BASKARA TAK BERNAS
Suasana siang hari bagi seorang anak berusia 7 tahun biasanya terasa menyenangkan. Waktu berlarian mengejar layang-layang yang putus atau menikmati es serut milik Kang Amoy yang biasa keliling Desa Pandanrejo. Mungkin hanya Rio, bocah yang menghabiskan waktu bermainnya dipenuhi rasa takut untuk memberikan saksi di ruang dingin ini. Ya, ruangan ber-AC yang membuat bocah itu mual karena seluruh tatapan tak berhenti menghujam dirinya.
“Nak, apa kamu bisa mendengar suara saya dengan jelas?” ucap seorang pria dengan mikrofon di tangannya.
Rio tak berani menatap mata pria itu dalam waktu lama. Maka ia hanya melirik sekilas lalu fokus menggenggam tangannya yang terasa panas dingin. “Bisa,” jawabnya.
“Baik, Nak Rio. Nak Rio tenang saja, ya. Saya hanya akan bertanya satu dua hal dan Nak Rio bisa menjawab sesuai dengan apa yang Nak Rio lihat atau ketahui. Okey?”
Rio membalas dengan satu kali anggukan. Dia masih tidak nyaman dengan tatapan banyak orang, apalagi beberapa kamera yang tampak merekam dirinya.
Menyadari ketidaknyamanan Rio, petugas tersebut segera mendekati anak itu agar fokus indranya hanya ditujukan pada dirinya. “Baik, Nak Rio berumur berapa?”
“Tujuh.”
“Masih sekolah, ya? Kelas berapa?” Petugas itu sengaja membuka pertanyaan dengan lebih sederhana agar Rio tidak terlalu tegang dan bisa lebih tenang.
“Kelas satu,” ucapnya.
Ia mengangguk dengan senyuman hangat agar Rio tidak merasa terancam dengan keberadaannya. “Luar biasa sekali. Nak Rio sudah besar, ya? Sudah pintar dan pemberani kalau begitu. Bapak mau bertanya, Rio, apakah kamu tau perbedaan antara bohong dan jujur, Nak?”
“Tau, Pak.”
“Okey, kalau misalkan saya bilang kamu memakai baju putih, apakah itu jujur?”
Rio melirik ke arah orang-orang yang tampak berbisik, kemudian menjawab, “Jujur, Pak.” Apa yang dikatakan Rio benar karena saat ini anak itu sedang mengenakan kemeja berwarna putih.
“Nah, kalau saya sekarang bilang kamu memakai baju berwarna biru, apakah itu jujur?” tanya petugas itu lagi.
Rio otomatis menggeleng. “Enggak, Pak, bohong.”
“Okey ….” Senyuman petugas itu masih belum sirna. “Nah, kalau sekarang saya bilang mama kamu ada di ruangan ini apakah itu jujur?”
Rio menatap jemarinya sebentar sebelum akhirnya menatap petugas tersebut. Kali ini dia sudah lebih berani untuk membalas tatapan pria yang dari tadi bertanya padanya. “Bohong, Pak. Mama saya ada di penjara.”
Kali ini jawaban Rio tidak benar karena sebenarnya mamanya ada di dalam ruangan itu. Enam bulan ternyata begitu lama bagi seorang anak berusia tujuh tahun sampai tidak bisa mengenali ibunya sendiri.
Karena Rio tidak menyadari keberadaan mamanya, petugas pun kembali bertanya sembari menunjuk ke arah perempuan yang duduk dengan tangan terikat borgol, “Itu … perempuan itu … apakah kamu mengenali siapa perempuan itu?”
Rio mengikuti arah petugas itu menunjuk. Saat menyadarinya, dia terdiam sebentar. Dengan nada bergetar, ia menjawab, “Iya, Pak.”
“Siapa dia, Nak?”
“Mama … saya.”
“Nah, sekarang kamu tau mamamu ada di ruangan ini?”
“Iya, Pak.”
Setelah menyadari keberadaan mamanya, Rio tak lagi bisa membendung air matanya. Ia menunduk dengan mata terpejam. Berusaha sekuat tenaga agar tak ada air mata yang berhasil keluar karena katanya laki-laki tidak boleh cengeng. Namun ternyata usahanya gagal. Kejadian hari itu begitu menyakiti hatinya sampai setiap ia melihat mamanya sendiri, tangisnya pecah seketika. Di dalam ruangan itu, hanya tangis Rio yang memenuhinya. Semua orang terdiam dengan tatapan iba, sedangkan para petugas berusaha menenangkannya.
