Tabiat Orang-Orang Pengangguran
Penulis: Sholah Zamzami
Profesi: Mahasiswa
Institusi: Politeknik Negeri Malang
Gobloh, dipecat dari pekerjaannya di sebuah kantor. Pekerjaanya adalah tukang bersih-bersih di suatu lembaga pemerintahan. Kerjanya hanya bersih-bersih kebun di depan kantor yang banyak bunga-bunga dengan spesies aneh, lalu membersihkan teras kantor dan lorong-lorongnya. Sudah, itu saja.
Namun tetap saja, ia di pecat. Penyebabnya : Gobloh sering tidak masuk ke kantor, kalau masuk masih saja terlambat, dan sudah terlambat masih sempat main gawai sebelum kerja. Sudah kerja, pekerjaanya tidak bersih. Kepala kantornya pun marah mencak-mencak melihat kelakuan malas Gobloh. Yang paling pertama kena semprot adalah Parto, orang yang membawa Gobloh bekerja di kantor tersebut. Parto pun sudah mafhum dengan sifat Gobloh. Sebenarnya Parto kasihan terhadap Gobloh karena sulit mendapat pekerjaan. Ia pun ikhlas jika Gobloh ditendang dari kantor.
Ketika Gobloh mendapat kabar pemecatan tersebut, ia santai santai saja. Istrinya yang baru dinikahinya setelah Gobloh mendapat pekerjaan tentu saja marah marah melihat suaminya dipecat dari pekerjaan yang telah dijalaninya selama empat bulan. Hal itu cukup beralasan. Kira-kira lima bulan lagi anak yang ada di kandungan Martini, istri Gobloh, akan lahir. Gobloh hanya melengos ketika setiap hari kena semprot istrinya. Selain terkena semprot istrinya, tetangganya pun tak kalah nyinyir dengan nasib Gobloh. Alhasil, istrinya malu untuk keluar rumah untuk sekadar membeli gula atau beras. Dalam keadaan ini Gobloh tetap saja melengos.
Toh itu hanya dianggap angin lalu baginya. Ia sudah sudah terlatih menjadi pengangguran, bahkan sebelum mendapat pekerjaan. Dan lagi, ia merasa berbakat menjadi pengangguran.
Oleh karena itu, untuk melatih bakatnya menjadi pengangguran, ia membuat daftar kegiatan pengangguran. Daftar itu Ia buat setelah lulus dari SMA. Mula-mula ia bangun tidur jam sepuluh pagi lalu tanpa mandi ia melanjutkan dengan merokok dua batang ditemani secangkir kopi. Setelah itu, dia berjalan jalan entah kemana sampai sore. Kadang-kadang ia pergi memancing ke sungai sepanjang hari. Saat pulang ke rumah ia mandi, lalu keluar lagi ke warung kopi di sudut pasar dan menghabiskan waktu sampai pagi untuk berbincang dengan siapa saja. Itu semua ia lakukan sebelum dibawa ke kantor oleh Parto, sepupunya, dan pasca dipecatnya dia dari pekerjaan itu.
***
Orang tua Dableh sebenarnya harus bahagia saat melihat Dableh, anaknya, diwisuda dari Fakultas Pertanian. Keputusan Dableh untuk fokus menjadi pengangguran tentunya bukan keputusan yang diharapkan oleh orang tuanya. Orang tuanya sudah susah payah hutang sana sini guna membiayainya kuliah. Apalagi, kedua orang tuanya hanyalah guru kecil kecilan di SMA swasta.
Penyebab Dableh memutuskan menjadi pengangguran dikarekan adanya peraturan pemerintah yang akan memberi tunjangan kepada setiap pengangguran. Sontak, tanpa piker panjang Dableh girang bukan kepalang mendengar kabar tersebut. Padahal nilai di ijazah sarjana Dableh tidak jelek-jelek amat bila bersaing untuk modal mencari kerja. Ijazah-ijazah yang diperoleh Dableh mulai jenjang taman kanak kanak hingga sekolah dasar hanya Ia pajang rapi di dinding dinding kamarnya. Lalu dengan bangganya ia berkata, “hari ini aku resmi menjadi pengangguran, selamat tinggal sekolah yang membosankan.”
Pernah suatu waktu, Dableh membuat video rekaman untuk menunjukkan betapa bangganya ia menjadi seorang pengangguran. Lalu diunggahnya video tersebut ke seluruh media social miliknya. Bahkan, ia rela mengubah KTP dan biografi di media sosialnya dengan menyantumkan pengangguran –dengan bangganya– sebagai pekerjaannya.
