Intoleransi Meningkat, Wahid Foundation: Nilai-nilai Toleransi Harus Dikedepankan dalam Kontestasi Politik
JAKARTA-KAV.10 Menurut data Setara Institute, dalam Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, terjadi peningkatan intoleransi pada tahun 2017-2018. Pada tahun 2017, terdapat 155 peristiwa pelarangan kebebasan beragama/berkeyakinan, dengan 201 bentuk tindakan. Sedangkan, pada tahun 2018, terdapat 160 peristiwa pelarangan kebebasan beragama/berkeyakinan, dengan 202 tindakan. Faktor utama dari kejadian tersebut karena adanya kontestasi politik di Pilkada ataupun Pemilu.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mutjaba Hamdi, peningkatan ini sudah ada sejak 5 tahun terakhir, hal ini diakibatkan oleh momen politik yang terjadi di Indonesia. “5 tahun ini momen-momen politik kita diwarnai dengan sentimen agama, untuk memenangkan kontestasi politik”, ujar Mutjaba Hamdi. Ia juga menambahkan bahwa ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dalam konteks global. Yang mana populisme konservatif atau populisme kanan meningkat.
“di beberapa negara di Eropa Barat dan Amerika Utara, kita tahu sentimen primordialisme, sentimen konservatisme berbasis agama dan ras itu meningkat, dimobilisasi sedemikian rupa, untuk memenangkan kontestasi politik”, tambahnya.
Populisme kanan menurut Chantal Mouffe, hadir dengan narasi yang memisahkan dua entitas dan membuatnya saling berlawanan, yang mana masyarakat dibagi menjadi “us” dan “other”. Narasi itu muncul dalam ranah politis di ruang-ruang publik, yang berbasis pada identitas yang primordial (ras, agama, dan suku). Populisme juga dianggap sebagai konsekuensi atas depolitisasi elektoral, untuk meraup massa yang banyak dalam mendukung salah satu kandidiat.
Berbeda dengan argumentasi di atas, Kordinator Mubaligh Ahmadiyyah DKI Jakarta, Iskandar Gumay, menganggap bahwa intoleransi ini disebabkan oleh adanya golongan konservatif atau radikal. “intoleransi jelas dihadapan kita karena diakibatkan oleh pemikiran sekelompok umat islam sudah masuk dalam golongan konservatif atau radikal”, ungkapnya. Ia juga menganggap bahwa adanya transformasi aktor yang melakukan tindakan intoleransi di Indonesia.
“ada perubahan aktor dari yang melakukan tindakan intoleransi itu, mulai dari personal, kemudian menjadi sebuah komunitas, golongan, bahkan sekarang, sebagian pemerintah daerah pun melakukan tindakan intoleransi, mungkin atas desakan, dan apapun alasannya, kita sangat menyangkan itu terjadi”, ujar Iskandar.
Selain itu, Mutjaba Hamdi menyatakan bahwa, dalam menanggapi dan melawan intoleransi, kita harus bisa mendorong isu-isu yang lebih toleran. “beberapa tempat memang berhasil digunakan, sedangkan ada juga yang tidak berhasil, sehingga kita harus optimis, dalam artian bahwa nilai-nilai toleransi, harus kita kedepankan dalam kontestasi politik, yang cenderung menggunakan sentimen apa saja”, tegasnya.
Reporter: Octavio Benedictus Pradipa Ritung & Rinto Leonardo S
Editor: Oky Prasetyo