Turunnya Peringkat UB pada Pemeringkatan GreenMetric UI


MALANG-KAV.10 Dalam kurun waktu empat tahun, peringkat Universitas Brawijaya (UB) dalam pemeringkatan GreenMetric UI mengalami penurunan. Pada tahun 2017 UB menduduki peringkat ke-7 nasional, sedangkan pada tahun 2021 merosot ke peringkat 13.
GreenMetric UI adalah sistem pemeringkatan universitas berdasarkan upaya pengurangan jejak karbon dan pencegahan perubahan iklim yang diinisiasi oleh Universitas Indonesia. Pemeringkatan GreenMetric UI sudah ada sejak tahun 2010.
Cita-cita UB sebagai kampus hijau sudah dicanangkan sejak lama. Dilansir dari prasetya.ub.ac.id, pada tahun 2014 Prof. Bisri yang saat itu menjabat sebagai Rektor UB percaya diri bahwa dengan pembangunan sumur injeksi di berbagai titik, akan menjadikan UB sebagai pelopor kampus hijau pertama di Indonesia.
Ambisi UB sebagai kampus hijau kembali mendapat sorotan pada awal tahun 2019. Kala itu, Prof. Nuhfil selaku Rektor UB mencanangkan kebijakan stiker sebagai syarat masuk kampus. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan stiker tersebut, hanya sivitas akademika UB saja. Tujuannya, agar lalu lintas di kampus lebih tertib sekaligus mengurangi polusi udara. Namun, kebijakan bernilai Rp94.000.000,- itu dinilai hanya efektif dalam waktu yang singkat.
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) UB Sefano Fahmi mempertanyakan mengapa kebijakan stiker kembali diberlakukan. Padahal beberapa tahun sebelumnya kebijakan serupa juga pernah dilakukan dan hasilnya tidak efektif mengurangi polusi.
“Itu salah satu yang yang terlihat terlihat jelas kebijakannya langsung tertuju ke sivitas akademika yang berkegiatan di kampus,” ungkapnya saat dihubungi awak Kavling10 via Whatsapp, (15/8).
Kewajaran UB Turun Peringkat
Penurunan peringkat UB pada GreenMetric UI berbanding lurus dengan upaya yang dilakukan selama ini. Menurut Laporan Kinerja dan Akuntabilitas (LAKIN) UB tahun 2018 dan 2019, perwujudan program green campus masih terfokus pada kegiatan sosialisasi dan pendidikan.
Pada dokumen tersebut, pihak rektorat menyadari bahwa upaya pencapaian target utama program green campus membutuhkan waktu yang relatif lama. Dibutuhkan perubahan paradigma pengelolaan kampus, terutama pemanfaatan sumber daya kampus dan perilaku lingkungan kampus.
Sefano mengatakan bahwa wajar bila UB mengalami penurunan peringkat karena belum terlalu banyak perubahan positif yang dilakukan oleh pihak kampus.
“Yang jelas kami (Impala, Red) lihat di sini progres green campus itu memang tidak terlalu signifikan untuk memang mengejar target, mengarah ke pemeringkatan green campus oleh GreenMetric ya,” jelasnya.
Sefano menegaskan bahwa masa pandemi merupakan kesempatan yang perlu dimaksimalkan oleh pihak rektorat dalam kegiatan pemetaan indikator-indikator green campus.
“Dengan minimnya interaksi di kampus maka pihak universitas itu bisa leluasa untuk mengambil data dan menguji sampel yang ada di UB termasuk dalam perawatan saluran irigasi dan lain-lain,” tegasnya.
Secara terpisah, Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UB Agung Murti mengatakan sebagai institusi pendidikan, kampus harus mengunggulkan aspek pengetahuan. Dalam hal ini adalah pengetahuan mengenai konsep green.
“Kalau budaya green campus sudah menurun ke semua sivitas akademika, tidak perlu dibilang, orang masuk sudah bisa merasakan, ;’Oh, Brawijaya green ya’,” jelasnya.
Agung yang juga merupakan Dosen Jurusan Arsitektur mengatakan bahwa untuk mewujudkan UB sebagai kampus hijau, diperlukan kerjasama dari seluruh sivitas akademika.
“Tapi saya juga menyadari bahwa pemangku kebijakan (Rektorat UB, Red) juga untuk merangkul semua kan perlu waktu,” ungkapnya.
Efisiensi Anggaran yang Rendah
Salah satu kriteria penilaian dalam pemeringkatan GreenMetric UI adalah Energy and Climate Change yang memiliki bobot nilai terbesar, yakni 21%. Pada kriteria tersebut, satu dari empat indikatornya adalah implementasi smart building.
Smart building atau bangunan pintar merupakan upaya pengadaan sistem informasi pemanfaatan ruang untuk pembangunan sistem resource sharing. Konsep ini mengatasi kebutuhan ruang bagi fakultas atau program studi yang membutuhkan ruang tanpa harus membangun gedung baru.
Dalam LAKIN 2019, Universitas Brawijaya menyatakan implementasi program green campus terkendala dana pagu. Imbasnya, pembangunan smart building tidak mampu mencapai target tahunan.
Berdasarkan Sasaran Strategis V pada Kertas Kerja Penyusunan Capaian Indikator tahun 2019 mengenai sarana dan prasarana (sarpras) yang memenuhi standar mutu perguruan tinggi, realisasi dari indikator kinerja jumlah unit gedung dengan sarpras smart building hanya 40% dari target. Artinya, dari target penambahan lima unit gedung, UB hanya mampu merealisasikan dua gedung yang memiliki sistem smart building. Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa efisiensi anggaran terendah terdapat pada indikator jumlah gedung dengan sarpras smart building.
Tidak hanya implementasi bangunan pintar yang terkendala oleh anggaran. Peningkatan capaian tahunan pembangunan lampu penerang jalan bertenaga surya di lingkungan UB juga urung dilakukan. Padahal, besaran dan serapan anggaran menjadi faktor penentu keberhasilan program green campus.
Penulis: Octavio Aegis
Kontributor: Jihan Nabila Yusmi, Moch. Fajar Izzul Haq
Editor : Anggik Karuniawan