Senja di Penghujung Kelam

Ilustrasi: Salsa

Oleh: Lydia Wahyuni
Gisya pernah bahagia dalam suatu waktu. Namun, bahagia itu segera menuntunnya menjadi pilu. Ia sangat tahu, manusia memang tak luput dari lara. Sejak itu, ia bertekad untuk tidak larut dalam bahagia. Ia selalu takut dengan bahagia sebab duka selalu mengiringinya.
Di usia yang masih cukup muda, mungkin tidaklah mudah untuk menghadapi apa yang sedang menimpanya. Namun ia mencoba untuk tegar. Baginya, hidup adalah untuk berjuang. Bukan menjadi lemah kemudian hancur menjadi seonggok sampah.
Orang-orang yang mencemoohnya tak akan pernah bisa merasakan bagaimana jadi dirinya. Bagaimana mungkin, seorang gadis yang kala itu masih SMA harus merasakan kenyataan pahit melihat bapaknya yang bajingan karena menggadaikan rumah dan pergi dengan perempuan lain.
“Nduk, bapakmu pergi sama perempuan lain, Nduk. Rumah ini digadaikan sama Ia. Bapakmu memang biadab. Tapi kita harus kuat, ya. Kamu atau Ibuk. Kita berjuang sama-sama,” ucap Ibuk dengan senyumnya yang tulus disertai pelukan hangatnya pada Gisya.
“Iya, Buk. Gisya yakin kita bisa melewati ini.” Dan saat itu juga, Gisya bertekad bahwa apa pun yang menimpanya tak akan membuatnya goyah selama ada sang ibu di sisi nya.
Untuk membantu ibunya, Gisya mulai berjualan kue di sekolah. Gisya sudah nyaman dengan hidupnya. Ia berharap akan terus seperti itu dan bapaknya tak akan pernah kembali meski ia harus menanggung hutang dari rumah yang telah digadai.
Namun, sekali lagi, bahagia memang tak akan kekal. Setahun berlalu, sang ibu sakit keras. Ternyata, sudah lama ibunya menutupi sakitnya hingga makin parah. Gisya tidak bisa melihat ibunya menderita hingga akhirnya ia pun memilih putus sekolah di tengah jalan. Padahal, tak lama lagi ia akan menjalani Ujian kelulusan. Namun, itulah keputusan terbaik baginya. Ia ingin sang ibu sembuh.
Gisya ingin sedikit lebih lama merasakan bahagia, yaitu dengan melihat ibunya kembali sehat. Biarkan saat ini dia bertindak egois. Biarkan ia memperjuangkan meski caranya salah. Biarkan ia menempuh dengan jalur yang lebih cepat. Masuk ke dunia malam adalah pilihan satu-satunya. Sebab gaji pekerja biasa sungguh tak cukup memenuhi pengobatan dan hutang yang tersisa.
Gisya mengetahui pekerjaan tersebut dari teman SMP-nya. Ia sempat bertanya lowongan pekerjaan pada Rina, yang ia tahu memang sudah bekerja dan tak lanjut sekolah.
“Udah, kalem aja Gis. Di sini tuh bukan booking-an kok. Kamu masih bisa jaga keperawananmu. Kita bukan kayak pelacur, Gis. Cuma nemenin nyanyi doang sama nyuguhin minum. Tapi ya bakal diraba-raba lah dikit gitu. Gimana, mau gak?” tawar Rina.
Lamat-lamat memikirkannya, Gisya pun setuju. Sebab gajinya cukup besar. Rina bilang, dalam per hari, ia mampu mencapai satu setengah juta dan menurutnya itu lebih dari cukup.
Kali ini, dengan langkah pelan tapi pasti, Gisya telah sampai ke tempat apa yang ia sebut berjuang. Di sana lah tempat itu. Sebuah tempat karaoke dengan ingar bingar lampu disko disertai orang-orang yang haus akan kesenangan duniawi. Sebab, sambil bernyanyi, mereka juga haus akan kecantikan si lady escort.
