Fenomena Kos Muslim : Ekspresi Beragama di kota Pendidikan

0

MALANG-KAV.10 Kota Malang mendapat julukan sebagai kota pendidikan bukan tanpa alasan. Faktanya, Malang memang memiliki lebih dari 60 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Mahasiswa di Malang yang berasal dari berbagai daerah pun akhirnya menjadi ladang usaha bagi masyarakat sekitar untuk mendirikan rumah kos. Jenis yang ditawarkan pun beragam, seperti: kos yang murah, mahal, kos putra, kos putri, kos campuran, dan sebagainya. Uniknya, dari sejumlah fenomena kos tersebut ada fenomena kos yang jarang sekali menjadi sorotan, yaitu fenomena kos muslim. Ketika ditelusuri, keberadaan kos muslim tersebut terpusat di beberapa titik terutama yang lokasinya berdekatan dengan Universitas. Secara fisik, fenomena kos muslim tersebut tidak hanya terlihat sebagai wilayah kosan yang memasang label “muslim” dalam promosinya.

Hal tersebut seperti diungkapkan Tutik salah seorang pemilik kos muslim, walaupun rumah kos yang ia sewakan memasang label “muslim”, Tutik merasa tidak masalah dengan hadirnya mahasiswa yang beragama lain. Baginya hal ini sebagai bentuk rasa saling menghargai dan menghormati antar agama. “Kalau saya bebas nak, menghargai agama lah. Mentang mentang kita orang islam, terus ada orang Kristen mau kos ditolak, itu sih saya nggak begitu. Malah saya masukkan aja, itu kan bentuk saling menghargai agamanya masing masing,” Ujar Tutik saat ditemui awak kavling pada Senin, (12/08) di Sumbersari.

Namun ia juga tidak membantah bahwa fenomena kos muslim tersebut juga ada dilingkungan tinggalnya. Tutik menjelaskan bahwa dia pernah mendapatkan tugas untuk mencari satu anak agar menempati kamar kosong di rumah kos sebelah, dan kebetulan ada seorang anak yang sedang membutuhkan. Namun karena anak tersebut diketahui beragama Kristen, akhirnya ia diusir saat sudah berjalan beberapa saat menghuni kamar tersebut, ”Kalo di saya nggak pernah nolak non islam. Kalo di sana pernah. Kan ibu dari area sini ke sana yang pegang, ibu bagian yang nyari anak kosannya. Nah ibu yang di sebelah sana itu, pernah ada satu kamar kosong, terus saya masukin anak. Pas ketahuan nonis eh dikeluarkan. Diusir,” Pungkasnya berapi-api.

Menanggapi fenomena tersebut, Dosen Sosiologi UB Ghenta Mahardika, yang memfokuskan penelitiannya pada Sosiologi Ruang mengatakan bahwa fenomena ini bukan mengarah pada intoleransi tetapi secara lebih spesfiik mengerucut kepada tren kegagalan kepercayaan masyarakat Malang pada sebuah struktur baru yang timbul akibat adanya mahasiswa pendatang.

“Bukan konteks toleransi justru karena kalo saya menggunakan perspektif fungsional, ini adalah tren kegagalan kepercayaan pada struktur sosial yang ada sekaligus juga kecemburuan sosial. Ini juga nanti akan memunculkan diferensiasi dan stratifikasi artinya akan ada pengelompokkan yang awalnya tidak ingin ada perbedaan sebenarnya,” Ujarnya ketika dihubungi awak lpmkavling10 melalui sambungan telepon.

Ketika disinggung apakah ada kepentingan ekonomi dalam penerapan label “kos muslim” tersebut, Ghenta menampik bahwa hal tersebut. Ia juga menambahkan fenomena itu terjadi karena adanya ketakutan dari masyarakat akan masuknya nilai-nilai baru yang dibawa orang dengan agama yang berbeda dari mereka.

Senada dengan fenomena di atas, Miranda mahasiswa UB yang beragama Kristen pun mengalami hal serupa. Uniknya, Miranda mendapatkan penolakan di tempat kos yang secara terang-terangan tidak melabeli kos muslim dalam promosi tempatnya.

“iya pernah. Jadi kan rencananya aku mau cari-cari kos kan. ya biasalah nanya-nanya via whatsapp. tanya fasilitas nya apa harganya berapa, terus disitu benar-benar nggak tertulis kos putri muslim jadi ya aku nanya-nanya dong. sorry sebelumnya agamaku kristen. ya kalo difikir-fikir ya nggak mungkin juga kan aku kos di kos putri muslim,” tuturnya memulai cerita.

Miranda melanjutkan, dia ditolak ketika mencoba menghubungi pemilik kos melalui whatsapp. Sang pemilik kos secara terang-terangan mengatakan bahwa tidak ingin mengambil resiko, apabila penghuni non islam menyebarkan budaya baru seperti: membawa simbol salib, membawa makanan babi, dan sebagainya terhadap lingkungan sosial dalam rumah kos tersebut.

“oh maaf kalo kamu kristen saya pertimbangin dulu ya soalnya saya takut aja ada lambing-lambang salib. Saya takut dimarahin keluarga saya. keluarga saya gamau kalo terima yg non-is karena ada lambing-lambang salib nanti takutnya entah itu kalung atau apapun. nanti juga kan ada kejadian nyebarin makanan babi ke anak kos,” ungkap Miranda menirukan perkataan pemilik kos yang menolaknya karena agamanya kristen.

Sementara itu dari perspektif islam sendiri, Ustadz Hendra Ubay mengatakan bahwa alasan menolak mahasiswa non-muslim untuk menyewa kamar kos dengan ketakutan akan makanan haram, seperti yang dilakukan oleh pemilik kos yang menolak miranda tidak bisa dijadikan dasar. Beliau juga mengungkapkan bahwa pertimbangan mendasar yang harus difikirkan adalah soal beberapa aturan yang mengikat pada diri seorang muslim.

“Alasannya pemilik kosan menolak orang nonis kos karena takut makanan haram tidak ke sana seharusnya malah yg harus dipikirkan adalah beberapa aturan, misalnya masalah aurat yaitu masalah Muslimah saja didepan orang kafirah yang perempuan dia harus menggunakan jilbab atau maksudnya menutup auratnya secara sempurna. Maksudnya kalo dia sekamar otomatis tidak ada keleluasan untuk membuka jilbab dan lain-lain adab itu yg seharusnya diterapkan. Pertimbangannya itu yg paling mendasar,” ujarnya

Tidak berhenti disitu, Ustadz Hendra Ubay turut memberikan solusi praktis apabila pemilik kos hendak menyewakan kamarnya untuk mahasiswa yang berbeda agama yaitu dengan cara memberikan ruangan khusus yang terpisah dengan mahasiswa yang beragama islam, “Tapi solusinya sebenarnya dia tidak bisa dijadikan satu kamar dengan orang muslim akan sulit nanti dlm menjaga aurat dan lain-lain mungkin solusinya asalkan terpercaya maka ditempatkan di kamar gimana begitu atau dilantai atas atau bawah yg memang tidak djadikan satu dengan orang islam,” ujarnya. “Yah, you know lah di Indonesia ini masih gampang banget keganggu sama ha-hal agama. Iya aku mau gimana lagi yaudah. Karena gamau debat atau gimana yaudah gampang nggak usah ditanggapin,” tutup Miranda mengakhiri.

Penulis: Ivan Yusuf, Triska Kharisma dan Oka Prabawa
Editor: Oky Prasetyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.