TOEL-MENOEL PEJABAT ORMAWA BERUJUNG PEMANGGILAN

MALANG-KAV.10 “Baru launching sebulan lebih sedikit, sudah ada pemanggilan aja”. Kurang lebih seperti itu salah satu komentar yang nangkring di suatu unggahan DPM UB melalui kanal Instagramnya. Unggahan itu dipublikasikan pada 12 Maret 2023 dengan 2.000 lebih likes, angka yang jauh lebih banyak dibandingkan biasanya. Artinya memang ada pemantik sehingga menyebabkan angka 2.000 itu berdatangan.
Tulisan “Surat Pemanggilan Presiden EM UB” terpampang jelas pada unggahan itu. Isi unggahannya berupa surat pemanggilan kepada Presiden EM UB 2023 atas keterlibatannya dalam dugaan pemukulan yang dilakukan oleh fungsionaris EM. Judul itu lah yang menjadi daya sorot dan mengundang lebih dari 2.000 likes. Banyak orang yang mulai berspekulasi di kolom komentar, mendadak jadi ahli ramal: menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi, dan memberikan sarkas.
Selang beberapa hari, 19 Maret 2023, DPM UB kembali mengunggah surat pemanggilan yang ditujukan pada Kepala Badan Inkubasi Revolusi (Kabirev) EM UB, Emeraldy Setya Chalik. Sama halnya dengan sang Presiden, Emeraldy dipanggil karena adanya dugaan keterlibatan dalam dugaan kasus pemukulan yang sama berdasarkan keterangan terduga korban, yang pada saat itu kami sendiri belum mengetahui siapa korbannya.
Perlu dicatat, yang dipublikasikan oleh DPM UB ini semuanya masih bersifat dugaan, entah pelakunya, korbannya, atau bahkan kasus pemukulannya itu sendiri, dan dalangnya jika memang ada. Agar tidak dianggap mirip portal gosip yang hanya bermodal screenshot dari suatu unggahan, kami langsung mengonfirmasi hal tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, tentu saja pihak DPM, EM, dan terduga korban yang saat itu belum dapat diterka sosoknya.
Di tanggal yang sama, 16 Maret 2023, kami menghubungi Rifco Foseptin selaku Ketua Umum DPM UB dan Rafly Rayhan Al-Khajri selaku Presiden EM UB sekaligus pihak yang dipanggil dalam surat tersebut. Rafly memberikan respon lebih dulu kepada kami dibanding pihak DPM, sehingga wawancara berlangsung dengan Rafly lebih dulu pada 21 Maret 2023 di malam hari.
Pada saat itu, permohonan wawancara yang kami ajukan hanya dengan dirinya saja, tetapi sudah ada dua orang lainnya membersamai Rafly di tempat. Di situ ada Emeraldy yang juga diduga sebagai pelaku lainnya. Kami memang sudah berencana menghubungi Emeraldy untuk wawancara dengannya secara terpisah dari Rafly, tetapi Rafly berinisiatif mewadahi pertemuan kami dengan Emeraldy tanpa perlu kami minta. Ini adalah keberuntungan. Satu orang lainnya yang membersamai Rafly dan Emeraldy adalah terduga korban, yang awalnya kami tidak tahu itu siapa. Tak perlu lagi menerka, sudah jelas di depan mata.
Kami pun duduk dan mulai mendengarkan kronologi yang diceritakan. Sebagai awalan, Rafly langsung mengonfirmasi bahwa sebenarnya ia, Emeraldy, dan terduga korban tidak terlibat kasus apa pun. Hubungan ketiganya baik-baik saja, katanya. Dalam ceritanya, Rafly menjelaskan bahwa hanya terjadi kesalahpahaman yang berujung pada pemanggilan. “Yang dianggap pelaku itu kita berdua (Rafly dan Emeraldy, red.) dan yang dianggap sebagai korban, tuh, ini (menunjuk terduga korban), tapi sebenernya nggak ada korban, nggak ada pelaku,” ungkap Rafly yang diikuti oleh angguk-anggukan kecil dari Emeraldy dan terduga korban, tanda membenarkan omongannya.
