di hadapan wartawan. Ayat itu menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye. Sayangnya, aturan tersebut dikutip tak utuh sehingga rawan memicu kecurangan dalam pemilu.

Keberpihakan Jokowi pada salah satu pasangan calon, jelas mencederai pemilu. Dengan segala kewenangannya, Jokowi bisa dengan mudahnya menggerakkan aparat pemerintah untuk memobilisasi dukungan bagi pasangan calon yang ia dukung. Hal ini semakin ketara ketika tentara, polisi, perangkat desa, hingga pembagian bantuan sosial, semuanya dipolitisasi untuk mendongkrak elektabilitas Prabowo-Gibran.

Beberapa hari terakhir kita disuguhkan dengan pernyataan sikap civitas academica dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Semuanya serempak menyatakan keprihatinan atas jalannya demokrasi hari ini. Hal ini menunjukkan adanya keresahan terhadap persoalan etis di dalam kepemimpinan Jokowi. Jokowi seharusnya sadar dan segera berbenah untuk mencabut keberpihakannya, bukan malah memasang kaca mata kuda untuk menuntaskan ambisinya.

Barangkali Jokowi tak membaca kisah Raja Kertajaya dan Raja Kertanegara. Sebab jika ia membacanya, maka ia pasti tahu bahwa mengejar ambisi dengan cara-cara yang tak etis dan tak mengindahkan setiap masukan hanya akan berakhir dengan kehancuran.

Redaksi LPM Kavling 10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.