Ilustrasi: Ghani

Penulis: Agung Mahardika

Sekarang adalah libur Natal dan Tahun Baru. Aku merayakan masa yang langka ini, masa di mana bisa bersantai tanpa terpaku kerutinan, tanpa berbaur dengan hiruk pikuk kesibukan kota, tanpa terbawa putaran roda kehidupan yang menjenuhkan.

Namaku Santo, hanya Santo, tanpa nama awal dan nama akhir. Panggil aku Santo dengan vokal O seperti kamu menyebut kata bento. Aku Santo, seorang pemuda yang merayakan liburan di Jogja. Hari pertama, tepatnya malam hari aku menyusuri jalanan Malioboro. Malioboro memang lebih indah disusuri malam hari. Seperti diketahui, siang hari terlalu terik untuk manusia tropis yang terbiasa hidup di kota dengan udara sejuk, malam hari membuatku lebih bisa menikmati kecantikan Malioboro. Lampu kota yang temaram berhiaskan besi berlekuk-lekuk layaknya batik Jogja, andong dan becak lalu lalang mengangkut sepasang muda-mudi, suami istri, sekelompok anak muda yang saling berkawan, atau satu keluarga yang lengkap dengan cucu beserta kakek neneknya, serta aneka kuliner di sebelah timur dan aneka oleh-oleh yang dijajakan di sebelah barat. Sebelah timur tak sedikit pun membuatku tertarik, tapi sebelah barat barat jalan raya ini yang membuatku tertarik, aneka pakaian mulai dari bayi, anak-anak, remaja, hingga lansia, yang tentunya semua khas Jogja ada di sini. Tepat di tengah bentangan jalan Malioboro, berdiri sebuah toko batik paling terkenal di Jogja, Lam-Alif Batik. Tepat di tengah  bentangan jalan Malioboro batik aku terhenti dan masuk ke dalam toko.

“Ini keren, gak? Atau wagu?”, tanyaku kepada Yudhe, temanku berlibur di Jogja.

Apik-apik ae.

Aku menenteng sebuah baju batik bermotif supit urang dengan kombinasi warna biru laut dan hitam, dengan kancing yang juga berwarna biru laut sebanyak lima buah dari bawah leher sampai perut, dengan kerah bordiran bermotif bunga, sebuah kombinasi yang cantik dan elegan jika dikenakan serang gadis bertubuh mungil, leher yang wangi, dan senyum merekah seperti kamboja, yang indahnya tetap mengiringi sampai kematian menghampiri.

Aku menenteng kemudian menimang-nimang baju tersebut, berkali-kali aku memejamkan mata untuk membayangkan perpaduan baju bermotif supit urang dengan perempuan bersenyum kamboja. Cukup indah memang. Tapi kuurungkan mengemas ke kasir, bagiku membelikan baju membuatku seperti lelaki pada umumnya untuk perempuan pada umumnya. Rasanya membelikan baju terlalu mainstream untuk perempuan yang terlampau istimewa.

***

Siapa yang tak pernah dibuat remuk-redam oleh cinta, dan pecinta mana yang tak pernah merasakan perihnya disayat-sayat rindu. Aku disayat-sayat rindu. Setiap pecinta selalu megupayakan kebahagiaan orang yang dicintai, upaya bengis dan culas pun bukan masalah dalam ijtihad mencintai, aku pun juga demikian.

Liburan kali ini terasa istimewa, bukan hanya karena liburan di kota yang istimewa, tapi juga karena ditemani rasa rindu ke mana pun aku melangkah. Tepat Jumat ini, aku berniat mencari kain batik. Pagi-pagi betul aku menuju Pasar Beringharjo. Perjalanan pagi itu ditemani embun-embun yang masih menetes, lalu-lintas yang lengang, matahari yang belum terbit paripurna, serta udara yang masih sejuk dirasakan dan masih segar untuk dihirup. Jogja pagi.

