Membangun Keadaban Aktivisme Digital
Tantangan terbesar bagi ruang publik ditemukan dalam masa pandemi COVID-19. Karakteristik virus yang bersifat sangat lokal menuntut terjadinya pembatasan dunia nyata (real space) secara tegas. Migrasi besar ke dalam dunia maya (virtual space) menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan. Tak hanya menjadi sarana penting untuk perjumpaan komunal, dunia maya masa kini berkembang menjadi ruang perjuangan sosial.
Alih-alih bertentangan, ruang digital justru melestarikan fungsi ruang nyata, bahkan melampauinya. Ruang digital menawarkan kemudahan proses komunikasi, memfasilitasi interaksi yang demokratis dan organik, serta mengamplifikasi kepentingan publik yang riil di masyarakat. Berbagai benefit ini yang kemudian menyuburkan aktivisme digital di masa pandemi. Mary Joyce (2010: 10) mendefinisikan aktivisme digital sebagai “serangkaian kegiatan ataupun kampanye yang menggunakan teknologi dan jaringan digital secara komprehensif dan eksklusif.”
Gerakan Sosial Baru
Aktivisme digital tidak bisa lepas dari motif politik. Pemaknaan tentang aktivisme sendiri selalu memiliki keterkaitan dengan pergerakan sosial yang mengagendakan suatu tujuan politik. Pada masa pra digital, aktivisme muncul karena dilandasi tuntutan yang berbasis materialistik dan perjuangan kelas. Aktivisme pra digital akan mengandalkan peran sentral pemimpin heroik-patriotik dalam memperjuangkan tuntutan tersebut (Sukmana, 2016:119).
Aktivisme digital memiliki ciri yang berbeda dengan hal di atas. Ia hadir sebagai suatu gerakan sosial baru dengan ciri pengorganisasian yang cair dan terdesentralisir. Setiap orang yang terhimpun dalam aktivisme digital punya peran setara dalam mencapai tujuan gerakan. Tidak lagi bergantung pada sosok pemimpin kharismatik, aktivisme digital mengutamakan jaringan (networking) sebagai kekuatan. Ketika memiliki fokus isu perjuangan yang sama, berbagai individu dan kelompok akan saling berkoalisi sehingga tuntutan aktivisme memiliki resonansi yang lebih kuat.
Reduksi Aktivisme Digital
Namun, sungguh disayangkan, jaringan yang terbentuk dalam aktivisme digital dewasa ini justru berkembang menjadi liar. Solidaritas yang terbentuk antara pengguna media sosial diarahkan pada beragam tindakan yang bersifat destruktif. Media sosial terbukti telah mereduksi nilai-nilai aktivisme digital. Itu tampak dalam berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini: mulai dari serangan komentar jahat netizen Indonesia pada postingan pengantin gay asal Thailand di Facebook, teror akun Instagram Badminton World Federation (BWF) pasca kisruh pebulutangkis Indonesia di All England Open 2021, toksik nasionalisme dalam kasus pecatur Gotham Chess dan Dewa Kipas, hingga banyak peristiwa lain yang tercatat. Tidak mengherankan jika hasil riset dari Microsoft (2020) menempatkan netizen Indonesia sebagai pengguna media sosial yang paling tidak sopan di Asia Tenggara.
Begitu pula dengan tujuan dari aktivisme digital. Aspek visibilitas yang menjadi nilai penting dalam media sosial mengubahkan tujuan awal aktivisme digital. Berbagai strategi dijalankan banyak pengguna (users) media sosial agar menarik perhatian publik karena tujuan viralitas semata. Mereka, atau bahkan kita, lupa bahwa capaian final dari aktivisme tidak berhenti pada keberhasilan mendapatkan perhatian publik, namun ia harus menghasilkan dampak positif langsung kepada masyarakat yang terkait dalam gerakan tersebut (Rahmawan, dkk, 2020: 136).
Tujuan viralitas dapat menjadikan seorang aktivis digital menghalalkan segala cara agar dapat mencapai tujuannya itu. Termasuk dengan memberitakan berbagai hoaks dalam media sosial. Kebenaran (the truth) menjadi sulit untuk ditemukan dalam aktivisme digital di media sosial. Pemaknaan positif pada media sosial yang dinilai dapat membuka ruang-ruang publik demokratis telah direduksi oleh berbagai hoaks yang ada.
Keadaban Digital
Aktivisme digital tidak akan menghasilkan dampak maksimal apabila berbagai hal di atas masih terus menjadi prinsip bagi para pengguna. Usaha untuk keluar dari jerat tersebut terwujud ketika teknologi digital tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk “berbicara secara lebih cepat dan luas”, namun juga untuk “mendengarkan secara lebih seksama dan mendalam” secara digital (Rahmawan, dkk, 2020: 129). Media sosial, sebagai ruang publik digital, memang diciptakan menjadi arena yang mewadahi proses deliberasi. Artinya, setiap pengguna yang terhimpun didalamnya berhak untuk berbicara dalam rangka memaparkan argumentasi, mendukung, atau bahkan menolak.
Namun, perlu pula bagi kita untuk mendengar yang lain sebagai bentuk keadaban digital. Terutama mendengar para pakar, sebagaimana disebutkan oleh Tom Nichols (2017) dalam bukunya yang bertjauk “Matinya Kepakaran” (The death of Expertise). Saran ini menjadi sangat relevan karena kecenderungan media sosial masa kini ialah pengabaian pada tokoh-tokoh yang memiliki pendidikan, pengalaman, serta pengakuan yang mumpuni dalam bidangnya. Para pengguna media sosial lebih memilih mendengarkan orang-orang tertentu, yang minim pengalaman dan wawasan, namun memiliki daya pikat dan pengaruh tinggi (influencer). Mendengar para pakar akan menjadikan aktivisme digital berjalan dengan maksimal dan tepat sasaran.
Prinsipnya, jangan biarkan media sosial mendistraksi nilai dasar aktivisme digital. Menjadikan media sosial sebagai salah satu alat yang meresonansi tujuan aktivisme digital adalah suatu kebijaksanaan. Namun, pencarian ketenaran bahkan keuntungan personal atas nama aktivisme digital adalah kesalahan. Apalagi ketika hal tersebut dilakukan dengan brutal dan anarkis. Aktivis digital harus dapat berdiri dalam prinsip yang benar, bahwa aktivisme digital, sebagai bentuk gerakan sosial baru, hanya dilakukan demi terciptanya perubahan yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Joyce, M. (Ed.). (2010a). Digital activism decoded: the new mechanics of change. New York: International Debate Education Association.
Sukmana, O. (2016). Konsep dan teori gerakan sosial. Malang: Intrans Publishing.
Microsoft. (2020). Civility, Safety & Interaction Online. [Online]. Diakses di: https://news.microsoft.com/wp-content/uploads/prod/sites/421/2020/02/Digital-Civility-2020-Global-Report.pdf
Rahmawan, D., Mahameruaji, J. N., & Janitra, P. A. (2020). Strategi aktivisme digital di Indonesia: aksesibilitas, visibilitas, popularitas dan ekosistem aktivisme. Jurnal Manajemen Komunikasi, 4(2), 123-144.
Nichols, T. (2017). The death of expertise: The campaign against established knowledge and why it matters. Oxford University Press.
Identitas Penulis
Nama lengkap: Jacko Ryan
Asal universitas: Universitas Airlangga