Rafly bercerita bahwa kronologi diawali dari candaan kecil di sebuah kopi-an, saat itu hanya ada mereka bertiga. Topik yang sedang mereka bicarakan ialah mengenai seruan aksi terhadap penolakan gelar Honoris Causa kepada Erick Thohir. Terduga korban buka suara melengkapi cerita yang Rafly sampaikan. Ia bercerita bahwasanya ia mendapatkan informasi kalau pengawalan terhadap Erick Thohir ini bersifat ketat yang melibatkan banyak aparat hingga mengorbankan mahasiswa.
Dari hal itu, terduga korban nyeletuk, dalam konteks menantang aparat, secara bercanda. “Kalau dipukuli aparat pun aku nggak takut. Dipentung pun aku nggak takut,” ucap terduga korban di kopi-an itu. Menggapai celetukannya, Emeraldy membalasnya dengan guyonan pula. “Yowes, Pres. Coba ae. Pukul ae,” itu yang diucapkan Emeraldy kepada Rafly kala kronologi berlangsung. Katanya simulasi dipukuli aparat. Menanggapi guyonan Emeraldy, Rafly melontarkan sebuah “pukulan” kepada terduga korban. Kata Rafly, “pukulan” itu bukan main fisik dan tidak seharusnya disebut sebagai pukulan. Dirinya, Emeraldy, dan terduga korban pun menolak jika candaan itu disebut sebagai sebuah pemukulan. Mari kita sepakati untuk menyebutnya sebagai sebuah toel-an saja.
Guyonan di kopi-an itu masih terus berlanjut yang diikuti oleh spontanitas dari Emeraldy. Ia pun melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan oleh Presidennya itu, memberi pukulan kecil atau toel-an kepada terduga korban. Sesudah adegan toel-menoel itu berlangsung, muncul gelak tawa di antara ketiganya karena bagi mereka itu hanya canda-candaan di kopi-an saja. “Seperti kayak kakak-beradik. Main gelut-gelutan gitu,” papar Rafly. “Iya, kayak temen-temen gitu aja,” tambah terduga korban tanda memvalidasi jawaban Rafly.
Rafly, Emeraldy, dan terduga korban saling menambahkan cerita satu sama lain untuk disampaikan ke kami. Saling potong-memotong pembicaraan pun terjadi saat salah satu di antaranya sudah mulai terlihat kebingungan menyusun kalimat. Mereka bertiga bahkan melakukan reka ulang adegan dari kronologi tersebut tepat di depan kami secara langsung. Reka ulang adegan yang mereka tunjukan kepada kami memperlihatkan Rafly menoel bagian pipi terduga korban dan Emeraldy menoel bagian pinggir perut terduga korban.
Hingga pada akhirnya, adegan toel-menoel itu ditafsir negatif oleh salah satu orang yang akan menjadi tokoh baru dalam tulisan ini, yaitu pelapor yang membuat laporan ke pihak DPM. Awalnya kami bertanya-tanya dari mana pelapor bisa mengetahui kejadiannya, sedangkan hanya ada mereka bertiga saja di kopi-an itu. Namun, cerita tetap dilanjutkan.
Ternyata pelapor mengetahui adegan toel-menoel itu dari teman terduga korban. Agar lebih mudah, mari kita sebut teman dari terduga korban ini sebagai Mawar. Mawar merupakan teman satu kediaman terduga korban.
Setelah asik bertukar canda-tawa di kopi-an, terduga korban pulang ke kediamannya. Sampai di tempat, ia merasakan tidak enak badan yang membuat ia bercerita kepada Mawar itu. Ia menceritakan bahwa dirinya sempat menerima toel-an dari Rafly dan Emeraldy di kopi-an. Merasa khawatir dengan toel-an itu, Mawar menyarankan terduga korban untuk melakukan pengecekan ke rumah sakit.
Terduga korban sempat menolak karena ia merasa, “Yaudah, lah, ini mah cuma bercandaan.”. Namun, berangkat dari kekhawatiran Mawar dan dirinya sendiri pergi ke rumah sakit. Sampai melakukan rontgen katanya. Ia melakukan itu semata-mata untuk memastikan bahwa tidaklah mungkin sebuah toel-an membuat orang masuk rumah sakit. Rupanya sekhawatir itu ia dan Mawar akibat adegan toel-menoel tersebut.
