KMS CATAT BEBERAPA KEJANGGALAN DALAM SIDANG KANJURUHAN
Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menyampaikan hal-hal janggal dalam sidang Kanjuruhan yang disampaikan melalui konferensi pers, Senin (27/2) lalu. Pada konferensi yang diadakan di gedung PCNU Kota Malang tersebut, Daniel Siagian, sebagai perwakilan dari LBH Surabaya Pos Malang, beserta perwakilan lain juga menyampaikan beberapa fakta persidangan lainnya.
Kejanggalan pertama adalah adanya pembatasan terhadap media untuk menyiarkan sidang secara langsung. Ketentuan Acara Pidana sidang Kanjuruhan telah menegaskan bahwa persidangan dilakukan secara terbuka untuk umum. “Kami menilai hal tersebut merupakan tindak pembatasan atas kebebasan pers dan hak publik dalam melakukan pemantauan persidangan,” ujar Daniel dalam konferensi tersebut.
Pengalihan proses pengadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya adalah hal janggal lain dalam sidang Kanjuruhan yang dicatat oleh Tim Pemantau KMS. Dalam catatan itu juga dituliskan bahwa tidak seharusnya persidangan dialihkan ke PN Surabaya dikarenakan tempat (locus delicti) tersebut berada di wilayah hukum Kabupaten Malang. “Usulan Formkopimda Malang untuk memindahkan sidang ke Surabaya,” jawab Daniel ketika ditanya mengapa sidang dialihkan.
Perwira aktif anggota kepolisian (Bikdum Polda Jawa Timur) sebagai penasihat hukum dari tiga polisi yang menjadi terdakwa, yaitu AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Ahmadi. Hal tersebut melanggar Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Pasal 16 Undang-Undang No. 02 Tahun 2002 tentang Polri. “Pada dasarnya kepolisian tidak berhak memberikan pembelaan hukum bagi anggota polri, karena menimbulkan konflik kepentingan,” terang Daniel setelah membacakan poin kejanggalan nomor tiga.
Tim pemantauan KMS terhadap sidang Kanjuruhan juga mencatat bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan penasihat hukum lebih banyak menghadirkan saksi dari pihak kepolisian, baik dari jajaran Polres Kabupaten Malang sampai Polda Jawa Timur. Sehingga keterlibatan keluarga korban, korban dan saksi mata dari suporter sangat minim.
Dari puluhan saksi yang diperiksa, hanya ada satu keluarga korban yang dihadirkan dalam persidangan tersebut, yaitu keluarga korban inisial DA. Itu pun, “Saksi korban hanya memberikan kesaksian tidak lebih dari tiga puluh menit,” ujar Daniel.
Pasifnya perilaku hakim dan JPU juga menjadi bagian yang dicatat sebagai hal janggal dalam sidang Kanjuruhan. Dalam persidangan itu, disebutkan dalam konferensi pers tersebut, hakim cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil dari pernyataan saksi dalam pembuktian. “Tim pemantauan juga menemukan bahwa hakim anggota tertidur pada saat persidangan,” tambah Daniel.
Selain hakim, JPU juga dinilai pasif dalam menggali dan menguji kebenaran. JPU hanya menanyakan hasil autopsi kedua anak keluarga korban, tetapi tidak menanyakan kausalitas dari kematian korban. “JPU juga hanya menanyakan apa yang ada di BAP tanpa menelusuri lebih dalam,” beber Daniel setelah menyampaikan poin terakhir kejanggalan dalam sidang kanjuruhan.
Masih dalam catatan KMS, JPU menuntut dua terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno enam tahun delapan bulan penjara. Sedangkan tiga terdakwa lain JPU hanya menuntut tiga tahun penjara. KMS menilai bahwa tuntutan itu tidak sebanding dengan banyaknya korban dalam tragedi Kanjuruhan. “Tuntutan tersebut sama sekali tidak mencerminkan Aspek Hak atas Keadilan bagi korban dan keluarga korban,” ujar Daniel membacakan hasil temuannya.
Penulis: Moh. Fajar Izzul Haq
Editor: Dwi Kurniawan