Antara Ospek dan Imperialisme
Penulis: Farah Hanifah Soegeng
OSPEK. Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Layaknya embun di pagi hari, OSPEK adalah suatu kata yang sudah tidak asing lagi, bahkan sudah sangat familiar di telinga seluruh mahasiswa Indonesia. Setiap tahun berganti tahun, angkatan berganti angkatan, kabinet berganti kabinet, (eh.), para mahasiswa lama secara antusias berlomba-lomba untuk menjadi bagian dari jajaran kepanitiaannya. Alasannya sih macam-macam. Tapi pada ujungnya, mayoritas dari mereka yang bergabung dengan kepanitiaan OSPEK, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada akhirnya hanya memiliki dua hasrat inti, kalau bukan balas dendam, ya pansos. Bukan bermaksud generalisir ya~ Selain para mahasiswa-mahasiswa senior, mereka yang dicap sebagai para mahasiswa baru pula turut andil dalam warisan kolonial ini. Mereka diwajibkan untuk mengikuti rangkaian ini, dan mau tak mau, mereka harus ikhlas dan ridha, juga melapangkan dada mereka dalam mengikuti rangkaian OSPEK yang sebenarnya tidak memiliki faedah apapun jika dihitung dengan standar pendidikan atau edukasi. Yang lucunya lagi, apakah kalian tahu, bahwasanya, dibalik segala macam lika-liku OSPEK, terdapat sesosok hantu Imperialisme dan Kolonialisme yang bersembunyi manis dibelakangnya?
Apabila kita selidiki kembali ke masa penjajahan Belanda
bertahun-tahun silam, kita dapat mengetahui bahwasanya tradisi OSPEK diciptakan
tepat dibawah masa kolonial yang satu ini. Pada masa kolonial Belanda, rakyat
Indonesia tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan tinggi, terutama
pendidikan Sekolah Tinggi Lanjutan Atas/Universitas/Perguruan Tinggi. Hal ini
disebabkan karena pihak kolonial merasa bahwa pendidikan tinggi dapat
meningkatkan risiko adanya pembangkangan atau pemberontakan di tanah air. Akan
tetapi, setelah adanya gejolak-gejolak protes dari kaum terpelajar di Belanda
pihak kolonial pun memutuskan untuk memberikan izin kepada rakyat Indonesia
untuk melanjutkan jenjang pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi,
dengan syarat… bahwasanya mereka adalah anak dari orang yang terpandang secara
ekonomi dan politik, contoh: Anak bupati/anak gubernur/anak pengusaha kaya/anak
priyayi/anak bangsawan.
Privilese mereka tidak menjamin keamanan mereka selama berkuliah di STOVIA,
karena kolonial Belanda ingin agar rakyat Indonesia tetap ingat
“kodrat.” mereka sebagai inlander. Hal inilah yang mendorong
terlahirnya OSPEK. Kesimpulan dari paragraf ini adalah, pihak kolonial Belanda
menciptakan tradisi/praktik OSPEK agar supaya rakyat Indonesia sadar dengan
posisi sosial-politik kita yang pada akhirnya hanyalah semerta-merta sebagai
seorang inlander. Pada akhirnya, tujuan OSPEK semerta-merta hanyalah sebagai
salah satu alat atau senjata politis kolonial Belanda. Bukti nyata dari kasus
ini dapat ditemukan dari pernyataan Mohammad Roem. Berdasarkan buku beliau,
Bunga Rampai Dari Sejarah beliau mengatakan bahwa beliau mengalami berbagai
macam perploncoan, yang dilakukan dibawah payung OSPEK selama tahun pertama
beliau kuliah di STOVIA, dimana “puncak.” perploncoan terjadi selama tiga bulan.
