Ancaman di Balik Polisi Siber
Penulis : Ach Rizal Fahmi Ilhami
Polisi siber yang sudah diaktifkan sejak diterbitkannya Surat Edaran Kapolri SE/2/11/2021 pada 19 Februari 2021 menuai pro dan kontra di masyarakat. Sebagian masyarakat memandang kehadiran polisi siber ini sebagai cara untuk mengentaskan kejahatan di dunia maya, namun sebagian lainnya melihat sebagai sebuah “rencana terselubung” dalam upaya mematikan kritik terhadap pemerintah. Kritik merupakan suatu cara bagi seseorang atau kelompok mengevaluasi kinerja penguasa dan merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang. Jika kritik dibungkam, pastinya akan menjadi ancaman terhadap kebebasan pendapat masyarakat dan yang diuntungkan hanya para elit dan penguasa saja.
Beragam respons aktivis menanggapi keluarnya surat edaran ini, salah satunya dari Rivanlee selaku Peneliti KontraS. Dikutip dari CNN Indonesia, Rivan mengatakan bahwa masyarakat akan semakin enggan berkomentar soal kebijakan negara, karena jika mengkritisi negara kerap kali dituduh melawan negara. Rivan meyakini bahwa hal ini adalah suatu cara agar masyarakat enggan mengkritisi pemerintah di media sosial. Derasnya arus kritik terhadap kehadiran polisi siber memunculkan tanda tanya besar, apakah benar pembentukan polisi siber ini murni sebagai upaya mencegah kebencian dan kejahatan atau justru untuk membungkam kritik yang dianggap “berbahaya” bagi mereka yang berkepentingan?
Secara garis besar, polisi siber bekerja mengawasi konten-konten yang tersebar luas di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Jika ditemukannya postingan yang terindikasi hoax dan ujaran kebencian maka polisi siber akan memberikan peringatan agar postingan tersebut diturunkan dalam waktu 1×24 jam. Sebelum memberikan peringatan kepada terduga pelanggar UU ITE, polisi siber akan meminta masukan dari para ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE. Apabila masih belum diturunkan, maka polisi siber akan memanggil dan meminta klarifikasi terhadap konten yang diposting oleh oknum. Ranah akhir dari aktivitas penindakan polisi siber adalah melakukan mediasi terhadap pelaku atau restorative justice.
Tetapi apakah langkah-langkah yang diambil oleh polisi siber sudah tepat? Mari kita lihat kembali kasus penangkapan aktivis Ravio Patra pada April 2020 lalu. Ravio adalah aktivis pegiat advokasi yang gencar mengkritisi kebijakan pemerintah serta turut mengkritik Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar terkait keterlibatannya dalam konflik proyek-proyek pemerintah di Papua. Ia juga menulis kritik mengenai penanganan Covid-19 yang dituangkan dalam opini di laman berita Tirto. Kejanggalan dimulai pada Selasa, 22 April 2020 sekitar pukul 14.00 WIB, Ravio mengaku kepada SAFEnet bahwa akun WhatsApp-nya telah diretas. Ketika ia mencoba untuk masuk ke aplikasi muncul tulisan “You’ve registered your number on another phone”. Pada saat WhatsAppnya diretas, tersebar pesan berantai bernada provokatif yang isinya “Krisis sudah saatnya membakar!Ayo kumpul dan ramaikan 30 April aksi penjarahan nasional serentak, semua toko yang ada didekat kita bebas dijarah”. Diantara pukul 13.19 – 14.05 WIB, Ravio mendapatkan panggilan dari nomor berkode Indonesia, Malaysia, dan Indonesia. Ketika nomor tersebut diidentifikasi melalui aplikasi, diketahui milik apparat Kepolisian berinisal AKBP HS dan Kol ATD. Kasus ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat dan memunculkan spekulasi bahwa terdapat unsur intimidasi dari pihak yang tidak suka dengan kritik yang disampaikan Ravio dan ingin mengkriminalisasinya dengan menjebak lewat pesan berantai WhatsApp. Perlu diketahui, pelaku pembobolan whatsapp milik Ravio belum ditemukan hingga saat ini. Kasus Ravio Patra membuktikan bahwa negara belum mampu menjamin kebebasan berpendapat setiap warganya di dunia maya. Kehadiran polisi siber bukan menjadi angin segar bagi demokrasi. Justru sebaliknya, banyak orang yang khawatir akan “keselamatan” dirinya.
Polemik kehadiran polisi siber terus berlanjut, ketika masyarakat menilai sumber hukum yang dipakai berisikan pasal-pasal karet, yakni UU ITE. Bukan rahasia lagi bahwa undang-undang ini kerap kali dipakai oleh para elit/penguasa untuk menundukkan musuh atau bahkan lawan poltik. Dahsyatnya lagi sumber hukum ini menjadi alat bagi pelaku untuk memukul telak korban yang melapor dengan menuduhnya mencemarkan nama baik. Padalah menurut Haidar Adam, pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga pada suarasurabaya mengatakan bahwa Hak konstitusional warga negara terhadap informasi tidak lepas dari konsep awal hak kebebasan berekspresi.
Sudah sepatutnya kebebasan mengungkapkan pendapat menjadi suatu hal yang patut dijunjung tinggi. Selain menjadi bahan evaluasi bagi kinerja pemangku kebijakan negara, pendapat masyarakat berguna sebagai kontrol sosial bagi masyarakat itu sendiri. Polisi siber yang kini mempunyai kuasa dalam hal pengawasan lalu lintas dunia maya, perlu menjunjung tinggi restorative justice, jangan main hakim sendiri. Jangan sampai Kasus Ravio, dimana ia ditangkap tanpa ada surat penangkapan, terjadi lagi. Buntutnya, masyarakat jadi curiga, jangan-jangan benar apa yang ditakutkan selama ini, polisi siber jadi alat terselubung bagi penguasa dan aparat untuk membungkam pikiran-pikiran kritis.
Hak kebebasan bagi setiap orang bukan lagi menjadi sebuah keharusan atau kewajiban melainkan memang sudah menjadi kodrat dari Tuhan yang perlu dihargai. Berdasarkan kaca mata penulis sebagai seorang mahasiswa seni rupa, kebebasan adalah bagian dari seni dan seni adalah bagian dari kebebasan. Jika mengutip dari pemikiran Jean Paul Sartre, kebebasan adalah esensi manusia, manusia yang bebas selalu menciptakan dirinya. Manusia yang bebas dapat mengatur, memilih dan dapat memberi makna pada realitas. Peristiwa kejahatan siber, seperti pembobolan akun media sosial yang menimpa para aktivis yang bergerak di berbagai fokus bidang, seperti lingkungan hidup, HAM, dan lain-lain menandakan bahwa negara bukan tempat yang aman lagi. Akankah kehadiran polisi siber benar-benar dapat menciptakan rasa aman dalam bermedia sosial? Atau malah sebaliknya, justru memvalidasi ketakutan masyarakat bahwa negara semakin mengarah pada otoritarianisme gaya baru.
Editor : Agung Mahardika