{"source_sid":"54A94D7C-208D-48D7-AEF8-4B39E7187419_1596774004911","subsource":"done_button","uid":"54A94D7C-208D-48D7-AEF8-4B39E7187419_1596774004878","source":"other","origin":"gallery"}

Ilustrasi: Salsa

Penulis: Rizqi Nurhuda Ramadhani (Alumni Sastra Inggris UB)

Suatu sore, di suatu hari yang biasa, di sebuah kopian yang biasa, duduklah seorang pria yang juga biasa saja. Ia adalah pria yang jika kau sedang berjalan di tengah hiruk-pikuk manusia, maka ialah figuran yang sepintas saja kau lirik, lantas kau lupakan wajahnya. Sebenarnya parasnya tidak buruk-buruk amat, tapi juga tidak tampan.

Sudah beberapa minggu ini ia rutin mengunjungi kopian di mulut gang itu. Sebenarnya gang itu adalah jalan pintas yang diapit pasar dan kompleks kos-kosan, sementara tidak jauh dari mulut gang terdapat halte bus. Sehingga tiap saat selalu riuh disesaki oleh orang-orang yang hilir mudik. Saban sore, tepat di kursi yang berseberangan dengan jendela, pria itu selalu duduk di situ. Matanya lekat di kaca jendela mengawasi lalu-lalang sepanjang gang. Yang ia nantikan adalah sosok perempuan yang melenggang dari arah jalan raya yang kemudian berbelok masuk ke arah mulut gang, lalu berjalan terus keluar di ekor gang itu. Lenggak-lenggok tubuhnya serupa putri keraton, perlahan tapi langkahnya mantap.

Wajahnya, aduhai. Meski tak bisa dibilang sangat cantik, tapi juga jauh dari kesan buruk rupa. Dalam pandangannya, ia cukup. Pas. Sempurna. Tidak kurang pun tidak berlebihan. Tidak seperti artis-artis ibukota yang sering ia lihat di teve, yang baginya, meskipun kulit mereka putih tetapi sepucat manekin. Seperti bikinan pabrik. Lain halnya dengan paras si perempuan itu yang langsat dan begitu hidup. Ialah gambaran dari imajinasi si pria tentang dewi kahyangan yang menjelma nyata.

Kerudungnya yang lembut dan tipis kadang berayun-ayun manja dimainkan angin, sementara rambutnya yang digelung anggun menerawang disorot sisa sinar kemerahan, tak mampu disembunyikan kain kerudungnya yang takluk pada tajamnya cahya sore. Sementara itu di bawah naungan kerudung depannya yang teduh, beberapa helai rambutnya jatuh menempel di keningnya yang sedikit berkilau basah diselai bulir-bulir keringat yang ditampung oleh alisnya yang menukik manis. Sisa aroma parfumnya yang tipis namun khas sekali dua kali dibawa angin sampai ke dalam kopian.

Pernah sekali kesempatan, di suatu sore yang berangin, jaketnya tersingkap memperlihatkan kemeja bagian dadanya. Sekilas, ia melihat kartu identitasnya yang tertera logo kampus yang terombang-ambing di depan dadanya. Pada kesempatan lain, ia pernah mendengarnya berbicara lewat telepon genggamnya. Suaranya yang selembut satin kadang juga hinggap di telinga si pria.

Seandainya ia penyair, pasti ia sudah menggubah berbendel-bendel puisi tentang perempuan itu. Seandainya ia pematung, akan ia abadikan kemolekannya dalam pahatan yang abadi. Tetapi ia hanyalah seorang pria tak ada kerja yang tinggal di ujung gang tak jauh dari kopian kecil itu. Baginya, adalah anugerah untuk mampu merekam parasnya, ekspresinya, gerak-geriknya, aromanya, suaranya, semuanya. Baginya, seandainya Tuhan hanya menciptakan dunia sebatas jalan raya, mulut gang, lalu berakhir di ujung gang itu, sepertinya itu sudah lebih dari cukup.

Teman-temannya tahu, betapa tiap jam lima sore si pria akan memaku pandangannya pada mulut gang.

“Sikat aja bray,” selalu begitu celetuk teman-temannya setiap mereka memergokinya memandang perempuan itu.

“Lumayan tuh bodi.” Begitulah celetuk yang lainnya jika si perempuan lewat. Jika sudah begitu mereka kemudian akan berbincang-bincang panjang lebar soal perempuan, lalu setelahnya membangga-banggakan sudah berapa perempuan yang berhasil mereka rayu, atau anak tetangga mana saja yang sudah jatuh dalam pelukan mereka.