Selepas dari rumah sakit, terduga korban memberi penjelasan kepada Mawar, berdasarkan keterangan dokter, bahwa kondisi tak enak badannya itu hanya disebabkan karena perutnya yang kosong akibat belum diisi makanan, bukan karena hal lain. Mawar memahaminya dan masalah selesai. Mereka sepakat bahwa hal ini tidak perlu diperbesar. Namun, Mawar terlanjur bercerita kepada karibnya mengenai kejadian ini, di mana karib Mawar ini lah yang pada akhirnya menjadi tokoh dalam cerita sebagai pelapor. Berbeda dengan Mawar, pelapor menafsirkan cerita Mawar sebagai sebuah penganiayaan hingga membuat dirinya melaporkan adegan toel-menoel itu kepada DPM.
Setelah bercerita hingga reka ulang adegan kronologinya, Rafly, Emeraldy, dan terduga korban, meyakinkan bahwa tidak ada yang disebut sebagai penganiayaan. Mereka bertiga mengucapkan itu cukup sering selama kami berbincang. Selain kronologi, kami pun fokus untuk mengulik berdasarkan perspektif terduga korban. Persis dengan cerita Rafly dan Emeraldy, terduga korban tidak merasa dirinya sebagai korban dan memang tidak ada pemukulan apapun yang terjadi, kata mereka.
Mereka melihat dugaan kasus ini terjadi hanya karena salah penafsiran dari pelapor. “Itu tangan Emeraldy segede ini, loh. Kalau pun beneran dipukul, saya sudah mati hari ini. Sudah nggak bisa jalan, mungkin tulang rusuk saya patah,” pungkas terduga korban sambil menunjuk tangan Emeraldy. Masih buka suara, terduga korban mengaku dirinya akan memberikan pukulan balik kepada Rafly dan Emeraldy jika pemukulan itu memang benar terjadi. “Kalau mereka serius mukul saya, ya saya pukul balik. Saya beneran nggak takut orangnya. Beneran. Saya gak ada merasa menjadi korban. Ada kerugian apa pun saya gak merasakan hal itu,” tutur terduga korban sambil meyakinkan kami.
Itu lah rangkuman cerita dari sudut pandang mereka bertiga yang dipaparkan kepada kami. Tepat sekali esok harinya, 22 Maret 2023, DPM baru saja menyanggupi permohonan wawancara kami setelah 7 hari kami hubungi. Berbincang lah kami dengan Ketua Umum DPM UB itu, Rifco.
Sama halnya saat kami bertemu dengan Rafly, Emeraldy, dan terduga korban, kami pun meminta Rifco untuk menceritakan kronologi yang ia terima dari pelapor. Tujuannya untuk mencocokkan cerita dari kedua pihak. Sayangnya, Rifco menolak untuk bercerita. “Kalau sejauh ini kronologi lengkapnya itu belum bisa saya sampaikan karena memang ada keterangan-keterangan yang berbeda, dan tentu masih kami kaji,” tukasnya. Keterangan-keterangan yang berbeda ini sepertinya yang membuat kelanjutan dari surat pemanggilan itu belum terdengar suaranya lagi, masih diam-diam saja.
Hanya sedikit yang Rifco sampaikan. Rifco hanya menegaskan kepada kami bahwa dugaan kasus pemukulan ini masih dalam tahap penyelidikan, belum bisa memberikan vonis apa pun. Sampai saat ini, ia dan pihaknya masih mau mempelajari secara objektif dari keterangan-keterangan yang didapat dan melakukan pemeriksaaan lanjutan kepada pihak-pihak yang terduga terlibat. Baru nantinya DPM bisa mengambil sikap untuk dinyatakan di siaran pers. Mengikuti apa yang dipaparkan Rifco, artinya publik hanya bisa menunggu hingga proses pemeriksaan ini selesai, walaupun tak tahu sampai berapa lama lagi.
Dugaan kasus ini memang sudah tidak segaduh 12 Maret lalu, tetapi pihak Rafly dan Emeraldy sebagai pihak terduga pelaku, serta terduga korban yang mengaku bukan korban sebenarnya mengharapkan DPM dapat segera membersihkan kegaduhan ini alias mengonfirmasi ke publik mengenai kelanjutannya. “Karena DPM yang melempar ke publik, maka DPM yang harus bertanggung jawab untuk membersihkan di publik,” tukas Rafly kala itu.
Penulis: Laras Ciptaning Kinasih
Kontributor: Syadza Nirwasita
Illustrator: Adilah Amanda
Editor: Sifin Astaria