Bagi Gisya, jiwanya seakan mati. Ekspresi lengkungan senyumnya pada para pelanggan yang menghiasi raut wajah Gisya hanyalah topeng belaka. Mati-matian ia mempertahankan topeng ini setelah sebulan berlalu. Dengan cekatan, ia mulai menyuguhkan minum untuk si pelanggan dan mulai menemaninya bernyanyi. Sang pelanggan yang berumur kisaran 40-an tersebut mulai menyanyi dengan meliuk-liukkan pinggul yang sungguh membuatnya jijik sendiri. Namun sekali lagi, ia harus menahannya untuk kesekian kalinya.
Di tengah-tengah sesi menyanyi dengan pelanggan, lagi-lagi mereka mulai beringas. Dengan bebas, sang tangan pelanggan mulai memegang-megang anggota tubuhnya. Tak dipungkiri jika tubuh Gisya memang cukup molek semampai dengan kulit putih pucat serta rambutnya yang panjang tergerai bebas. Bukan tidak mungkin untuk membuat pelanggan nakal di karaoke melakukan hal senonoh. Apalagi, pakaian yang saat ini ia kenakan memang cukup minim. Dengan balutan dress biru muda model sabrina serta polesan make up yang cukup pas di wajahnya.
“Kamu mau nggak habis ini pindah ke hotel sama saya, dijamin bakal dapat uang jajan tambahan hehehe,” ucap si pria tua tersebut sambil mulai menggerayangi buah dadanya.
Dengan menahan perasaan marah namun masih dengan topeng yang menghiasinya, Gisya mulai menolak sebisa mungkin. Kalau dipikir-pikir, sudah sebulan bekerja, baru kali ini ada yang terang-terangan mengajaknya ke hotel. Padahal sudah jelas-jelas Gisya bukan pekerja seks. Mengapa om-om tua itu mengajaknya, apakah ia bodoh. Batinnya kesal.
“Nggak usah, Om. Saya cukup nemenin di sini aja, ya. Saya masih ada pelanggan yang lain nanti.”
“Ayolah, sayang. Kamu nggak mau nih? Om bayar mahal kalau kamu masih perawan. Lima juta? Sepuluh juta? lima belas juta? Semau kamu asal mau, ya?”
Seketika, Gisya menjadi bimbang. Ia sangat butuh uang cukup banyak agar ibunya tidak menderita sakit lagi. Di sisi lain, ia tak mungkin harus melangkah sejauh itu. Ibunya sering menasehati dan berpesan bahwa Gisya harus menjunjung tinggi kehormatannya.
Sang pria tua ini pun masih gigih dengan terus merayu Gisya dengan menyodorkan sebuah cek kosong dan bolpoin sambil berkata, “nih, kamu isi sendiri. Yakin kamu nggak mau? Kamu bebas mengisinya sesuai dengan uang yang kamu butuhkan.”
Pikiran Gisya bercabang dan mulai goyah. Ia tidak bisa. Ibunya adalah satu-satunya kebahagiaan yang ia punya. Gisya takut semesta mulai bertindak lagi sebelum usahanya masih berproses.
Maka, dengan ragu-ragu, diambil lah cek dan bolpoin itu dan ia mulai mengisinya dengan satu digit angka dua beserta tujuh digit angka nol. Sang pria tua itu pun tersenyum puas.
“Oke, habis ini Om ajak, ya. Om tunggu kamu pulang disini.”
Setelah beberapa jam berlalu, Gisya mulai diserang kepanikan. Ia sudah selesai bekerja dan om-om tua itu masih setia menunggunya di kursi pelanggan. Dengan mengembuskan napas perlahan, Gisya menghampirinya dan bertanya akan ke hotel mana. Sang pria tua pun tak menjawab, malah segera berdiri dan merangkul Gisya. Pertanda bahwa mereka akan segera melakukannya.