Semua orang pun menunggu hingga tangis Rio mereda sebelum melanjutkan persidangan.
Hal pertama yang ditunjukkan dalam persidangan tersebut adalah gambar yang ditulis sendiri oleh Rio. Gambar anak kecil yang tak begitu sesuai aturan, tetapi dapat dimengerti dengan jelas. Petugas pun mengeluarkan kertas gambar yang ditampilkan pada layar monitor pengadilan kepada Rio.
“Nak, bisa kamu ceritakan siapa yang ada di dalam gambar ini?”
Rio memandangi gambar buatannya. “Mama, kakak, dan aku.”
“Apa yang sedang mama lakukan?” tanyanya.
Suara Rio tampak tercekat sebelum menjawab, “Membunuh kakakku ….”
“Yang Mulia, tidak mungkin saya membunuh anak saya, darah daging saya! Tolong Anda pertimbangkan kembali kesaksian dari anak kecil!” sahut Rianna, mama Rio dan Rea.
“Tersangka Rianna, Anda belum dipersilakan bicara. Mohon untuk bersikap kondusif!” Ultimatum dari hakim membuat bibir Rianna otomatis bungkam.
Rio pun menjelaskan kesaksian yang ia miliki di hari itu bahwa dirinya melihat secara langsung kalau kematian Rea, kakaknya, bukan karena kecelakaan tak disengaja berujung tenggelam, melainkan murni ditenggelamkan sendiri oleh ibu mereka.
Petugas mengangguk paham. Kesaksian Rio masih konsisten sejak awal ia bersuara. Kejadian ini dimulai 6 bulan lalu ketika polisi mendapat telepon dari salah seorang wanita yang histeris melaporkan anaknya tenggelam di kolam renang rumah mereka. Tanpa menunggu lama, pihak medis segera datang untuk membantu, tetapi sayangnya setelah perjuangan selama 4 jam, nyawa Rea tidak dapat diselamatkan.
Hampir menutup kasus tanpa penyelidikan lebih lanjut, Rio yang ditemani kakek tirinya datang ke kantor polisi untuk menyuarakan apa yang dia lihat pada hari itu. Awalnya pihak polisi tidak mungkin menerima dugaan tanpa bukti. Ia masih sulit untuk membenarkan kesaksian Rio, tapi bukan berarti mereka mengabaikannya. Penyelidikan pun dimulai untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di hari itu.
Satu demi satu kepingan puzzle mulai ditemukan. Pertama, kenyataan bahwa Rea yang berusia 9 tahun merupakan saudari tiri Rio. Rea dan Rio adalah saudara beda ayah. Rianna pernah menikah dua kali dan bercerai dua kali. Kedua, Rea mengidap ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder yang merupakan gangguan mental yang menyebabkan anak sulit memusatkan perhatian, serta memiliki perilaku impulsif dan hiperaktif. Hal ini membuat hubungan Rianna dan Rea kurang baik karena dianggap anak itu terlalu aktif dan sering menyusahkan mamanya. Para tetangga yang ikut menjadi saksi juga memberikan keterangan bahwa Rianna sering menghukum Rea yang selalu membuat ulah.
Penyelidikan dilakukan begitu lama sampai 6 bulan karena belum juga ditemukan bukti kuat yang bisa membuktikan bahwa Rianna memang telah membunuh darah dagingnya sendiri. Bahkan kakek tiri Rio sempat dituduh sebagai orang yang dengan sengaja memanipulasi pikiran Rio agar menuduh mamanya karena dirasa apa yang dikatakan Rio hanya khayalan.
“Tersangka Rianna, kami menemukan bukti bahwa Anda pernah kehilangan anak juga sebelumnya. Anak pertama Anda saat Anda melahirkannya di usia 17 tahun. Apakah Anda mengingatnya?” tanya petugas yang berhasil menemukan jejak riwayat hidup Rianna.
“I—iya, saya sedih sekali kehilangan putra pertama saya. Riko … anak saya,” ucap Rianna yang tiba-tiba menunjukkan kesedihannya. Namun, entah mengapa, semua orang bisa merasakan kepalsuan dari kesedihan yang ia tunjukkan.
“Apakah Anda juga ingat penyebab kematian dari Riko yang berusia 16 bulan pada saat itu?”