Apabila kita sedang berbicara soal perploncoan, sepertinya tidak afdol jika kita tidak singgung juga perihal kata perploncoan itu sendiri, Secara historis, kata satu ini juga mengandung bobot sejarah nan historik yang tak kalah Imperialis dengan tradisi OSPEK itu sendiri. Pada tahun 1942, pihak penjajah dari negara Matahari terbit/Jepang Imperial turut pula berpatisipasi dalam mengangkat dan menghidupkan kembali budaya/tradisi OSPEK yang sebenarnya mati suri usai ditinggalkan oleh kolonial Belanda. Namun bedanya, kali ini, tradisi yang semula-mula diciptakan hanya untuk menghina dan mendegradasi harga diri cendekiawan dan akademisi Indonesia, kini mulai di”persenjatai.” oleh para tentara Nippon yang waktu itu berkuasa atas Indonesia. OSPEK yang semula hanya mengancam kesehatan mental dan psikis, kini juga mengancam kesehatan fisik — terima kasih atas keputusan Imperialis Jepang untuk mengalihfungsikan OSPEK sebagai media militerisme masyarakat sipil. Mereka beralasan bahwa OSPEK, semakin ditekan, akan semakin menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Mereka bilang, “Ketika mahasiswa di Indonesia diletakkan di bawah sebuah tekanan fisik dan kondisi atau sirkumstansial yang ekstrim, hal ini sanggup memperkuat “Kesehatan mental dan persahabatan/solidaritas mereka.” Padahal kita semua tahu kalau ini semua hanya omong manis kaum Imperialis, hahahaha. Jadi kalau ada kating yang masih membela ospek dengan alasan melatih mental dan solidaritas, itu tandanya otak anda masih dijajah VOC dan Nippon, kak~
By the way, kalian tau ga sih, kalau regulasi rambut ketika OSPEK (Mahasiswa baru HARAM hukumnya untuk gondrong!), bahkan ada beberapa fakultas dan jurusan yang berujung hingga penggundulan rambut juga ialah sebuah anak tiri Imperialisme? Pada masa kolonial Jepang Imperial, para kaum lelaki amat dilarang berambut panjang, sesuai petuah Perdana Menteri Jepang era Imperial, Hideki Tojo. Hideki Tojo mengatakan bahwasanya, hanya lelaki-lelaki yang merupakan Kaisar keturunan Dewa Matahari saja yang boleh terlihat ada rambut, itu pun sangat pendek. Oleh karena peraturan/titah suci dari “Yang Baginda.”, para serdadu-serdadu Jepang Imperial pun memutuskan untuk mengimplementasikan peraturan nan ketat yang sama pula terhadap para mahasiswa Indonesia. Jadi, jikalau seandainya kalian melihat ada mahasiswa-mahasiswa baru yang berambut botak dan gundul, tolong, tolong jangan pernah dikatain プロンコ (puronko) yang artinya (Kepala gundul!) ya! Kasihan. Berbicara soal プロンコ (puronko), sebenarnya kata “Plonco.” atau “Perploncoan.” yang selama ini digunakan oleh masyarakat awam itu aslinya dilahirkan dari kata berbahasa Jepang yang satu ini, lho. Padahal nama asli OSPEK yang diberikan oleh Belanda adalah ontgroening atau groentjes. Pada akhinya, lucu jika kita masih melestarikan OSPEK sebagai sebuah tradisi esensial nan wajib yang harus diikuti oleh para mahasiswa baru, terutama jika kita sudah tahu latar belakang OSPEK yang… ternodai karena Imperialisme. Mengapa kita masih melestarikan budaya mereka yang telah menjajah kita, selama bertahun-tahun? Bukankah kita sudah merdeka, Kamerad? Negara merdeka macam apa yang masih mengelu-elukan budaya penjajah yang dulu pernah merantai negara tersebut dibawah rantai kolonialisme dan Imperialisme? Sudah merdeka, kok kita masih “menjajah.” dan “terjajah? Mengapa kita masih bercumbu manja dengan “warisan.”Imperialisme?