Semua toko masih tutup, tukang becak belum ada yang berkeringat, mata kuda-kuda andong masih dipenuhi belek dan beberapa masih tertidur lelap, tukang parkir belum ada yang jaga. Aku kembali membawa motor menyusuri Malioboro. Malioboro yang masih sangat sepi membuatku melipir ke sebuah warung kopi, dan memarkir motor sekenanya saja. Malioboro sangat berbeda di pagi hari; teduh sekaligus menenteramkan.

“Masnya asli mana?” tanya seorang bapak di sebelah bertopi dengan kain putuh buluk melingkari setengah lehernya dari belakang. Sepertinya dia tukang becak.

“Saya asli Bojonegoro, Pak”

Pantes ae platnya kok S. Mau ke mana, Mas?”

“Mau ke sini, Pak” jawabku bergurau sambil berdiri dan bergeser sedikit ke kiri untuk mengambil kacang goreng.

“Maksudnya habis dari warung kopi ini mau ke mana, Mas?”

“Iya, Pak, saya becanda. Habis ini mau ke Pasar Beringharjo, mau beli kain”

“Duh, kalau toko kain ya belum ada yang buka, Mas” jawabnya dengan nada medok khas Jogja yang dilanjutkan dengah mengunyah sepotong mendoan.

“Makanya saya ngopi ke sini dulu, Pak” jawabku sambil sedikit meringis lalu menyeduh kopi.

Aku berbicara banyak hal dengan orang yang kusangka tukang becak itu. Obrolannya aneka macam, dari omongan dia yang menyalahkanku karena terlalu pagi dan terlalu konyol dalam mencari kain batik di pasar Beringharjo, sejarah Malioboro yang memberinya kenangan asmara masa muda sampai kisah cintanya dengan istri yang usianya kini telah renta.

Hari sudah terang, matahari telah nampak seluruh bulatnya di langit timur. Aku membayar kopi serta sejumlah gorengan dan camilan yang telah aku makan. Aku kembali menyusuri Malioboro. Setelah kurang lebih empat ratus meter motorku berjalan, di sebelah kiri ada gang besar dengan di sisi kanan jalan dari kejauhan terlihat tulisan “Tempat Parkir Beringharjo”, motor kubelokkan menuju tempat parkir. Aku berniat membeli kain lalu kujahitkan sendiri menjadi baju. Tapi aku berpikir, betapa ribetnya aku, dan bukankah itu sama saja dengan membelikan baju? Bukankah bagiku membelikan baju itu terlalu mainstream? Aku ragu untuk memilih dan membeli kain.

Aku terus berjalan di lorong-lorong pasar yang sebagian tokonya masih tutup. Kupandangi setiap sudut dan sisi, orang-orang yang baru mulai membuka toko, pedagang yang masih ngantuk karena di musim liburan harus buka lebih pagi dan tutup lebih larut, anak-anak pemilik toko yang merengek karena tidak dipedulikan orang tuanya ketika menyiapkan toko, dan beberapa pengunjung pasar yang kurang berdandan, memang masih terlalu pagi untuk pasar oleh-oleh. Dua jam aku berjalan, dan sepertinya seluruh jengkal pasar telah aku susuri. Aku hanya berjalan dengan kebimbangan, antara membeli kain atau tidak membeli kain. Dan berakhir dengan tidak membeli. Aku pulang dengan tangan hampa.