Si pria tidak akan menampik bahwa dalam imajinasinya, sudah berkali-kali ia melempar perempuan itu ke ranjang, menggigit lepas kancing kemejanya, mengunyah dadanya, lalu menyedoti lehernya sampai ke pangkal tengkuk, sebelum akhirnya membayangkan bergumul dengannya. Tapi ia benci membicarakannya. Ia benci jika teman-temannya memandang perempuan itu dengan mata binatang mereka. Ia juga benci membagi imajinasi dan mimpi-mimpinya soal perempuan itu. Seperti malam, baginya perempuan itu adalah penjelmaan kerapuhan dan misteri. Ia bahkan tidak tahu namanya, tetapi sudah tergila-gila memujanya.

Sore ini bidadarinya lewat lagi. Teman-temannya langsung berhenti mengobrol dan beralih mengerlingnya. Ia acuhkan teman-temannya. Ia tak peduli. Matanya sudah ia kunci mati pada sosok itu. Begitu juga hatinya. Ia takluk. Ingin rasanya ia melompat dari tempat duduknya lalu menerjang perempuan itu. Mendekap tubuhnya yang sudah ia hafal aroma parfumnya, menangkap ujung kerudung kremnya yang menari-nari liar dibelai angin, membawakan tas flanelnya yang sudah pasti berisi buku-buku berat, lalu menggendongnya agar kaki-kaki mungilnya tidak lecet dan lelah berjalan.

Namun, ia hanya diam mematung. Tubuhnya dibelenggu, tangan dan kakinya menolak patuh, dan lidahnya kelu membatu. Maka ia hanya mampu mengaguminya sepenuh hati. Merelakan dengan seikhlas-ikhlasnya. Bagaimanapun, ia hanya seorang pria pengangguran biasa. Seandainya ia nekat mendekatinya, apa yang bisa ia tawarkan? Akan lain ceritanya jika seandainya saja ia adalah anak orang kaya. Seandainya saja ia terlahir sebagai pria tampan. Seandainya saja ia berpendidikan tinggi dan punya jabatan. Seandainya saja… ah… ia berhenti berandai-andai.

***

Di suatu sore yang sama, di hari yang sama, dan di gang yang sama. Di ujung mulut gang yang berbeda, di sebuah kamar kontrakan, agak menjorok ke dalam gang yang lebih kecil, seorang perempuan yang lebih muda melakukan rutinitasnya yang biasa: meneteki bayinya sembari menggarap setrikaan baju yang membukit di sampingnya. Sehabis maghrib nanti pekerjaannya sudah harus rampung. Baju-baju itu sudah harus wangi dan rapih sehingga empunya puas saat ia nanti nengantarnya.

Sudah setahun ini ia menggarap pekerjaan apapun untuk menyambung nyawanya beserta kedua anaknya. Lelakinya sudah lama tidak bekerja semenjak ia dipecat dari pabrik dulu. Hanya bermalas-malasan, berkeliaran tidak jelas, atau nongkrong di kopian sampai larut. Maka ialah yang menanggung kebutuhan keluarganya. Ia lakukan apapun sebisanya: membantu katering, menjadi binatu, atau menggarap setrikaan, agar dapurnya tetap mengepul. Tangannya sigap berlomba-lomba dengan peluh yang menitik-nitik di keningnya. Matanya sesekali mengawasi bayinya yang terlelap damai dalam dekapannya.

Kemudian ia mendengar seseorang mengetuk pintu rumah kontrakannya. “Sebentar,” sahutnya setengah berteriak. Dengan hati-hati ia pindahkan bayinya lalu mengancingkan dasternya dengan cepat. Di depan pintu, dilihatnya seorang perempuan muda berkerudung krem. Ah, si mbak pelanggan rupanya. Dengan cekatan ia membungkus tumpukan baju yang masih hangat, baru ia setrika. Si mbak berkerudung itu menerimanya dengan sumringah sambil menyerahkan beberapa lembar rupiah. Sambil melihat pelanggannnya pergi, ada sedikit rasa iri yang menikam perasaannya. Mungkin jika tidak keburu bunting dan menikah, ia akan seperti si mbak tadi. Kuliah atau bekerja dengan masa depan yang cerah.

Seringkali pada malam-malam yang sunyi, kala anak-anaknya tidur, ia menangis dalam diam, dalam sengguk tangis yang tersendat-sendat sampai dadanya terasa perih. Setelah itu pasti kenangan dan penyesalan akan tumpang-tindih saling berebut memenuhi kepalanya. Perempuan itu ingat, betapa pernikahan adalah jalan terkutuk baginya. Demi apa yang ia kira adalah cinta, ia harus membayar mahal. Suaminya seakan menjadi orang yang benar-benar berbeda saat mereka dulu masih menjadi kekasih. Janjinya untuk menikah memang dipenuhinya setelah ia bunting dan didesak keluarganya. Namun, pernikahan adalah gerbang keramat yang menumpahkan segala realita dan permasalahan kepadanya. Bahkan ketika umurnya masih begitu belia, ia harus rela putus sekolah.