“anak kita gila sepertinya,” keluh ibu anak tersebut ketika anaknya dengan terang-terangan
bercita cita menjadi pengangguran.
Untuk menunjang aktivitasnya sebagai seorang pengangguran, ia membeli sebuah kursi malas untuk di letakkan di depan rumah. Ia duduk di kursi itu sejak ia bangun tidur hingga menjelang sore sambil membaca apa yang bisa dibaca, dari koran sampai brosur obat peninggi badan, tidak lupa ditemani dengan rokok tentunya. Sedangkan, saat malam hari adalah waktu yang tepat bagi pengangguran –menurut Dableh– untuk minum kopi hingga menjelang pagi.
***
Ternyata, Gobloh dan Dableh adalah teman satu meja kopi di sudut pasar. Mereka hampir setiap hari duduk di warung tersebut lalu berbicara ngalor ngidul ditemani kopi dan rokok. Pemilik warung sudah hafal dengan wajah dan tingkah laku mereka berdua. Pengunjung yang lain pun sudah kenal dekat dengan mereka berdua. Bagi mereka, Gobloh dan Dableh adalah icon dari warung kopi tersebut.
Suatu ketika, dalam diskusinya, Gobloh dan Dableh merasa bahwa pengangguran seharusnya punya wadah perkumpulan sesama pengangguran. Hal itu –menurut Gobloh– diperlukan untuk menunjukkan eksistensi para pengangguran. Itu dikarenakan, akhir-akhir ini Gobloh merasa gusar karena pengangguran merasa dipinggirkan dan didiskriminasi oleh sesama manusia karena status mereka menjadi pengangguran. Contoh konkritnya adalah menjadi bahan pembicaraan oleh tetangga. Apalagi, tunjangan untuk pengangguran, seperti yang telah ditunggu-tunggu Dableh, yang dijanjikan pemerintahan terpilih pada kontestasi politik tahun lalu belum terlaksana, dan sepertinya memang tidak akan pernah dilaksanakan.
“Betul, pengangguran juga manusia kan? Kami berhak hidup layak seperti manusia pada
umumnya sesuai undang-undang dan hak asasi yang berlaku di negara ini,” ujar Dableh yang
lulusan sarjana, sambil berapi-api.
Akhirnya setelah didiskusikan panjang lebar, ditambah lagi tinggi, di warung kopi selama tujuh hari tujuh malam, Nyono dan Sarto memutuskan untuk mendirikan Persatuan Pengangguran atau disingkat Pepeng. Anggotanya tentu saja masih Gobloh dan Dableh.
Dengan berdirinya perkumpulan tersebut, para perintisnya, Gobloh dan Dableh semakin gencar melakukan promosi, atau mungkin propaganda, untuk menarik orang senasib sepengangguran masuk ke Pepeng. Promosi mereka lakukan dari pintu ke pintu, warung ke warung, maupun melalui selebaran yang ia lemparkan di jalanan. Selebaran tersebut isinya kira-kira begini :
Mari para pengangguran.
Satukan langkah kalian.
Kita akan tetap bertahan.
Lawan segala penindasan.
Kita senasib sepengangguran.
Banyak orang yang merasa simpati akan hal tersebut. Mereka berpendapat, dengan organisasi tersebut diharapkan akan mengurangi angka pengangguran di negara ini. Orang orang gelandangan, beberapa sarjana yang lulus tetapi tidak mendapat kerja, sampai orang kantoran yang statusnya bekerja namun nyatanya adalah pengangguran terselubung ikut bergabung dengan organisasi ini.
Kegiatan organisasi ini bervariasi, antara lain: jalan jalan bersama, entah kemana mereka pergi melancong, lalu mancing bersama di pinggir sungai, sampai puncak kegiatan adalah minum kopi bersama di warung sudut pasar. Obrolan di warung kopi adalah bagian yang paling seru. Kadangkala obrolan tersebut berlangsung sengit sampai semalam suntuk. Yang mereka bicarakan bisa mulai dari hakikat seekor tikus di pasar sampai penyebab naiknya harga dolar terhadap rupiah.
