Raih Penghargaan Internasional, PSLD UB Masih Perlu Perbaikan


MALANG-KAV.10 Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya meraih penghargaan internasional dalam Konferensi Zero Project sebagai Best Practices in the World di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Vienna, Austria, pada 19-21 Februari 2020. Penghargaan ini didapat sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan UB melalui PSLD dalam membuka kuota dan jalur khusus bagi penyandang disabilitas. Selain program penerimaan tersebut, PSLD memiliki program pendampingan bagi mahasiswa disabilitas berupa pemberian bantuan dan pelayanan kelas.
“Misalnya bagaimana ketika anak tuli diterangkan dosennya maka butuh ada penerjemah, ketika ada hambatan aktivitas maka butuh ada pendampingan untuk anak itu, jadi selain menerima kami juga mendampingi,” ujar Ketua PSLD Zubaidah Ningsih.
Namun, Zubaidah juga mengungkapkan bahwa PSLD kesulitan untuk menyelaraskan jadwal antara pendamping dengan penyandang disabilitas. Kesulitan ini terjadi karena pendamping diambil dari mahasiswa semester tiga hingga tujuh dengan prodi yang berbeda-beda.
Di sisi lain, Ketua Forum Mahasiswa Peduli Inklusi (FORMAPI) Andi Zulfajrin Syam mengatakan bahwa hendaknya PSLD lebih aktif dan masif dalam mendata mahasiswa disabilitas yang mungkin secara fisik tidak terlihat, seperti autisme, attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), atau jenis disabilitas mental lainnya. Selain itu, menurut Andi kurangnya staf untuk digitalisasi buku di PSLD juga perlu diperhatikan.
“Staf untuk digitalisasi buku itu mungkin bisa diperbanyak agar teman-teman netra ketika mengajukan konversi buku dari hardfile ke softfile bisa segera terselesaikan. Kendalanya selama ini ketika kita mengajukan itu tidak bisa terselesaikan secara cepat, jadinya teman-teman difabel netra bisa ketinggalan materi dibanding temen-temen non difabel lainnya,” ujarnya.
Lebih lanjut Andi menjelaskan perihal perlunya diadakan pelatihan secara mendalam bagi volunteer untuk menumbuhkan kepekaan dan mempunyai disability awareness yang komprehensif. Hal ini dikarenakan volunteer yang terkadang masih pilih-pilih terhadap difabel yang ingin mereka dampingi.
“Misalnya ada volunteer yang lebih condong ke tuli, tapi nggak tahu cara gandeng netra, atau nggak tahu cara gandeng atau mendorong kursi roda temen-temen daksa. Hal lainnya juga semoga PSLD bisa lebih memasifkan lagi disability awareness terhadap dosen-dosen sehingga ketika memiliki mahasiswa difabel di kelas tidak bingung cara mengajarnya,” ungkap mahasiswa Hubungan Internasional angkatan 2017 tersebut.
Selama ini pendamping mahasiswa disabilitas mendapat insentif dari PSLD. Namun menurut Andi, PSLD bisa berbuat lebih baik ketika pendamping juga mendapatkan prestasi di bidang akademik.
“PSLD bisa memberikan penghargaan kepada mereka mungkin berupa sertifikat atau mungkin bisa diusahakan PSLD menjadikan pendampingan mereka sebagai pengganti magang, pengganti KKN di fakultas masing-masing. Jadi mereka tetap dapat insentif dari PSLD tetapi secara tugas kuliah mereka juga bisa terbantu, itu sih,” pungkas Andi.
Penulis: Adelia Firsty Hernanda, Hamim Maulana Rahman
Editor: Ima Dini Shafira