Hari Sabtu, seperti biasanya, aku bangun lebih pagi dari Yudhe. Aku ingat orang bijak pernah berkata, tidur setelah orang-orang tertidur dan bangun ketika orang-orang belum bangun akan membuat hidupmu lebih bermakna. Lekas mandi, memakai baju, dan berangkat keluar dari peginapan tanpa berpamitan pada Yudhe. Aku pergi ke pusat oleh-oleh paling terkenal dan bergengsi di kota ini, Dagadu. Toko ini menjual aneka oleh-oleh, dari baju, jaket, sandal, pernak-pernik. Semua yang ada tak membuatku tertarik, kecuali kain lurik. Aku tertarik pada kain lurik dengan perpaduan warna garis yang indah: Toska, coklat muda, kuning muda, hijau muda. Aku timang-timang dan kuamati denga serius tiap detail gulungan kain lurik yang indah itu. Memang indah. Tapi kemudian aku berpikir, setelah aku beli mau kukemanakan kain ini? Aku memang belum tahu alamat rumahnya, belum sekali pun bertandang ke rumahnya, entah untuk bertamu atau sekadar menjemput. Apa harus menanyakan alamat rumahnya lebih dulu, lalu kukirimkan kain ini? Sepertinya tidak mungkin, sampai detik ini pun pesan terakhirku belum dibalas. Hari sudah siang, aku kembali lagi ke penginapan dengan tangan yang masih kosong, dan kerinduan yang semakin menyiksa.

Rindu sudah keterlaluan mengusikku, lebih tepatnya menyayatku. Pesanku belum dibaca, apalagi dibalas. Aku coba menghubungi dengan telepon konvensional pada nomornya yang kusimpan, tapi nomornya tidak aktif.  Keluar dari penginapan, aku berniat membeli pulsa atau kuota internet. Aku berprasangka tidak adanya balasan karena dia kehabisan kuota internet. Aku berniat membelikan pulsa agar dia belikan paket internet atau aku langsung membelikan paket internet. Tapi aku tidak tahu, mana nomor yang digunakan untuk membeli paket internet, aku tidak tahu. Memang aku belum pernah menanyakan ini kepadanya. Mau kubelikan pulsa, tapi nomor yang mana? Mau kubelikan kuota internet, tapi nomor yang mana? Baru beberapa langkah keluar, aku memutar balik jalan kembali menuju penginapan.

Di perjalanan pulang aku berpikir, kalau seandainya membelikan pulsa atau kuota internet, berarti aku berniat segera mengakhiri rindu dan tidak akan lagi menikmati rindu, begitu pikirku. Bukankah bagian yang indah dari cinta adalah merindu? Bukankah di film “5 CM” sengaja membuat berpisah untuk menciptakan rindu agar cinta dan persahabatan semakin menguat? Bukankah jarak dan perpisahan tak mengurangi sedikit pun cinta Rangga dalam “AADC 2”? Salahkah jika dalam “500 Days of Summer” Summer yang membersamai Tom dalam 500 hari tapi tidak mencintainya? Atau yang lebih mengerikan dalam “Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode”, ketika hubungan yang berjalan delapan tahun akhirnya berakhir dengan kalimat, “aku enggak cinta“? Memang besarnya jumlah waktu yang dihabiskan bersama tak mesti sebanding dengan besarnya cinta antar manusia. Memang juga kisah-kisah dalam film itu sangat mengerikan. Dan pertanyaan-pertanyaan mengerikan yang muncul itu berakhir di depan penginapan. Aku masuk kamar, berbaring sambil merenung, kemudian menulis sebuah puisi. Memang jogja dan rindu telah membuatku menjadi lelaki yang sedikit lebih romantis.

***

Notifikasi pesan masuk.

“Mas Santo.”

“Maaf, Emiliaa lama enggak bales chat.”

Angin yang sangat sejuk mendadak berhembus entah dari mana asalnya, langit menjadi cerah, awan-awan gelap menghilang entah ke mana, matahari menjadi lebih terang tapi tidak terik dirasakan, bulan di belahan bumi lain mendadak purnama, rasanya pelangi tumbuh di setiap sudut bumi yang sedang siang,

“Iya, enggak papa kok. Emang habis ke mana, Mil?”

“Enggak ke mana-mana, lagi pengin sendiri, enggak pengin diganggu”

Roda pemerintahan tiba-tiba berhenti, perekonomian negara mendadak krisis, peradaban yang berjalan langsung tersendat, seluruh lalu lintas di dunia macet seketika.

Bojonegoro, Januari 2020

(Cerita yang pernah digunakan untuk merayu)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.