Padahal, meskipun bukan juara kelas, dulunya ia termasuk gadis yang cerdas. Ia juga suka membaca buku di perpustakaan sekolah. Baginya, dalam lembaran-lembaran itu banyak dunia asing yang tidak pernah dikenalnya. Pernah ia membaca sebuah buku yang membuatnya memimpikan sosok lelaki yang serindang pohon. Kokoh, tegak, dan tinggi menjulang namun cukup lebat untuk meneduhinya dari debu yang panas dan angin yang nakal.

Namun, ia sadar bahwa dulunya ia hanyalah gadis miskin yang naif dan pemimpi. Ia ternyata begitu hijau soal cinta. Segala kenangan manis saat gadis dulu kini menjadi pil pahit yang harus ia telan tiap malam-malam yang sepi. Baginya, pengandaian lelaki sebagai pohon nyatanya adalah konyol. Pikirnya, lelaki manapun yang mengandaikan perempuan serupa bunga yang ranum dan membanggakan dirinya sebagai pohon pastilah lelaki bodoh, jumawa, dan tak tahu diri. Tetapi ia adalah perempuan. Ia harus tunduk pada imaji laki-laki. Betapapun eloknya sekuntum bunga, betapapun segarnya sehelai daun, nasibnya pasti: membusuk digerogoti serangga atau gugur tergeletak tak berdaya di atas tanah. Hingga akhirnya mati, kering, lalu sarinya dicecap habis oleh akar pohon.

Ia lalu tersadar dari lamunannya. Rengekan bayinya membawanya kembali ke rumah kontrakan itu. Ia mengingat pekerjaan yang belum rampung, panci yang kosong, dan toples susu yang akan segera habis. Dengan tergopoh-gopoh ia menimang bayinya sambil meneruskan setrikaannya. Ada hal-hal yang harus dia lakukan, tekadnya. Kini waktu bukan lagi miliknya, tetapi milik anak-anaknya. Kesenangan membaca seperti ia masih gadis dulu adalah kemewahan. Ia sudah lelah, ia sudah menyerah. Meskipun usianya masih sangat muda, sebagai ibu, ia sudah tak lagi berhak menuntut apapun.

***

Di seberang jalan di ujung yang berlawanan dari mulut gang, seorang perempuan berkerudung tiba di rumah kosnya. Sambil bersenandung kecil, ia memasuki kamarnya, menutup pintu, lalu meletakkan barang bawaannya: tas flanel yang penuh buku dan kantong plastik berisi baju bersih. Raut wajahnya lelah, tetapi matanya segar dan nyalang. Ia merasa bergairah. Sambil menyematkan jaket di gantungan, satu-persatu jarum-jarum yang melekat di kerudungnya dilucutinya seraya menghadap wajahnya sendiri yang menatap balik dari cermin riasnya.

Sambil menghempaskan kerudung entah ke mana, ia memejamkan mata. Masih lekat dalam ingatannya sore tadi saat melewati gang di muka kosannya. Saat melewati sebuah kopian di mulut gang itu, lagi-lagi ia menjadi sasaran tatapan para pria yang sedang duduk di kopian tersebut.

Ia sadar bahwa mereka sering kali membicarakannya. Ia sadar beberapa di antara mereka menatapnya dengan pandangan berahi. Ia sadar tiap kali ia pulang dan lewat gang tersebut, orang-orang itu, mereka selalu sama: beberapa pekerja kasar, beberapa pengangguran, dan sisanya bermuka sangar. Mungkin preman atau rampok, atau apalah. Entah. Ia tak peduli. Namun, ia juga sadar bahwa ia, dengan sepenuh hatinya sengaja memilih jalan pulang yang memutar lewat gang tersebut. Ia menikmatinya. Ia merasa hidup.

Kemudian ia mulai berandai-andai. Apakah jika ia lewat pada tengah malam yang sepi, ia akan disergap oleh gerombolan laki-laki itu? Ia juga berandai-andai bagaimana jika salah seorang di antara mereka membuntutinya sampai kosannya dan menyerangnya saat ia tidur? Masih dengan berandai-andai, ia bangkit dari kursi meja riasnya. Kemudian ia menghidupkan televisi, menyetelnya keras-keras, melepaskan potongan terakhir pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu naik ke atas ranjang dengan perlahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.