Di Balik Revolusi Industri
Oleh: Satrio Langlang B.
Revolusi industri kini sangat ramai diperbincangkan di ruang publik umumnya dan kalangan akademisi khususnya. Saat ini, revolusi industri telah mencapai tahap ke 4, yakni perindustrian berbasis digital dan dunia maya. Hitungan ke 4 dalam revolusi industri ini diperkenalkan oleh Jerman dalam proyek internal keindustrian negara. Lalu dengan cepat membuat geger dunia dan muncul lah revolusi industri 4.0.
Revolusi industri pada permulaan awalnya adalah penggunaan mesin mekanik secara besar-besaran pada abad 19 di Inggris. Kemudian dilanjutkan dengan penggunaan listrik sebagai daya utama industri. Setelah itu industri kembali berevolusi dengan penggunaan mesin otomatisasi dan kini telah memasuki industri berbasis digital. Konsistensi industri dalam merevolusi tidak terlepas dari kebutuhan kapital para kapitalis selaku penguasa industri yang semakin naik dari zaman ke zamannya. Sehingga tercipta suatu hubungan timbal-balik dimana kapitalis akan selalu membutuhkan cara yang relevan untuk mengeruk keuntungan yang masif sesuai zaman yang berlangsung. Cara yang relevan itu dibungkus cantik dengan nama “revolusi industri”. Kemasan ini dipercantik kembali dengan hiasan “meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara” yang kemudian makanan ini banyak termakan oleh negara-negara di dunia, negara pinggiran sekalipun.
Pratik-praktik kapitalisme global secara umum dijalankan dengan cara konsentrasi produksi. Konsentrasi produksi (combination of production) atau penggabungan produksi adalah pengelompokan cabang-cabang produksi yang berbeda dalam satu perusahaan. Pengelompokan ini dapat berupa barang mentah, barang setengah jadi, maupun barang jadi. Konsentrasi produksi ini membuat industri dan pasar modal didominasi oleh segelintir perusahaan raksasa saja. Konsentrasi produksi ini menggunakan revolusi industri sebagai media berinovasi dan ekpansi cabang produksi.Yang pada praktiknya menimbulkan monopoli kapitalistik dimana keuntungan dari total industri global separuh lebih hanya menjadi milik segelintir perusahaan saja dari puluhan ribu perusahaan yang ada. Dan pada tahap akhirnya, monopoli kapitalistik akan melahirkan imperialisme dan penjajahan berbasis ekonomi dari negeri yang kaya akan kapital ke negeri yang lemah akan kapitalnya.
Dampak revolusi industri sebagai bungkus dari rakusnya kapitalis juga akan tampak pada konstruksi masyarakat umumnya dan pekerja khususnya. Di Indonesia saat ini, terdapat kurang lebih 120 juta orang berstatus buruh. Kurang lebih sekitar 70 juta orang berstatus buruh informal, dan 50 juta lainnya berstatus buruh formal. Buruh informal adalah buruh yang dalam pekerjaannya bersedia untuk tidak digaji sesuai dengan UMR yang berlaku, tidak mendapat jaminan kesejahteraan sosial (Bpjs,asuransi,dsb), dan dapat dipecat sewaktu-waktu karena kontrak kerja yang tidak jelas dan tidak memiliki dokumen pekerjaan resmi. Sedangkan buruh formal adalah berlaku sebaliknya. Berdasarkan angka-angka diatas, ruang kerja dan jumlah pekerja menjadi masalah paling serius dalam ketenagakerjaan bagi negara.
