KALA PENGEMIS DAN PENJUAL JAJANAN CILIK ‘HANTUI’ KEAMANAN UB
Kalau ada waktu luang ketika lapar dan dahaga menghampiri, sempatkan diri anda untuk ke Creative Land. Sembari menunggu pesanan datang, jangan heran kalau tiba-tiba ada segerombolan anak menghampiri anda dengan wajah yang kadang memelas, kadang pula mengganas. Tapi yang jelas, tujuan mereka hanya satu. Anda beri mereka uang.
MALANG-KAV.10 Creative Land (CL) sebagai salah satu destinasi penjajahan kuliner di Universitas Brawijaya (UB) tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi sebagian orang. Dua anak perempuan yang ramai diperbincangkan menjadi salah satu faktor perasaan risih dari konsumen mulai mencuat. Mereka mengemis dan berjualan dengan sesekali memaksa, ngambek, mencubit, bahkan merampas hak makanan milik konsumen.
Si-Kecil yang Meresahkan
Kebijakan UB sebagai kampus wisata menjadikan UB terbuka bagi siapa pun dengan kepentingan apa pun. Setidaknya begitu yang saya dengar dari Mohammad Najmudin selaku Kepala MAKO UB, Senin (20/2) lalu. Namun, pengecualian tetap berlaku sebagai peringatan yang jelas terhadap larangan pengemis, pengamen, pemulung, dan penjual untuk masuk ke area UB. Tentu saja, sebuah larangan tanpa sanksi yang tegas tidak memberi efek jera yang menohok pelaku sehingga keberadaan jalan tikus yang tidak terjaga satpam menjadi gerbang masuk utama yang mereka perhitungkan.
“Kadang mereka masuknya tanpa sepengetahuan kita dan di UB pun banyak jalan-jalan yang bukan jalan utama, seperti di yang arah Pandjaitan, kemudian di jalan-jalan tempat jalan kaki kan kita gak back up ke sana juga,” lanjut Najmudin. MAKO selaku pihak keamanan bertugas mencurigai siapa pun dan memantau keliling area UB selama 24 jam tanpa henti. Sayangnya, keterbatasan sumber daya yang ada menjadikan tidak seluruh wilayah UB selalu berada di bawah pengawasan pihak MAKO, pun dengan jumlah personel yang minim membuatnya tidak mampu stand-by di satu titik saja untuk memberikan pengawasan. Diperparah dengan kinerja keamanan yang kurang maksimal sebab keberadaan sarana prasarana yang kurang memadai.
Salah satu area yang seringkali luput dari sterilisasi keberadaan pengemis, pengamen, pemulung, serta pedagang ada di CL. Mirisnya, terdapat pengemis yang masih di bawah umur turut andil memeriahkan lingkungan tersebut. Keberadaan anak-anak ini dikonfirmasi oleh Najmudin sebagai dua pengemis tetap yang berasal dari penampungan pemulung yang ada timur jembatan Soekarno-Hatta. “Ada dua anak cewek (pengemis, red.). Kira-kira kelas 2-3 SD. Biasanya pakai amplop nanti ditulis ‘minta uang untuk beli makan’, tapi yang satu dia jualan tapi tetap aja minta-minta belikan makanan atau minuman,” tutur Nur selaku penjual makanan di CL, Selasa (21/02).
Keberadaan dua anak pengemis di CL mulai menjadi perbincangan dengan konotasi negatif ketika tindakan mereka mulai menimbulkan keresahan konsumen. Hal ini dibuktikan langsung dengan pernyataan Rizky, mahasiswa FTP angkatan 2019 pada Senin (20/2) yang mengatakan bahwa ia cukup risih ketika pengemis di bawah umur tersebut sering melancarkan aksi meminta-minta. Keterangan lain saya dapatkan juga dari seorang penjual lain bernama Widyo. “Kalo yang jual kue itu agak nakal. Misal ada orang minum, minumannya langsung diminta, lalu diminum. Nanti kalo nawarin dagangan misal gak mau dia ngambek. Gitu itu kadang mereka mencubit-cubit. Kan risih ya, mau gak mau entah itu ikhlas apa gak akhirnya kebanyakan ngasih,” keluhnya. Tidak hanya mengemis, anak kecil tersebut juga beberapa kali tertangkap basah mengambil barang di dasbor sepeda motor.
