Media Sosial, Ajang Aktivisme Pribumi Digital
Apa yang akan terbesit dipikiranmu ketika mendengar kata aktivisme? Jika kalimat tersebut ditanyakan beberapa tahun lalu, mungkin akan cukup mengerikan untuk didengarkan. Tak sedikit artikel di media sosial yang menceritakan bagaimana perjuangan para aktivis tahun 90-an. Nama-nama seperti Salim Kancil, Marsinah, Munir, Wiji Thukul hingga sederet nama aktivis lain era 90-an tentu tak asing lagi di telinga kita. Kisah mereka telah menjadi memoar abadi betapa kerasnya perjuangan aktivisme era 90-an. Perlu disadari bahwa peran dan tanggung jawab seorang aktivis bukanlah perkara gampang. Mereka berjuang melawan pihak ‘berkepentingan’ dan menjadikan nyawa sebagai taruhan dari perjuangan.
Lalu di tengah gempuran arus globalisasi seperti saat ini, apakah aktivisme masih perlu dilakukan?. Haruskah aktivisme dilakukan dengan bertaruh nyawa dan menyuarakan orasi-orasi keadilan di jalanan?. Beberapa pertanyaan tersebut yang kiranya mampir dipikiran saya ketika merenungi kata aktivisme di era ini. Tak dapat dipungkiri di era digitalisasi seperti sekarang ini telah terjadi pergeseran arah gerak mengenai pengertian aktivis. Mengutip dari salah satu artikel berita kagama.com pada tahun 2018 dengan judul “Beda Aktivis Zaman Now dan Old”, Direktur Desantara Foundation, Mohammad Sobirin mengatakan bahwa ketika kita menyebut kata aktivis, yang umumnya menjadi rujukan adalah mereka yang bekerja di Non Government Organization (NGO). Padahal definisi aktivis dapat diartikan
menjadi lebih luas lagi. Didalam buku Hegemony and Socialist Strategy, Chantal Mouffe menuliskan bahwa dalam gerakan sosial tidak ada hubungan yang logis untuk bergabung dalam melakukan sebuah gerakan sosial (Laclau dan Mouffe, 2001: 86-87). Sesungguhnya yang menjadi semangat dari gerakan ini adalah rasa senasib sepenanggungan dan ingin memperjuangkan satu tujuan bersama demi keadilan.
Semakin meluasnya definisi aktivisme di era ini telah menciptakan transformasi baru mengenai artian aktivisme itu sendiri. Bukan hanya mereka yang berorasi menyuarakan perjuangan keadilan di jalanan, tetapi juga mereka yang ikut menyuarakan kekhawatiran dengan menggunakan tagar dan mengunggah gambar yang berhubungan dengan suatu isu yang menurut mereka patut untuk di suarakan juga dapat disebut sebagai aksi aktivisme. Tak hanya itu, peran media sosial kini menjadi sangat penting untuk mempercepat semua aksi dan informasi sehingga dalam hitungan jam massa bisa membanjiri sebuah pertemuan atau bergerak serentak dalam mengkampanyekan suatu keadilan. Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan masa lalu dimana untuk mengumpulkan massa dibutuhkan waktu berhari-hari hingga mereka matang untuk melakukan aksi di lapangan.
Ramainya aksi aktivisme yang dipicu kemudahan komunikasi dan informasi pada masa kini tentu menjadi kemajuan tersendiri di bidang sosial dan teknologi informasi. Hal ini secara tidak langsung telah membawa perubahan baru sekaligus memberi dampak positif dan negatif pada proses pelaksanaan aktivisme itu sendiri. Lewat media sosial, aksi aktivisme cenderung lebih berpeluang untuk mengajak lebih banyak massa untuk berbicara, mendengar, dan tersadar tanpa adanya batas ruang. Aksi aktivisme pada era ini juga relatif lebih mudah mendapatkan perhatian dari otoritas lokal. Contohnya, dibuktikan dengan beberapa kasus misalnya petisi online dari change.org atau tagar #EarthDay dan #lindungikeluargatercinta yang baru-baru ini kebanjiran dukungan di media sosial.