Lalu, di malam yang kelam itu, Gisya mengikhlaskan dirinya hancur. Membiarkan raganya tak lagi berharga. Rasanya memang sangat menyakitkan seakan berton-ton baja menghimpit dadanya. Ia harus menerima luka batin karena ini bukan murni keinginannya. Tak ayal, luka fisik pun ia terima sebab sang pria tua itu sungguh kasar, menerjangnya tanpa ampun seperti seorang masokis. Tubuh mungil Gisya tertindih tanpa sehelai benang pun. Gaun nya yang dipakai entah ke mana.
Gisya merintih dengan tangisan dan suaranya yang lemah. Tak lama, ia pun pingsan sebab tidak kuat menahan sakit, bersamaan dengan area kewanitaannya yang berdarah.
***
Mentari mulai menampakkan sinarnya dan masuk lewat celah jendela kamar hotel. Gisya yang sedang terkapar di kasur seketika terbangun dari pingsannya. Ia mencoba menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk dengan pupil matanya. Perlahan, matanya terbuka. Ia merenung melihat keadaan di sekelilingnya. Lantas memori kelam semalam membuatnya tersadar, bahwa apa yang dilakukannya benar nyata.
Sekarang kepala Gisya masih agak sakit. Dan ia memutuskan untuk segera memakai pakaiannya dan segera pulang ke rumah. Takut sang ibu akan cemas mencarinya.
Ketika sampai di depan pintu rumah, dengan ragu Gisya mengetuk.
“Buk, Gisya pulang,” ucap Gisya pelan.
Satu detik. Dua detik. Lama Gisya menunggu, sang ibu tak kunjung membuka pintu. Gisya semakin cemas, apa yang terjadi hingga ibunya tak segera membukakan pintu untuknya. Ibunya tak akan mungkin keluyuran mengingat kondisi tubuhnya yang lemah. Ia yakin ibunya di dalam. Karena tak mau menunggu lebih lama lagi, Gisya meminta bantuan tetangganya untuk mendobrak pintu rumah.
Gisya terpekik kencang meneriaki ibunya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat ibunya tergeletak tak berdaya di lantai. Tetangga yang membantu mendobrak seketika ikut mendekat dan melihat apa yang terjadi. Gisya pun meminta tolong sang tetangga untuk memanggilkan dokter yang berada di seberang rumahnya.
Tak lama kemudian, sang dokter segera datang menghampirinya untuk memeriksa ibunya mulai dari denyut nadi hingga detak jantungnya. Namun, dengan lirih dan penuh sesal, ia berkata sambil memegang tangan ibu Gisya, “mohon maaf mbak, setelah saya periksa, ibu mbak sudah berpulang. Saya ikut berbela sungkawa ya. Mbak yang ikhlas.”
Dunia Gisya runtuh saat itu juga. Sorot matanya mulairedup. Ibunya adalah satu-satunya kebahagiaan. Lantas, mengapa kebahagiaan itu harus direnggut juga. Ia menangis penuh sesal. Pelupuk matanya bermandikan airmata.
Dalam perjalanan ke pemakaman, Gisya masih terus tersedu. Sakitnya luar biasa menyesakkan. Harusnya, ia tak terlalu terobsesi dengan bahagia. Sebab bahagia memang semu adanya. Jika ibunya memang sudah saatnya pergi, mengapa ia terus memaksa bekerja dengan menghalalkan segala cara.
Gisya sangat tahu, apa yang ia lakukan kemarin malam dan pekerjaannya selama sebulan sungguh rendah. Perjuangannya selama sebulan itu sungguh perjuangan yang salah. Apalagi keputusannya untuk merelakan kehormatannya semalam. Tak henti-hentinya ia meminta maaf di depan makam sang ibu sambil mengusap-usap nisannya.
Gisya berjanji tak akan lagi mencari jalan yang salah hanya untuk bahagia. Sebab bahagia selalu ada porsinya sendiri. Di setiap duka yang menyesakkan, selalu ada bahagia yang menjanjikan. Seperti kata sebuah petuah, selalu akan ada pelangi setelah hujan badai yang lebat.