“Saat itu saya meletakkan Riko di atas ranjangnya karena hendak membuang popoknya ke tempat sampah di depan rumah, tapi saat saya kembali ke kamar, Riko sudah tergeletak tidak bernyawa di atas lantai. Saya sangat sedih ketika mengingatnya sekarang.”
Keterangan yang diberikan Rianna begitu lancar tanpa hambatan. Tak ada kesan bahwa dia berbohong atau memanipulasi cerita.
Namun, setelah itu ada dua kesaksian yang berhasil memperkuat kesaksian dari Rio.
“Saya rekan kerja Rianna, perawat yang bertugas untuk menangani pasien anak kecil di Rumah Sakit Permata Bunda. Sering saya menjadi teman curhat Rianna dalam menceritakan kekesalannya pada putri pertamanya. Namun, satu kalimat yang paling saya ingat hari itu adalah ketika Rea mencoret mobil Rianna dengan spidol permanen. Kekesalan Rianna begitu memuncak sampai dia bicara dengan sadar kepada saya bahwa dia ingin sekali membunuh anaknya,” ucap rekan kerja Rianna.
Kemudian kesaksian kedua datang dari tetangga Rianna yang juga menjadi kesaksian akhir sebelum petugas menampilkan hasil penyelidikan akhir dan hasil autopsi. “Rea itu takut air. Dia anak yang takut dengan air, jadi tidak mungkin dia bermain air apalagi sampai tenggelam.”
Tiba-tiba Rio yang dari tadi terdiam, bersuara kembali. “Tangan mama,” celetuk Rio.
Petugas ingin menghentikan ucapan anak itu karena masih belum gilirannya bicara, tetapi hakim mempersilakan. “Tangan mama … menekan wajah kakak agar tetap di dalam air.”
“Jadi maksud kamu, kakakmu dalam posisi wajahnya menghadap ke atas ya, Nak?”
Rio melirik mamanya. Dia kembali menangis, lalu mengangguk.
Apa yang dikatakan Rio seperti kunci dari kasus ini karena hasil autopsi yang ditampilkan selanjutnya menunjukkan rincian bahwa pada sekitar kening Rea terdapat luka memar kebiruan yang polanya berbentuk menyerupai tangan. Hal ini sangat mendukung kesaksian Rio tentang bagaimana Rianna menenggelamkan anaknya.
Pada sore hampir malam, anak berusia 7 tahun yang seharusnya masih menikmati waktu berharganya bersama keluarga harus kehilangan kakak dan ibunya. Kakak yang tidak akan pernah bisa ditemuinya lagi dan ibunya yang harus di penjara seumur hidup atas perbuatannya sendiri.
Di dalam hatinya, Rio masih bertanya-tanya kapan ia dan ibunya bisa kembali menghabiskan waktu bersama dan menonton Avengers seperti janji sang ibu. Walau Rianna memiliki temperamen yang buruk, tetapi kedekatan dirinya dengan Rio cukup menjadi bukti bahwa sebenarnya dia menyayangi anaknya.
“Pak,” panggil Rio kepada pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu otomatis tersenyum untuk mendengar apa yang ingin Rio katakana.
“Apa nanti mama akan pulang? Mama sudah tidak di penjara lagi, kan?”
“Rio, anak pintar … Rio pasti sayang sekali ya sama mama?” ucap pria itu.
Rio mengangguk dengan tenang. “Rio sayang mama.”
“Kalau begitu, Rio harus belajar terus yang rajin. Rio harus tumbuh besar dan menjadi manusia yang baik. Nanti saat itu Rio bisa bertemu mama lagi. Okey?”
Rio tidak mengerti, mengapa bertemu mamanya harus melalui persyaratan panjang. Apa bertemu mamanya kini menjadi hal yang begitu sulit? Hati Rio sangat sakit. Sesaat setelah hakim usai menjatuhkan putusan, Rianna dibawa oleh beberapa polisi wanita untuk diantar menuju sel sementara sebelum dipindahkan. Dari situ Rianna tidak sengaja melirik Rio yang tak mengalihkan pandangan dari mamanya sama sekali.
Meski posisi mereka berjauhan, Rianna bisa memahami simbol tangan dan ejaan bibir Rio bahwa anak itu sangat menyayangi dirinya.
“Rio sayang mama! Nanti kita nonton Avenger bersama ya, Ma!”
Rianna otomatis menunduk, tak kuasa air matanya saat melihat binar mata dari putranya. “Maafkan mama, Nak ….”
Penulis: Kaysha Nazarina
ilustrator: Husnul Khotimah