Lewat akses perkembangan internet dan media sosial yang sangat cepat, muncul beberapa dampak negatif bagi gerakan sosial atau campaign. Secara drastis, internet telah membuat tingkat partisipasi dan keterlibatan dalam suatu aksi aktivisme menjadi relatif rendah dan bahkan membolehkan individu untuk membuktikan sedikit kontribusi saja. Salah satu caranya yaitu lewat media sosial yang memberi kesempatan individu secara mudah, cepat, dan tanpa biaya melakukan “click” sebagai bukti dukungan mereka terhadap suatu isu. Fenomena ini kemudian disebut sebagai clicktivism. Clicktivism didefinisikan sebagai “Kemauan menunjukkan perilaku secara relatif, untuk menunjukkan bukti dukungan (symbolic action) melalui sebuah aktivitas online (click) dari suatu gerakan sosial, yang disertai dengan kurangnya kemauan untuk melakukan pengorbanan yang berarti dalam membuat suatu perubahan sosial” (Davis dan Morozov dalam Kristofferson, White, Peloza, 2011).
Sejalan dengan semakin menyebarnya fenomena clicktivism, hal ini secara tidak langsung telah menggiring gerakan aktivisme sebagai ajang memamerkan hal yang dianggap “baik” oleh seorang individu supaya diakui dan dianggap memiliki kepedulian terhadap suatu aksi atau gerakan yang sedang diperjuangkan. Layaknya panggung sandiwara, clicktivist atau sebutan bagi orang-orang yang melakukan clicktivism, umumnya berlomba-lomba mempertunjukkan hal-hal positif melalui sebuah gerakan sosial. Seperti yang dijelaskan oleh Erving Goffman dalam teori dramaturgi, clicktivist digambarkan mempunyai dua panggung yaitu panggung depan dan panggung belakang sebagai analogi dari aktivitas yang dilakukan dalam clicktivism.
Secara tidak disadari, bisa jadi dalam keseharian kita pernah menjadi pelaku clicktivism. Clicktivism bisa digambarkan melalui perilaku berbagi informasi dengan cara mengunggah video, foto, posting, retweet, reshare informasi, atau dengan memasang twibbon yang menunjukkan sikap kita terhadap suatu isu. Fenomena ini sah-sah saja terjadi dengan syarat sikap dan kepedulian tersebut tidak hanya berhenti setelah “click” retweet di twitter atau “click” reshare informasi di instagram. Kepedulian terhadap suatu isu yang terjadi harus pula disuarakan dan ditindaklanjuti sebagai upaya nyata demi tercapainya keadilan. Setiap individu dikaruniai tanggung jawab bukan untuk memperkuat suara masing-masing, tetapi untuk memperkuat suara komunitas yang membutuhkannya. Alangkah lebih baik jika fenomena clicktivism di media sosial dibarengi pula dengan aksi nyata agar kepedulian terhadap suatu isu dapat sepenuhnya ditanamkan ke setiap individu, bukan hanya kepedulian sesaat yang langsung menguap setelah menekan “click”.
Fenomena clicktivism ini termasuk dampak nyata tansformasi teknologi dan keberadaan media sosial yang tentunya merupakan hal wajar seiring perkembangan zaman. Pergeseran arti yang melebur dengan kondisi di lapangan adalah hal yang lumrah. Tugas kita sebagai individu berkemanusiaan adalah dengan menyikapi perubahan bukan sebagai keburukan atau kemunduran, namun bereaksi menjadi suatu tantangan baru yang baik untuk kemajuan
Biodata Penulis
Nama Lengkap: Diva Amalinda Utami
Asal Universitas: Universitas Airlangga