Mahasiswa Kena Mental Breakdance, Serius Tapi Masih Dianggap Santai
Oleh: Octavio Benedictus
Perkuliahan daring memang gak diinginkan banyak mahasiswa Indonesia. Buktinya banyak diskusi membahas pentingnya pelaksanaan perkuliahan hybrid. Alasannya karena pemahaman materi dan pendidikan karakter dari dosen bisa berjalan bersamaan.
Ide kuliah hybrid makin dapat validasi dari banyaknya sambatan mahasiswa soal perkuliahan daring di medsos. Bukan maksudnya kami gak paham sama keadaan, tapi tolong pahami kami yang masih menggaji bapak/ibu walaupun dari hasil pinjaman duit tetangga ehe.
Sayangnya, sambatan yang disoroti hanya membahas hal-hal teknis, seperti lemotnya jaringan internet, daerah yang suka mati lampu (RIP PLN), mahalnya harga kuota internet, dan perangkat yang jadul.
Keluhan itu-itu terus yang jadi fokus perhatian kampus dan media nasional, memperlihatkan buruknya infrastruktur pendidikan di Indonesia. Tapi, selain itu ada masalah mayor lain yang gak kalah urgen dan jarang disorot. Soal kesehatan mental kami pak, bu! Iyaa kami kena mental.
Bayangkan, kami menatap layar kotak hampir seharian buat lihat presentasi dosen dan muka asisten praktikum. Belum lagi, harus stand by terus dengan duduk manis dan pasang telinga baik-baik, karena was-was namanya tiba-tiba dipanggil. Eh iya mana bisa duduk manis, harus manjat pohon biar dapat sinyal. Cuakz!
Bukan hanya soal tugas yang makin banyak, tapi gak jarang ada tugas aneh. Aku gak tau kamu mengalami atau gak, tapi pasti kamu sering lihat temanmu posting aneka tugas di instagram. Iya apa iya banget? Hehe.
Katanya sih, penugasan ini sebagai bentuk adaptasi dengan teknologi yang ada. Waw agak konservatif ya memandang peradaban teknologi modern ini. Hei! perlu diketahui kalau platform media sosial yang jadi “sasaran empuk penugasan” kayak instagram dan youtube itu adalah ranah privat.
Sepenuhnya dalam kontrol pengguna dan dia bebas mengekspresikan sesuatu, asal sesuai pedoman komunitas ya dan UU ITE, ups jadi jelas ya. Penugasan yang bentuknya suruh meng-upload di medsos itu mengusik ketentraman pribadi! Masa aku harus buat 3rd account Instagram demi tugas :D.
Mental Breakdance
Belakangan ini kondisi semakin parah karena kasus positif Covid-19 melonjak lagi. Rumah sakit pada collapse (ciee ada yang gak berani ngaku). Penyebabnya karena Varian Delta (B.1.617.2) atau varian Delta dari prindapan. Valid no debat, kuliah hybrid hanya jadi wacana aja. Performa banyak mahasiswa bakal seperti sebelum-sebelumnya karena sudah masuk tahap burnout.
Tentunya, kampus sebagai institusi terpuji yang doyan piala perlu melakukan tindakan reformasi pada sistem PJJ. Jangan merasa selama ini perkuliahan berjalan lancar-lancar aja! Gak sedikit dosen yang merasa kualitas hasil pekerjaan mahasiswa selama PJJ gak bagus dan cenderung mengecewakan. Tapi, mereka bingung harus bagaimana karena ketidaktahuan mengenai kondisi masing-masing anak didiknya.
Selain sistem PJJ yang perlu direformasi, kampus perlu menanggulangi permasalahan kesehatan mental para mahasiswanya. “Waduh, bagaimana caranya?”, tenang, kalau diniatkan, sangat mungkin diterapkan kok.
Sebagai World Class Entrepreneurial University (Cihuy), UB mestinya menerapkan konsep ATM atau Amati, Tiru, dan Modifikasi. Apa yang di ATM? Itu lho upaya penanganan wabah corona yang diusung pemerintah, 3T (Testing, Tracing, Treatment).
Pada dasarnya, 3T adalah upaya pemerintah “menjemput bola” masyarakat yang terpapar agar pasien dapat ditangani dengan baik serta transmisi virus dapat diketahui jejaknya. Cara kerjanya mirip dengan 3T, kampus membentuk satuan tugas yang bertugas menjemput bola mahasiswa yang sedang dalam kondisi mental breakdown.
Seenggaknya, inti tugas mereka ada di ranah 2T, testing dan treatment, tracing gak perlu soalnya mental sifatnya pribadi dan gak bakal nyebar kayak virus. Testing-lah yang menjadi gerbang awal penanganan.
Biar testing menjadi efektif, perlu dibuat semacam careline yang stand by di jam kerja. Keknya careline gak cukup deh, perlu dibuat website khusus sebagai wahana edukasi sekaligus ruang yang memungkinkan orang untuk berkonsultasi.
Oiya, bukan hanya mengandalkan laporan dari mahasiswa langsung, satuan tugas ini kudu berkoordinasi dengan tim akademik fakultas agar bisa mendapatkan data mahasiswa-mahasiswa yang katanya “bermasalah” selama PJJ, entah AFK terus kalau kelas atau bahkan gak pernah ngumpulin tugas.
Ketika mahasiswa melewati proses testing, selanjutnya upaya treatment yang dilakukan oleh para ahli. “Mana bisa dek, tenaga kami terbatas, belum lagi yang kena copit”. Hmm… mereka lupa dengan alumni. Banyak alumni UB yang paham dan berkecimpung di dunia per-mental-an, entah menjadi psikolog atau psikiater.
Rasanya, alumni sangat mungkin diberdayakan untuk mengatasi permasalahan ini. Mereka pasti merasa senang diberikan ruang untuk ambil bagian berkontribusi terhadap kemajuan UB. Back to campus!.
Kita jadi tahu, PJJ ini bukan hanya sesempit ikut kelas, ngerjain tugas, ikut ujian, buka SIAM, menyesal, dan kembali ke ikut kelas di semester depan. Tetapi lebih dari itu, penerapan PJJ juga mencakup kesehatan mental mahasiswa. Akhir kata, jiahhh kena mental breakdance!
Editor : Hamim Maulana Rahman