Namun, keramaian di warung kopi karena diskusi Pepeng lambat laun tidak disukai oleh pemilik warung kopi. Namanya juga pengangguran, tidak punya pekerjaan, otomatis tidak punya uang. Oleh karena itu, semakin banyak pengangguran yang nongkrong di warung kopi tersebut semakin banyak nama yang terdaftar di buku hutang warung tersebut. Anggota Pepeng pun semakin banyak. Mereka mulai membuka cabang di kota kota lain. Ada yang menyambut baik karena merasa hobi pengangguran mereka menjadi tersalurkan.
Ada pula yang menyambut dengan kecaman, seperti aliansi warung kopi atau disingkat “Awak”. Mereka merasa dirugikan dengan berkumpulnya para pengangguran untuk diskusi ngalor ngidul di warung mereka. Sudah diskusi sampai pagi dengan topik yang ngalor ngidul, lalu tak membayar alias hutang dulu. Apalagi keberadaan mereka dengan yang banyak membuat warung kopi penuh sesak.
Awak pun akhirnya bertindak. Melalui rapat pleno akhirnya diambil keputusan dengan tegas. Keputusannya : melarang segala kegiatan Pepeng dilaksanakan di seluruh warung kopi yang tergabung dengan Awak. Persatuan pengangguran pun geram karena merasa telah di diskriminasi, apalagi petingginya, Gobloh dan Dableh.
“Gak di rumah, gak di warung kopi kita selalu saja dikucilkan,” ujar Dableh sambil marah-
marah.
***
Berhubung tahun itu tahun politik, Gobloh dan Dableh tertarik untuk mendirikan partai politik di negeri ini. Dengan bekal anggota yang banyak dan hampir tersebar di seluruh penjuru negeri membuat Gobloh dan Dableh yakin partainya akan menang. Anggota Persatuan Pengangguran pun setuju dengan ide Gobloh dan Dableh agar ada partai yang menyalurkan suara dan aspirasi mereka, apalagi diskriminasi terhadap kaum pengangguran makin menjadi-jadi.
Akhirnya setelah rapat tertutup, atau mungkin terbuka, di pinggir kali, mereka sepakat mendirikan partai untuk mengikuti kontestasi politik. Partainya bernama Partai Persatuan Pengangguran atau disebut dengan Pe-3. Gobloh jadi ketua umumnya karena lebih senior soal pengangguran. Sementara Dableh menjadi ketua hariannya. Para pengangguran di negeri ini pun menyambutnya dengan baik seakan juruselamat mereka.
Ajaibnya, mereka lolos untuk mengikuti kontestasi politik. Istri dan orang tua petinggi Pe-3 girang bukan kepalang. Jika suami atau anak mereka terpilih maka otomatis mereka tidak nganggur lagi dan pastinya dapat uang lagi. Selain istri dan orang tua mereka, Awak merupakan golongan yang turut senang akan hal ini, bahkan mereka sampai mensponsori kampanye Pe-3. Ada udang dibalik batu. Hal itu tidak lain dan tidak bukan agar jika mereka terpilih jadi anggota dewan dan dapat duit banyak, mereka bisa melunasi hutang-hutang mereka di warung kopi yang se-gunung, plus berharap mereka investasi di warung-warung kopi yang tergabung dengan Awak.
Tetapi, pengangguran ya tetap pengangguran, tabiat dan kelakuannya tetap sama. Bahkan setelah mereka terpilih jadi anggota dewan. Kerja mereka hanya nongkrong sambil ngopi, mancing , atau jalan-jalan. Bedanya, hanya tempat-tempat yang mereka gunakan untuk melakukan kegiatan itu. Ngopinya di kafe, memancing di laut dan kali, atau jalan-jalan ke luar negeri.
Para anggota Pe-3 yang duduk di dewan, jumlahnya tujuh orang termasuk Gobloh dan Dableh , akhirnya dilengserkan. Mereka dipecat setelah melaporkan hasil seratus hari kerja mereka dengan satu ember penuh ikan gatul.
Istri, orang tua mereka, dan Awak hanya bisa melongo. Rakyat yang telah memilih mereka guling-guling di jalanan. Tetapi, mereka tidak bisa menangis.
Dasar tabiat pengangguran. Semoga tidak terjadi di negeri kita, ya kan?
Kab. Malang, 20 April 2020
Tentang Penulis:
Lahir di Singosari, 18 April 2000. Beberapa karya penulis tersebar dalam bentuk antologi. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Jurusan Teknik Mesin Polinema. Penulis dapat dihubungi di Instagram @4.agam