Serangkaian Ketidaksesuaian Prosedur Penangkapan Tiga Aktivis oleh Polresta Malang

0
Ilustrasi: Republika.co.id

Penulis: Gemilang Ayu Maulida

Setelah digegerkan dengan penangkapan yang tak sesuai prosedur kepada tiga aktivis oleh Polresta Malang beberapa hari yang lalu, banyak dari kita mungkin bertanya-tanya bagaimana sebenarnya prosedur penangkapan pelaku tindak pidana oleh penyidik?

Menurut Pasal 1 Angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan itu sendiri adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Penyidik dalam tugasnya berhak melakukan penangkapan. Dalam Pasal 1 Angka 20 KUHAP penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dalam Pasal 17 KUHAP, perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Bukti permulaan ini diperlukan untuk menduga adanya tindak pidana, sehingga tidak dapat dilakukan penangkapan secara sewenang-wenang. Alat bukti sendiri seminimalnya berjumlah dua bukti, dan dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa.

Selanjutnya dalam Pasal 18 Ayat (1) KUHAP, pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

Jika penyidik melakukan penangkapan tanpa memperlihatkan surat tugas, memberikan surat penangkapan, atau surat penangkapan yang diberikan tidak memuat identitas tersangka serta alasan penangkapan didalamnya, tentu saja penangkapan tersebut menjadi tidak sah. Sungguh mengherankan apabila penyidik serta merta menangkap seseorang tanpa memerhatikan prosedur.

Dalam kenyataannya dikaitkan dengan kasus penangkapan dan penahanan tiga aktivis tadi, dalam siaran pers yang diluncurkan, penangkapan tiga aktivis tersebut tidak disertai dengan menunjukkan bukti surat penahanan oleh polisi. Saat dimintai surat penjemputan, polisi hanya menunjukan surat yang tidak ada nama yang bersangkutan didalamnya, sehingga ia sempat menolak untuk menuruti permintaan polisi tersebut.

Sebagai pembaca tentu kita bisa menilai tindakan yang dilakukan oleh polisi tersebut tidak sesuai dengan beberapa pasal yang sudah dipaparkan diatas. Ketiga aktivis itu kemudian diproses secepat kilat, lalu dinaikkan statusnya sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana penghasutan yang tertuang pada pasal Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 160 KUHP tersebut berbunyi, barangsiapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diherikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul “KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal” menerangkan bahwa menghasut artinya mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Pasal penghasutan ini termasuk dalam delik materil, yaitu tindak pidana dinyatakan terjadi jika telah ada akibatnya.

Berbeda dengan delik formil yang tidak memerlukan adanya akibat, dengan terjadinya suatu tindakan pidana sudah langsung dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi.  Sebagai contoh delik formil adalah tindak pidana pencurian, jika sudah terpenuhi unsur-unsur pencurian, tindak pidana sudah terjadi tanpa melihat apakah terdapat akibat kerugian dari tindak pencurian tersebut atau tidak.

Karena termasuk delik materil, dengan ini berarti seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki. Jadi jika penyidik mengenakan pasal penghasutan kepada ketiga aktivis tadi, tentunya penyidik harus dapat membuktikan telah terjadinya akibat dari penghasutan tersebut. Jika tidak, maka ketiga pemuda tadi tidak dapat dituntut dengan pasal penghasutan.

Disebutkan juga dalam siaran persbahwa kuasa hukum ketiganya hingga kini belum mengantongi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari penyidik. Padahal, jika merujuk pada Pasal 72 KUHAP dikatakan bahwa atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya. Lantas bagaimana cara ketiga aktivis tadi beserta kuasa hukumnya menyusun pembelaan tanpa BAP?

Sekali lagi kita saksikan sendiri tindakan-tindakan menyimpang aparat penegak hukum dalam menangani sebuah perkara. Sebetulnya image apa yang berusaha dibangun oleh para aparat tadi hingga mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sekarang siapa yang mestinya kita sebagai warga negara harus percayai?Mengutip kata-kata yang seringkali diucapkan dalam dunia hukum: Fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.