Kuliah Daring, Kampus Merdeka Belajar Meracau
Oleh : Tita Tungga Dewi
Terpenjara sudah kehidupan kita saat dihadapkan pesta virus corona yang tiada henti. Belum menginjak dua tahun, sudah memakan banyak korban jiwa. Menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria masyarakat harus bersiap akan segala skenario pandemi Covid-19 yang mempengaruhi gaya hidup kita.
Akankah skenario kampus merdeka belajar juga akan mempengaruhi gaya hidup mahasiswa? Lantas, apakah kita bisa memanfaatkan keadaan yang ada untuk menjalankan roda program kampus merdeka belajar? Jangan membaca kalimat selanjutnya, renungkan dan jawab pertanyaan ini dahulu.
Secara umum orang akan menjawab pertanyaan tersebut dengan lugas, bahwa menjalankan roda program kampus merdeka belajar di tengah pandemi saat ini tentu “biasa-biasa saja”. Titik. Tanpa penjelasan lebih detail. Itulah standar jawaban orang yang nampaknya menikmati pesta corona negeri ini.
Mungkin saat ini pertanyaan itu tak pernah dipikirkan lagi karena sudah boring. Lebih tepatnya pertanyaan yang membosankan untuk dijawab karena corona sudah menjamu di alam pikiran kita.
Namun, pertanyaan tersebut perlu dijawab utamanya oleh mahasiswa yang memiliki tugas penting sebagai agent of change, social control, and iron stock. Akan menjadi masalah baru lagi jika kita bosan sebelum menelaah.
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa pandemi Covid-19 telah membombardir jagat raya, tak luput negeri tua ini dengan peningkatan kasus tiap harinya. Menyikapi peringatan WHO mengenai kasus awal corona di Indonesia, pemerintah justru menancapkan keraguan dan ketidak percayaannya terhadap wabah ini. Pemerintah tidak bergeming melihat negeri tetangga yang sudah mengakui wabah corona di negerinya.
Sikap pemerintah yang tidak terbuka dan tegas dalam menyikapi wabah ini tentu mendapat pukulan keras dari WHO di awal masa pandemi. Alhasil pandemi yang dianggap curb oleh pemerintah menjadi tak mudah diatasi. Hari ini tidak berbeda dengan ratusan hari sebelumnya. Hari-hari panjang yang diisi dengan kehadiran corona tiada tara membuat manusia penat dengan pola tingkahnya.
Keluhan-keluhan terdengar nyaring di seluk beluk daerah negeri ini. Kegeraman manusia pribumi yang masih terdengar jelas memenuhi setiap sudut. Perangai ilmiah negeri tua ini sedang diuji dengan krisis wabah yang bergejolak. Salah satu dampak yang kini masih dirasakan tuk mahasiswa yang menginginkan perkuliahan luring termasuk Universitas Brawijaya.
Memang ego kita tinggi bilamana menyuarakan perkuliahan luring di tengah pandemi Covid-19 yang berpesta ria. Perkuliahan daring di tengah pesta corona tidaklah salah, itu merupakan alternatif pemerintah dalam menekan laju penularan Covid-19. Namun, menjadi sebuah kewajaran jika perkuliahan daring tak dioptimalkan seperti perkuliahan luring biasanya.
Jaringan internet yang tak bisa diandalkan, kesalahan teknis di sela-sela dosen mengajar bukan menjadi masalah inti lagi. Hal yang menjadi poin penting dampak dari perkuliahan daring adalah mental health mahasiswa selama stay at home.
Lalu kenapa dosen hanya memaklumi kesalahan teknis dan R.I.P PLN negeri ini? Bukankah itulah menjadi bukti “ketidaksiapan” Universitas Brawijaya terhadap perkuliahan daring? Seharusnya mahasiswa sudah paham dengan jawaban dari pertanyaan ini. Dengan munculnya pertanyaan ini, pemahaman konseptual akan tercipta.
Tentu seantero mahasiswa negeri ini mengharapkan kenyamanan dalam proses belajar. Mahasiswa juga paham betul dengan keadaan dosen yang semakin terhimpit dengan sesaknya virus yang merajalela. Namun, bukankah kami tetap menggaji kalian untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan selama perkuliahan daring yang hampir genap 2 tahun ini?
Pelbagai dampak yang dirasakan mahasiswa masih merangkak bebas di alam pikirannya. Psikososial menjadi salah satunya. Jika masalah koneksi internet, kesalahan teknis, dan masalah lainnya mahasiswa masih bisa mengakali permasalahan tersebut. Namun, psikososial? Apakah masih menjadi perhatian oleh para pejabat kampus? Atau mereka haus duit untuk membeli multivitamin? Eh.
Mahasiswa hanya menginginkan perbaikan sistem belajar yang tak karuan selama hampir dua tahun ini. Proses akademik dengan meminta tanda tangan dosen yang sudah seperti selebriti birokrat yang sulitnya tiada tara.
Mental health yang dirasakan mahasiswa selama perkuliahan daring. Mungkin jika harus disebutkan satu per satu bisa menjadi novel baru. Eittss. Jangan disiram air panas novel terbitan mahasiswa ini.
Melewati pasang surut dinamika perkuliahan daring kampus ini tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada alasan dibalik mengapa mahasiswa jemu dengan sistem perkuliahan daring. Bukan tuk mencari-cari alasan. Tapi nyatanya selama perkuliahan daring menjadikan mahasiswa mengalami deepening alam pikirannya yang semakin mencekik.
Jikalau begitu, siapakah yang akan bertanggung jawab atas permasalahan psikososial yang dialami mahasiswa? Akankah pengajar yang tidak memiliki kesiapan mengajar? Atau jajaran birokrasi kampus yang dengan santainya mengeksploitasi mahasiswa di tengah perkuliahan daring?
Jawaban dari pelbagai pertanyaan tersebut bisa jadi, menjadi kunci awal untuk memperbaiki kegagalan selama proses perkuliahan daring di masa pandemi Covid-19.
Editor : Ranti Fadhilah