Adu Strategi dan Tantangan
Berdasar penuturan para penjual di kantin CL, dua pengemis di bawah umur ini terkadang sejak pagi menjalankan aksinya di wilayah tersebut selama seharian. Tak sendirian, beberapa kali mereka terlihat beristirahat di depan GOR bersama seorang ibu yang setelah saya telusuri, tidak seorangpun dari pihak MAKO, kantin UB, penjual, bahkan mahasiswa mengetahui identitas si-ibu. Para penjual di kantin beranggapan, tidak menutup kemungkinan sosok ibu tersebut sengaja menyuruh anaknya untuk meminta-minta kepada mahasiswa, sebab mahasiswa akan lebih hibah kepada anak kecil daripada orang tuanya.
Sejauh ini tindakan yang dilakukan pihak MAKO untuk menjaga keamanan serta ketertiban pengemis di area CL hanya dengan melakukan pengusiran. “Pernah saya tantang, persempit jalan masuk ke UB, bisa gak? Gak bisa. Yang protes siapa? Karyawan sendiri, pimpinan sendiri. Tapi sebenarnya mereka gak tahu, bahwa ini untuk mengantisipasi yang kita tidak inginkan. Makanya sekarang semakin tak longgarkan,” jelas Najmudin lantang.
Esoknya, Selasa (21/2), saya bertemu Syaifu selaku manajer operasional Kantin UB. Ia menerangkan apabila pihaknya menemukan permasalahan tersebut di lapangan, mereka akan langsung menghubungi pihak MAKO karena dirasa pihak tersebutlah yang memiliki kuasa penuh atas tindakan yang akan diberikan oleh pengemis tersebut.
Tindakan dari pihak kantin UB yang harus melaporkan terlebih dahulu setiap terjadi kejadian yang kurang mengenakkan itupun disambut umpan balik dari MAKO yang menegaskan seharusnya jika CL memiliki pengelola, alangkah baiknya pengelola melakukan aksinya terlebih dahulu. Jika memang tidak mampu barulah memanggil pihak MAKO.
Pihak MAKO melakukan kontrol keamanan di CL dengan berkeliling namun tetap fokus utamanya adalah sepeda yang di parkir depan CL. Menurut Najmudin, “Tetap kita koordinasikan ke CL, tolong kalau ada pengemis, ayo kabari kami. Nanti kita kirim petugas ke sana. Jadi tindakan yang kita lakukan ya preventif. Jangan sampai kita menyakiti mereka. Husnudzon saja, kadang beliau para pengemis itu berdoa, terus doanya dikabulkan pada saat itu, dia minta doa jelek sama kita, terus sama Allah dikabulkan, bagaimana? Jadi kita preventif betul dari situ”.
Syaifu juga menuturkan secara gamblang bahwa memang belum ada tindakan khusus atau solusi terkait kedua pengemis tersebut. Akan tetapi, pihak kantin UB selalu berupaya untuk meningkatkan kenyamanan di area kantin. Secara kontinu mereka melakukan rapat bulanan dengan salah satu agenda pembahasan serta pengecekan kuesioner kritik dan saran yang telah disediakan pihak kantin UB di sebelah kasir CL. Akan tetapi, kurangnya turun tangan civitas akademika khususnya mahasiswa dalam pengisian kuesioner atau pelaporan langsung terkait pengemis yang meresahkan menjadi salah satu faktor ketidaktahuan akan seberapa serius permasalahan tersebut untuk sesegera mungkin diberikan jalan keluar.
Mari, Buat Perubahan
Ketika tensi obrolan mulai menurun, saya paham di balik semua narasumber yang terlibat di dalam tulisan ini juga punya harapan baik untuk UB kedepannya. Mulai dari Kantin UB yang berhadap seluruh Civitas Akademika khususnya mahasiswa dapat lebih aktif menyampaikan kritik sarannya melalui kode barcode yang tersedia di CL sebagai konstituen untuk pengambilan langkah yang terbaik untuk semua. Mahasiswa pun, alangkah baiknya tidak dibiasakan terlalu ringan tangan kepada dua anak pengemis tersebut agar tidak menjadi kebiasaan yang berulang.
Selain itu, pihak MAKO juga berpesan bahwa seluruh masyarakat UB wajib terlibat akan usaha menciptakan kenyamanan, ketertiban, dan keamanan kampus. Apabila mendapati hal-hal yang dapat mengganggu kenyamanan, silakan melapor beserta mengirim bukti dokumentasi kepada pihak MAKO untuk segera timnya mengambil tindakan atas permasalahan tersebut, “Kita gak akan tahu kalau gak diberitahu. Laporan apapun silakan”.
Penulis : Jihan Nabilah Yusmi dan Dimas Candra Pradana
Editor: Alifiah Nurul Izzah