Lalu mengapa bisa terjadi kondisi yang seperti saat ini? Dalam hal ini, berlaku hukum ekonomi supply & demand. Hukum ekonomi permintaan dan penawaran. Relasinya dengan kasus informal ini adalah pada banyaknya permintaan pekerjaan yang tersedia sedang lapangan kerja tidak dapat menampung banyaknya permintaan yang ada. Jadi kebanyakan orang menerima apa jenis pekerjaan dan berapa dibayar dengan terpaksa. Karena tidak ada opsi lain lagi selain tidak makan, lalu mati kelaparan. Masih untung, mereka dapat makan dan melanjutkan hidup. Jika mereka menuntut lebih untuk imbalan yang diterima, mereka akan dibuang dan antrian selanjutnya akan dipekerjakan. Hal ini akan berlaku terus, hingga ada orang yang mau menerima pekerjaan dengan imbalan yang ditawarkan. Dan pasti ada! Karena seperti yang sudah saya paparkan tadi, permintaan lebih banyak dari penawaran. Kondisi seperti ini disebut dengan surplus populasi relatif yakni, melemahnya nilai tawar pekerja. Sehingga, pada akhirnya, kondisi surplus populasi relatif ini menjadi “pemain cadangan” yang masif bagi kapitalis. Teori yang dikemukakan ekonom Karl Marx ini berlaku kenyataan di Indonesia saat ini.
Surplus populasi pekerja secara langsung maupun tidak langsung adalah imbas dari revolusi industri dan sistem kapitalisme. Ini adalah dampak berkepanjangan dari factor-faktor kapitalisme dan ciri umum kapitalisme, termasuk ekspansi kapital, bahkan hingga kapital finansial, dan imperialisme sebagai puncaknya.
Persoalan ini secara nyata, lambat maupun cepat membawa pergeseran lapangan pekerjaan yang semula oleh manusia menjadi mesin. Dari manual menjadi otomatis. Anda tentu mengerti, bahwa mesin digunakan untuk produktivitas industri. Dan kenyataannya penggunaan mesin memang jauh lebih efektif dan efisien untuk menunjang produktivitas industri sebagai alat tempur dalam persaingan revolusi industri. Namun dibalik efektif dan efisiensinya dalam berproduksi, penggunaan mesin ini juga menuntut biaya yang tidak murah. Produktivitas ini juga memerlukan biaya reparasi, maintenance, dan biaya operasional yang lumayan. Oleh karena itu, industri merasa perlu untuk memangkas biaya yang demi penghematan biaya operasional industri. Pun tak ada lagi yang bisa dipangkas selain tenaga produksi manusia. Pemangkasan biaya umumnya berbentuk pemberhentian kerja maupun pemangkasan ongkos kerja. Dengan ini, maka keterbatasan lapangan dan kecilnya imbalan yang tadi saya paparkan, terjadi dan dengan jalur ini pula, kondisi surplus populasi pekerja tercipta, sebagai akibat dari penggunaan mesin untuk menunjang produktivitas industri dalam menghadapi revolusi industri.
Perubahan-perubahan dan persaingan-persaingan yang terjadi saat ini menjanjikan kerajaan ekonomi bagi siapapun pemenang dari revolusi industri ini. Revolusi industri sebagaimana diklaim oleh ekonom liberal bahwasanya memiliki kekuatan untuk menopang dan ikut andil dalam perekonomian negara. Dalil itulah yang kemudian menyebabkan negara-negara mendukung penuh industri-industri nya untuk memasuki medan tempur industri 4.0 ini, tak luput juga negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah menetapkan main concept untuk revolusi industri 4.0 dengan nama “Making Indonesia 4.0”. Dan hal itu tidak hanya di Indonesia, negara-negara pinggiran lainnya pun juga melakukan hal yang sama, dimana mereka semua menyatakan diri untuk berperang di dunia industri.
Kabut dari cerobong asap industri makin lama mengepul makin tebal dan membuat buta negara-negara pinggiran sehingga kemudian tidak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang ngimpi. Hingga kebanyakan dari mereka (negara-negara pinggiran) tidak sadar diri akan datangnya eksploitasi masif yang dikemas cantik dengan nama revolusi industri 4.0. Negara-negara pinggiran ini dalam pandangan saya termakan oleh ilusi kapitalisme global yang menyuarakan revolusi industri. Padahal, jika kita ulas tuntas, revolusi industri ini membawa dampak yang cukup besar dan serius pada perekonomian sebuah negara. Kapitalisme dalam tonggak sejarah pun telah menunjukkan eksistensi yang mengerikan, dimana bukan saja persaingan bebas belaka, melainkan kearah monopolis kapitalistik melalui konsentrasi produksi, ekpansi kapital, kapital finansial dan berbagai siasat kapitalis lainnya.
1 thought on “Di Balik Revolusi Industri”