Polemik Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
MALANG-KAV.10 Beberapa kelompok masyarakat telah menggelar aksi di depan Gedung Balai Kota Malang pada Rabu, (2/6). Kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai ‘Solidaritas Malang Melawan Pelemahan KPK’ ini melakukan aksi sebagai bentuk respon terhadap pelemahan KPK yang terjadi bertubi-tubi beberapa waktu belakangan.
“Solidaritas ini tidak tergabung dari beberapa elemen. (Kami, red) tidak mempunyai embel-embel lembaga lain. Tidak ada organ yang tergabung dalam aksi kali ini karena mereka mengatas namakan dengan solidaritas malang,” ujar Koordinator Lapangan aksi, Ali Fikri Hamdani saat diwawancarai pada Rabu, (2/6).
Terdapat 6 tuntutan yang diperjuangkan masa aksi meliputi pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN serta proses TWK yang dilakukan secara abal-abal. Aksi tersebut berjalan kondusif dengan orasi-orasi yang dilakukan oleh para sukarelawan serta pernyataan sikap.
“Harapan kami tentunya tuntutannya itu tersampaikan dan benar-benar betul diinisiasi oleh pimpinan KPK dan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini,” tutup Ali.
Pengalihan Status Pegawai KPK Menjadi ASN
Menanggapi terjadinya pelemahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang terjadi, Dhia Al Uyun selaku Dosen Hukum Univeristas Brawijaya menilai bahwa hal ini sudah dapat diprediksi sejak UU Nomor 19 Tahun 2019 disahkan.
Ia menuturkan bahwa UU yang mengatur mengenai pengalihan status pegawai KPK tersebut telah mencederai independensi KPK sebagai bentuk amanat reformasi dalam pemberantasan korupsi. Terutama ketika KPK keanggotannya menjadi ASN, maka ASN tersebut harus tunduk kepada UU No. 5 Tahun 2014.
“Nah ini yang menimbulkan permasalahan. Pertama karena KPK ini memeriksa oknumnya berasal dari semua lembaga yang ada. Sehingga ketika menjadi ASN maka secara otomatis ada penilaian-penilaian ASN yang harus tunduk pada senioritas, pada pembuktian dokumen-dokumen yang penilaiannya ditentukan oleh pimpinan,” terang Dhia.
Dengan status KPK yang awalnya merupakan lembaga independen, maka ketika KPK harus tunduk dalam UU KPK hal ini dapat melemahkan KPK dari dalam.
TWK Pegawai KPK yang Bermasalah
Proses Tes Wawasan Kebangsaan yang dijalani oleh pegawai KPK sebagai syarat alih status menjadi ASN juga tidak memiliki dasar hukum yang jelas menurut undang-undang, menurut Dhia. Karena UU Nomor 5 Tahun 2014 dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tidak menyebutkan dasar hukum kewajiban TWK sebagai salah satu bentuk pengalihan status.
“Bahkan putusan MK juga menyebutkan bahwa untuk TWK itu sendiri tidak boleh merugikan hak-hak dari para pekerja atau katakanlah pegawai KPK saat ini, tapi itu kan dibiarkan saja,” jelas Dhia saat diwawancarai via google meet pada Kamis, (3/6)
Selain itu, validitas dan relevansi dari pelaksanaan TWK ini diragukan oleh banyak pihak karena dilakukan oleh Lembaga-Lembaga yang tidak memiliki korelasi dengan pemberantasan korupsi. Seperti TNI AD, BIN, BNPT, hingga MENPAN.
“Selanjutnya kita melihat dari segi TWK-nya, dalam studi psikometri TWK ini tidak memiliki skala yang jelas. Disebutkan di sini bahwa metode yang digunakan adalah indeks moderasi bernegara 68, nah sampai sekarang tidak ada tidak ada uji publik terhadap indeks moderasi bernegara ini,” tambahnya.
Dhia juga menguraikan bahwa TWK tersebut melanggar beberapa hal. Seperti hak untuk bekerja, kesetaraan gender; mendiskriminasi perempuan lewat pertanyaan mengenai atribut agama, hak untuk berekspresi, bahkan melanggar HAM.
“Jadi (TWK, red) ini bukan tes, tapi ini adalah legalitas hukum yang digunakan untuk kepentingan penyalahgunaan.”
Bahkan, lanjutnya, di era sekarang Pancasila seakan disakralisasi dan digunakan satu-satunya sebagai penyaring kewarganegaraan dan dikultuskan dengan satu pemahaman tertentu.
“Kalau TWK ini lolos, saya yakin sekali di Lembaga-lembaga lain akan diselenggarakan TWK-TWK yang serupa, yang pastinya justru akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.”
Penulis: Sifin Astaria
Kontributor: Moch. Izzul Haq, Jihan Nabilah Yusmi
Editor: Ranti Fadilah